Berikan Nomor Ponselmu!

1220 Words
Para siswa bernapas lega saat bel pertanda pulang sekolah berdentang panjang. Nayla membereskan buku-buku pelajaran yang diperolehnya hari itu. Sangat menyenangkan pengalaman pertama bersekolah di tempat baru, apalagi berpindah-pindah dari satu kelas ke kelas lain membuat suasana belajar tidak membosankan. Kecuali pengalaman di belakang tembok sekolah yang menyebalkan itu, ia jadi trauma untuk berjalan-jalan mencari tempat persembunyian untuk menyendiri. Jika duku di sekolah lamanya, akan sangat mudah menemukan tempat untuk menyendiri. "Kapan-kapan kita belajar kelompok di rumahmu, Nay, boleh kan?" tanya Chaca sambil tersenyum. "Boleh, dong." Nayla membalas senyuman, ia sangat senang jika teman-teman barunya akan berkunjung ke rumahnya, artinya kehadirannya di sekolah itu diterima dengan baik. Nayla melewati masjid sekolah, di dalam sana masih banyak siswa dan siswi berkumpul. Mungkin mereka sedang ada kegiatan. Di sanalah nanti ia akan menekuni organisasi sekolah, menggali pengalaman dan berdakwah di dalam lingkungan sekolah. Ketika sedang berjalan menuju pintu gerbang, tiba-tiba seorang pria berdiri di hadapannya. Ia mendongak melihat pria itu dan tubuhnya seketika membeku melihat wajah dingin menatapnya tajam. "Ka-kamu mau apa lagi?" tanya Nayla gugup, ia mundur beberapa langkah memberi jarak pada pria itu yang tak lain adalah Edwin. "Tulis nomor ponselmu, aku tidak mau susah-susah mencarimu kalo butuh sesuatu," ucapnya mengacungkan ponsel ke hadapan Nayla. Nayla tidak menanggapi, ia masih belum mengerti kenapa Edwin meminta nomor ponselnya. Ia hanya menatap benda itu dan Edwin secara bergantian. "Apa kamu bodoh? Tulis nomormu!" tegas Edwin tak ingin dibantah. Dengan terpaksa Nayla meraih benda pipih itu, lalu menuliskan nomornya di sana. Setelah itu, ia mengembalikan ponsel itu. Tidak lama kemudian, ponsel Nayla berdering. Ia segera mengambilnya, mungkin saja sopirnya yang menelepon. Tapi begitu ponsel itu di tangannya, justru nomor tak dikenal yang masuk memanggil-manggil. "Itu nomorku, simpan! Kalo aku menyuruhmu melakukan sesuatu, kau harus bersegera. Kalo tidak...." Edwin kembali mencondongkan tubuhnya mendekati Nayla. Serta merta gadis itu mundur menjauhi Edwin. Edwin tertawa lebar melihat ekspresi Nayla, lalu berbalik pergi tanpa berkata-kata lagi. Nayla cepat-cepat melangkah panjang-panjang agar segera berlalu dari halaman sekolah dan tidak bertemu Edwin lagi. Setelah berada di dalam mobil, Nayla menghembuskan napas lega. Sekali lagi ia menoleh ke dalam halaman sekolah yang sangat luas itu, tampak Edwin dan teman-temannya sedang duduk-duduk di bawah pohon sambil tertawa-tawa. "Yuk, jalan, Pak," ucapnya. Mobil melaju meninggalkan sekolah baru Nayla. SMA Bina Karya yang ia ketahui merupakan salah satu sekolah terbaik di tanah air. Meski tempatnya bukan di ibukota, tapi sekolah itu sering mencetak prestasi mengalahkan sekolah-sekolah unggulan di seluruh tanah air. Ia mengedarkan pandangan ke jalan-jalan yang ramai oleh kendaraan. Satu hal yang menyenangkan di Balikpapan adalah kebersihannya. Mata Nayla benar-benar merasa nyaman memandangi jalanan karena tidak menemukan sampah-sampah berserakan, membuat kesan nyaman begitu terasa. *** "Assalamu'alaikum," salam Nayla begitu tiba di depan rumah. Orang tuanya masih di dalam, belum kembali ke desa. "Wa'alaikumsalam," jawab Ningsih, ibunya. Lalu keluar menyambut kedatangannya dengan senyum paling manis yang pernah Nayla lihat. Nayla menyalami dan mencium tangan ibunya, lalu masuk ke dalam beriringan. "Gimana sekolah baru kamu?" tanya Ningsih sambil memperhatikan anak gadisnya melepas sepatu. "Bagus, Mi. Teman-teman baruku baik-baik semua. Nyaman pokoknya, aku suka," jawab Nayla sambil tersenyum senang. Kecuali satu orang, Edwin! Nayla membatin. "Alhamdulillah, Ummi senang kalo kamu betah di sekolah baru. Besok Ummi sama Abi sudah harus balik ke Palu. Kamu jaga diri baik-baik di sini," ucap Ningsih. Nayla tersenyum simpul. "Iya, Mi. Aku pasti jaga diri. Ummi nggak perlu khawatir." Nayla masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Ketika di depan cermin, ia berhenti sejenak, memandangi wajahnya dengan seksama. Memperhatikan bibirnya yang tadi siang dicium oleh Edwin si berandal sekolah itu. Kalau orang tuanya sampai tahu, bagaimana kira-kira respon mereka? "Nay!" Panggilan Ningsih segera menghampiri telinganya. Ia sudah hafal, jika pulang sekolah tidak segera ke meja makan, maka panggilan lembut itu akan segera terdengar. "Iya, Mi!" jawab Nayla, lalu keluar menghampiri sang ibu yang sudah menunggunya di depan pintu. Di ruang makan sudah ada Bagas yang menunggu terlebih dahulu. Hubungan dalam keluarga mereka sangat hangat. Nayla sangat jarang makan seorang diri meskipun di luar waktu makan rutin, orang tuanya selalu menemaninya. Ia bahkan tidak pernah mendapati perlakuan kasar atau pilih kasih dari ayah tirinya itu. Bagas terlalu menyayanginya. Hal itu juga menjadi sebab ia memilih untuk menjauh dari keluarganya, ia semakin merasa tidak nyaman mendapat kasih sayang begitu besar dari Bagas, padahal dirinya hanyalah seorang anak yang tidak sengaja dilahirkan. "Kamu tidak apa-apa sendirian di sini?" Bagas membuyarkan lamunannya. "Tidak apa-apa, Bi. Teman-temanku baik semua. Mereka malah mau belajar kelompok di rumah, juga ada organisasi Rohis jadi aku tetap bisa belajar agama di sekolah," jawab Nayla sambil tersenyum. "Kalo ada apa-apa segera hubungi kami, jangan pernah menyimpan masalah seorang diri. Kamu sudah beranjak dewasa, banyak hal baru yang bakal kamu temui, apalagi sekarang kamu berada di lingkungan sekolah yang tidak islami, jadi tinggal pintar-pintar memilih teman yang baik," pesan Bagas. "Iya, Bi." Nayla mengangguk, lalu mulai menyantap makanannya. Malam harinya Nayla membuka-buka buku pelajarannya yang ia peroleh siang tadi. Di pelajaran matematika ia tertinggal, sebab di sekolah lamanya belum sampai pada pokok bahasan yang dibahas di sekolah baru. Ia harus belajar mandiri untuk mengejar ketertinggalannya itu. "Nay," panggil Ningsih. Nayla bangkit dari meja belajarnya, membukakan pintu untuk sang ibu. Ningsih berjalan masuk ke kamarnya, lalu duduk di depan meja belajarnya. "Kamu masih belajar jam begini, Nay? Udah malam, jangan terlalu memaksakan diri," ucap sang ibu menatap Nayla penuh kasih sayang. Sejujurnya, kepindahan Nayla ke sekolah baru yang bukan sekolah islami membuatnya khawatir. "Cuma sebentar kok, Mi, cuma ngejar ketertinggalan pelajaran matematika." Nayla tersenyum, sedetik kemudian menutup buku yang ia gunakan untuk belajar. Ia tidak ingin membuat sang ibu khawatir. "Ummi tidur sini, boleh ya? Ini pertama kalinya kamu jauh dari Ummi." Ningsih beranjak menuju tempat tidur. Nayla segera mematikan lampu, lalu mengikuti sang ibu ke pembaringan. Ia melihat ada sebuah notifikasi masuk ke ponselnya, tapi tidak ingin bersosial media menjelang tidur, ia pun mematikan ponselnya. Ia tahu itu hal yang tidak baik karena akan mengganggu waktu tidurnya. "Nay," panggil Ningsih sebelum tidur. "Nanti Ummi dan Abi bakalan jauh dari kamu. Apapun yang terjadi, kami tidak bisa selalu memantau. Ummi percaya Nayla anak cerdas yang bisa dipercaya. Nggak akan menyia-nyiakan kepercayaan orang tua." Nayla mengerti kekhawatiran orang tuanya, tapi ia sudah yakin dengan pilihannya. Ia tidak akan bergaul bebas dan akan menyibukkan diri dengan belajar dan berprestasi. Ia sudah berjanji dalam hati akan mengikuti olimpiade sains dan mengharumkan nama sekolah dan orang tuanya. "Iya, Mi, Nayla ngerti kok. Ummi nggak usah terlalu khawatir, Nayla pasti bisa jaga diri." Mereka pun terlelap bersama-sama, merasakan kehangatan keluarga sebelum berpisah untuk waktu yang lama. Pagi harinya, Nayla terbangun dan tidak mendapati sang ibu di sampingnya. Seperti biasa, Ningsih pasti sedang menyiapkan sarapan bersama asisten rumah tangga. Ia yang sedang tidak shalat, segera bangun dan menyalakan ponselnya. Ada lima buah pesan masuk dari nomor tak dikenal. "Nayla, belikan nasi goreng dan bawa ke gedung olahraga sekarang." Pesan itu masuk pukul 22.01, tepat sebelum dia tidur semalam. Berarti pesan semalam itu dari dia. "Nomor kamu tidak aktif? Hmmm! Tunggu besok!" Pesan kedua diikuti emoticon marah berapi-api. "Aku tunggu di gerbang belakang jam 7 pagi. Jangan terlambat." "Bawa sarapan!" "Berani membantah, aku akan...." Nayla mengerutkan keningnya membaca pesan-pesan itu. Ia lupa menyimpan kontak Edwin. Tapi lebih baik jangan disimpan nomornya, biarkan saja. Ia melihat jam dinding, sudah menunjukkan pukul 06.00, ia pun bersegera bersiap-siap. Bersambung...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD