Lelaki Aneh

1122 Words
Terlalu blak-blakan! “Menikah?” Cora mengerutkan kening sembari menatap Tony. “Apa yang harus disiapkan dalam pernikahan? Aku rasa setiap orang pasti akan menjalaninya dan harus siap. Aku selalu siap menikah karena bagiku pernikahan hanya ikatan yang mengikat pasanganmu untuk hidup bersama. Pernikahan bukanlah hal yang harus dibesar-besarkan.” Cora berkata datar, sedang Tony terkekeh. Ia tak menyangka jawaban yang terkesan tak peduli itu bisa keluar dari mulut seorang wanita. “Anda wanita yang menarik.” Tony memandang tepat ke dalam manik mata Cora, ia tersenyum lebar dan membuat wanita itu bergendik ngeri. “Terimakasih, tapi bisakah kita mengubah caramu berbicara? Ini terlalu formal. Aku merasa sedang membicarakan proyek dengan seorang rekan bisnis.” mata mereka saling bertemu. Cora yang sangat percaya diri, tidak pernah merasa canggung sedikit pun untuk berbicara sambil menatap tepat ke dalam mata lawan bicaranya. “Baiklah, kita bisa berbicara menggunakan bahasa yang lebih santai.” Tony berkata datar, Cora tersenyum tipis. Mereka kembali terjebak di dalam keheningan. Menit demi menit berlalu hingga makanan yang mereka pesan sudah ditata rapi di meja. Keduanya menyibukkan diri menyantap makanan, seakan tak ingin memulai pembicaraan apa pun lagi. Walaupun Cora seorang wanita kaku, tetapi ia tak suka makan dalam keheningan. Sunyi kerap membuatnya merasa tak nyaman dan canggung. Ia lebih suka keadaan dimana mereka saling bertukar cerita saat bersantap, hal yang biasa diakukannya dengan kedua orang tuanya ketika sedang berada di meja makan. Kali ini, ia merasa heran dengan pilihan ibunya. Bagaimana bisa Sang ibu menjodohkannya dengan lelaki yang memiliki kepribadian sama sepertinya? Bukankah pasangan yang tepat adalah mereka yang bisa saling melengkapi dan bertolak belakang? Biasanya, ibunya sangat mengerti akan hal itu dan selalu menjodohkannya dengan lelaki talkactive, namun lihatlah dirinya saat ini, bosan setengah mati. “Sehabis makan kita langsung pulang. Tidak baik jika seorang wanita pulang terlalu malam.” Tony tersenyum tipis. Cora membuka lebar matanya, lelaki dihadapannya ini sopan atau terlalu sopan? ia merasa seperti anak sekolah yang diberikan jam malam oleh orangtua. Baginya yang sudah berumur tiga puluh tahun hal ini sangat tidak wajar. Dengan cepat ia mengubah raut wajahnya menjadi datar. “Oke.” Cora menghela napas panjang. Setidaknya, sebentar lagi ia akan terbebas dari keadaan canggung ini. Acara tidak penting itu pun berakhir. Tony menawarkan diri mengantar Cora pulang karena merasa tidak enak melihat seorang wanita pulang membawa mobil seorang diri pada malam hari. Padahal, jam yang melingkar di tangan kanan Cora baru menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia yang selalu mandiri langsung menolak tawaran Tony, merasa sangat tidak nyaman diperlakukan seperti anak abege yang harus diantar-jemput oleh pasangan. Tentu saja, Tony tetap memaksa dan menyuruh supir pribadinya membawa mobil Cora kembali kerumahnya, sedang ia mengantar Cora sendiri dengan mobilnya. Cora yang tadinya sudah merasa sedikit lega karena acara mengheningkan cipta mereka akan selesai, menjadi gusar kembali karena harus menahan diri beberapa saat lagi. “Hmmm … apa kamu tahu rumahku? kamu nggak nanyain alamatku.” Tanya Cora ketika mobil Tony sudah meninggalkan parkiran restoran. Tony tertawa geli mendengarkan pertanyaan yang dilayangkan Cora. “Tidak perlu kamu beritahu karena aku sudah tahu alamatmu, Cora.” Tony mengedipkan sebelah matanya. Ternyata lelaki ini bisa terlihat santai juga. Apa mungkin dia cucunya dukun? Hebat banget, tanpa ngasih tahu alamat, dia udah tahu aku tinggal dimana. Oh ya ... apa Mama yang ngasih tahu? Ya pasti, lelaki ini pasti salah satu anaknya temen Si mama. Cora menyandarkan kepala pada sandaran tempat duduk, menutup mata, dan berpura-pura tidur. Ia tak ingin terjebak dalam pembicaraan aneh saat mereka bersama. “Kita sudah sampai,” ucapan berserta sentuhan kecil pada lengannya itu mengakhiri sandiwara Cora. Ia memandang sekeliling dan tak percaya jika saat ini dirinya benar-benar sudah tiba di rumahnya sendiri. Wow. Ada kelegaan yang meneylimuti bathinnya karena perjalanan canggung itu telah berakhir. “Terima kasih untuk malam ini.” Cora melepaskan seatbelt dan ingin segera keluar dari mobil, tetapi gerakannya terhenti oleh tangan Tony yang menarik lengannya, mempertipis jarak di antara wajah mereka. Tatapan mereka terkunci menjadi satu garis, hingga Cora bisa melihat jelas manik mata biru lelaki itu yang terlihat bagai samudera yang mampu menenggelamkannya. Jantung Cora mendadak tidak tenang, ada sesuatu dalam tatapan lelaki itu yang seakan mampu menghipnotisnya. “You are mine! Bersiaplah untuk hidup baru kita.” Tony melepaskan kacamata, menatap ke dalam manik mata Cora dan mereka saling memandang dalam hening. Sedetik kemudian, bibir lelaki itu dengan lancang mencuri kecupan dari bibir Cora, sementara tangannya ditautkan di sela jemari Cora. Lelaki itu melahap bibir Cora yang terkatup, ia menelusupkan lidahnya dan mengundang lidah Cora untuk beradu dengannya. Cora masih mengatupkan bibirnya rapat-rapat, namun lelaki itu tak menyerah, ia masih menikmati ciuman sepihak itu, sementara Cora terlalu terkejut hingga tubuhnya membeku bak patung. Tak seperti biasanya, Cora akan cepat tanggap dan menghajar orang yang berbuat sesuatu yang tak ia sukai, akan tetapi kali ini berbeda. Ada rasa aneh yang membuat jantungnya berdebr kencang. Rasa asing yang membuat pikirannya mulai kosong. Saat Cora mendapatkan kesadarannya kembali, ia segera mendorong wajah Tony. Tanpa banyak berpikir lagi, ia segera berlari keluar dan meninggalkan Tony tanpa sepatah katapun. Sekarang ia terlihat seperti anak remaja yang merasa ciuman pertamanya hilang karena dicuri oleh Tony. Sungguh ia tak bisa menerima perlakuan Tony yang sembarangan, akan tetapi ia lebih tak mengerti pada dirinya sendiri. Mengapa ia membeku? Dan apa yang terjadi pada hatinya? Apa semua ini terjadi karena dirinya sudah terlalu lama sendiri atau memang lelaki itu terlalu sulit ditebak? Cora duduk di tepi ranjang, mencoba mencerna kejadian di mobil yang mengejutkannya. Lelaki di restoran yang terlihat begitu tenang, dingin, dan kaku. Tiba-tiba saja berubah menjadi orang yang berbeda, dia terlihat gila. Lelaki itu pantas dikatakan gila karena berani mencuri ciumannya dan mengatakan kata-kata yang tidak dapat dimengerti olehnya. Cora menghempaskan tubuh di kasur, memandang langit-langit kamar, lalu menyentuh bibirnya dengan jari dan mengusapnya lembut. Rasa bibir lelaki itu masih begitu membekas, meninggalkan banyak tanya memenuhi benak. Ia tidak mengerti kepribadian orang asing yang baru dikenalnya itu. Lelaki itu seakan memiliki dua kepribadian berbeda. Amarah Cora meledak saat memutar ulang kejadian demi kejadian malam ini. Walau ia tidak langsung memaki lelaki itu, ia tidak henti-hentinya merutuk Tony dalam hati. Besok pagi, ia akan langsung menolak lelaki itu mentah-mentah, menjadikan sikap lelaki itu sebagai alasan untuk ibunya menghentikan semua kegilaannya. Jodoh akan tiba di waktu yang tepat, tak perlu memaksakan sesuatu yang belum saatnya. Baginya, ciuman tidak sama dengan berjabat tangan yang bisa ia berikan kepada siapa pun dan kapanpun. Ciuman itu sangat pribadi dan intim. Walaupun ia hidup di zaman moderen, ia masih berpegang teguh dengan tradisi timur dan membatasi dirinya untuk melakukan hal di luar norma-norma. Ia tidak akan pernah mau bertemu dengan lelaki itu lagi di dalam hidupnya, untuk sekarang dan selamanya! Cukup satu hari yang dikacaukan oleh lelaki itu, ia tidak ingin hidupnya lebih kacau dengan bertemu kembali dengan lelaki gila itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD