The Ice Queen

1408 Words
Tak ada satupun wanita di dunia ini yang mau menikah dengan orang yang tak dicintainya. Impian semua wanita cukup sederhana, menemukan seseorang yang mampu membuat hati berdebar kencang, lalu mengikat diri dengan ikatan suci bernama pernikahan. Akan tetapi, tak semua wanita mampu mewujudkan mimpi sederhana itu, beberapa orang harus menikah tanpa cinta. Tinggal di bawah atap yang sama, bahkan tidur di ranjang dengan orang asing yang akan dipanggilnya suami. Aneh, namun begitulah hidup. Kau tak selalu mendapatkan apa yang kau inginkan. Begitupun dengan Cora, wanita hampir sempurna yang diinginkan banyak lelaki. Namun sayang, menjadi cantik tak selalu memberimu keberuntungan. Cantik adalah luka. Cora bukti nyatanya, banyak orang yang menyukainya, namun urung jika ingin berkomitmen dengannya. Cora Dianthe. Wanita berusia tiga puluh tahun. Memiliki karir sukses, namun gagal dalam kehidupan percintaan. Bukan wajah yang menjadi penyebab kesialannya. Cora adalah wanita hampir sempurna dengan mata bulat, kulit putih, dan juga rambut ikal sebahu. Nyatanya, penampilan seseorang tidak dapat menjamin apa pun. Sifat dingin dan posisinya sebagai Direktur pemasaran pada perusahaan besarlah yang membuat nyali lelaki di sekelilingnya menciut. Seharusnya bukan salah Si wanita, hanya saja para lelaki itu kekurangan kepercayaan diri untuk menaklukkan Cora. Sesungguhnya Cora hanya terlalu giat bekerja hingga terlihat dingin. Ia sama dengan wanita pada umumnya yang ingin diperhatikan dan memiliki sisi lembutnya sendiri. Hanya saja, ia tidak bisa menunjukkan semua itu di hadapan makhluk yang bernama lelaki. Ia tidak pernah mengalami kejadian menyakitkan dengan kaum adam. Bahkan, dirinya selalu meninggalkan lelaki yang menjadi pasangannya. Bukan seorang player, hanya saja, Cora belum menemukan labuhan terakhir bagi hatinya yang mulai membeku. Banyak alasan yang diberikannya kepada mereka saat sudah mulai bosan dengan hubungan monoton dan bukan sedikit lelaki yang membencinya karena dicampakkan. Bukan, ia bukanlah seorang playgirl. Ia hanya tidak tahu bagaimana caranya berinteraksi dengan lelaki dan sebagai wanita ia sudah lupa bagaimana rasanya jatuh cinta dan mencintai seorang lelaki. Walaupun percintaannya selalu gagal, Cora tidak pernah berputus asa. Suatu hari nanti, ia akan bertemu dengan lelaki yang mampu menyempurnakan dunia kecilnya. Wanita mana yang tidak ingin mempunyai kisah cinta bak negeri dongeng yang tak mengenal kata akhir, bukan? Ia hanya ingin dicintai dan mencintai. *** Cora mengurut pelipis, membuka lembar demi lembar dokumen di hadapannya dan berdecak sebal. Ditutupnya map hijau itu dengan kasar, lalu melemparnya ke meja. Cora menekan intercom, lalu berkata. “Nita, tolong masuk ke ruangan saya sekarang!” Tidak lama menunggu, seorang wanita berwajah oriental dengan rambut yang disanggul ke atas masuk ke dalam ruangan. Wanita itu berdiri tepat di hadapan meja kerja Cora. “Ibu memanggil saya? Ada apa, Bu?” Wanita yang terlihat rapi dengan rok di atas lutut itu tersenyum manis kepada Cora dan sayangnya orang yang menerima senyum itu tidak ingin bersusah payah mengarahkan wajahnya untuk wanita itu. “Tolong ke ruangan Susan dan ambil dokumen yang saya suruh dia kerjakan. Seharusnya dokumen itu sudah selesai sekarang.” Cora berkata datar, ia tidak dapat mengalihkan pandangan dari dokumen yang tengah berada di hadapannya, seakan matanya melekat pada lembaran kertas di sana. “Baik, Bu.” “Oh satu lagi.” Cora menunjuk map hijau di meja dengan cari telunjuknya, “Kembalikan map itu ke Susan. Kerjaannya nggak becus!” Nita menelan ludah, mengangguk singkat, lalu segera meninggalkan Cora yang masih terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Cora terkenal dengan sifat dinginnya di perusahaan. Tidak ada satu orang pun yang berani menatap matanya, mereka akan merasa terintimidasi saat mata mereka bertemu dengan mata Cora. Karena sifatnya, hingga saat ini ia tidak dapat menemukan lelaki yang dapat meluluhkan hatinya—mungkin lebih tepatnya lagi—tidak ada lelaki yang mempunyai nyali besar dan mencoba menaklukkan hatinya. Tidak lama menunggu, Susan tiba di ruangan Cora dengan wajah cemas. Cora mempersilahkan wanita itu duduk dan segera mengambil dokumen yang diulurkan Susan. Susan menunduk, sedangkan Cora sibuk memeriksa dokumen yang telah dikerjakan olehnya. Sesekali Cora membolak-balikkan lembaran dokumen itu. Ia menghela napas gusar, tidak sesuai harapannya. Cora segera meletakkan kembali dokumen itu di hadapan Susan. “Kerjakan kembali!” ucap Cora ketus, “Saya tunggu sampai jam lima, kalau nggak selesai sore ini, kamu belum boleh pulang. Saya udah kasih waktu seminggu untuk nyelesaian penawaran ini bukan?” Cora melemparkan dokumen yang dipegangnya tadi ke atas meja, ia tidak puas dengan pekerjaan bawahannya itu. Ia adalah seorang wanita yang perfeksionis, ia ingin semua pekerjaannya berjalan dengan baik, ia tidak dapat menerima sedikit pun kesalahan dari bawahannya.Ia ingin semuanya terlihat baik dan sempurna, ia tidak ingin kesalahan kecil itu dapat mengakibatkan kegagalan proyek yang sedang dikerjakannya saat ini. Pekerjaan adalah hidupnya, ia bahagia dengan pekerjaannya. Ia tidak pernah menyadari bahwa pekerjaannya itu hanyalah sebagai kedok agar ia tidak terlihat sebagai wanita yang sangat menyedihkan. “Baik, Bu … akan saya selesaikan sebelum jam lima hari ini.” Susan berkata dengan lemas, ia menundukkan kepalanya dan berjalan keluar dari ruangan Cora. Susan keluar dari ruangan Cora dengan wajah yang hampir saja ingin menangis, matanya tampak berkaca-kaca, tetapi ia berusaha sekuatnya agar airmatanya itu tidak keluar pada saat ia meninggalkan ruangan Cora. Ia mengerjakan dokumen yang Cora berikan dengan sangat teliti, ia tidak mengerti di mana letak kesalahannya, tetapi ia tidak berani untuk menanyakan langsung kepada wanita es itu. Bertanya letak kesalahannya ada di mana bisa membuat Cora semakin murka. “Disuruh ulang lagi kerjaan kamu, San?” seorang wanita berparas bule itu menegur Susan yang terlihat lesu saat memasuki pantry. “Iya biasalah … kamu tahu sendiri gimana Bu Cora, aku heran lihat kamu, Erine. Kenapa dulu kamu bisa tahan kerja bareng Bu Cora? susah kerja di bawah Ice Queen.” Susan menghela napas panjang. Ia menarik bangku kosong yang berada di sebelah wanita bernama Erine itu. “Ya mau nggak mau aku harus bertahan karena aku butuh pekerjaan ini.” Erine mengendikkan bahunya dengan tak acuh. “Iya sih … aku juga butuh pekerjaan, nggak mungkin kalau aku membangkang dan akhirnya dipecat.” Susan menghela napas panjang untuk yang kesekian kalinya. “Sayang banget ya cantik-cantik kaku, galak dan sedingin es. Hari-harinya cuma buat bekerja dan terus bekerja, lama-lama Bu Cora itu bakalan jadi perawan tua ya. Ice queen itu seharusnya cari calon suami aja daripada ngurusin kerjaan.” Erine mencibir. “Kamu doain aja semoga ice queen itu cepat nikah, biar dia nggak sedingin es seperti sekarang.” Susan berkata dengan suara yang terdengar begitu lelah. “Jadi dokumen kamu salah apa lagi?” Erine membuka dokumen yang terletak di atas meja kecil di hadapan mereka. “Nggak tahu, kalau nanya pasti makin dimarahin. Tahu sendiri mantan bos kamu itu matanya jeli banget, salah titik koma aja dia pasti marah dan nyuruh kita ngulang semua pekerjaan kita, perfeksionis banget.” Mereka berdua menghela napas panjang secara bersamaan. Cora selalu membuat bawahannya tidak tahan dengan sikap perfeksionisnya itu. Ia selalu memperhatikan pekerjaan yang dikerjakan oleh bawahannya itu dengan teliti, salah penempatan titik dan koma adalah kesalahan fatal baginya. Huruf besar dan kecil juga selalu diperhatikan olehnya dalam dokumen yang dikerjakan oleh bawahannya itu. Ia yang terkenal kaku, perfeksionis dan sedingin es itu secara tidak sadar telah membangun sebuah tembok tinggi bagi dirinya sendiri, tembok yang terbangun dengan kokoh telah membuat nyali para lelaki di perusahaannya menjadi ciut. Tidak sedikit dari rekan kerjanya yang tertarik dengan kecantikan wanita itu, tetapi mereka lebih memilih untuk tidak mendekatinya. Hubungan percintaan Cora hanya bisa bertahan selama beberapa bulan. Setelah ia bosan dengan pasangannya ia akan mencari cara apapun untuk mencampakkan lelaki yang menjadi pasangannya itu. Bukan, ia bukan kejam ataupun seorang playgirl, ia hanya tidak ingin terus-menerus memberikan harapan palsu kepada pasangannya, ia tidak ingin membuat hati para lelaki itu lebih terluka lagi dengan harapan palsu yang ia berikan. “Ini masih jam kerja, kenapa kalian malah nge-gosip di sini?” Cora berkata dengan datar dan melirik kedua orang karyawannya. Susan dan Erine saling berpandangan. “Maaf, Bu … ini kita sudah mau kembali bekerja.” Susan berkata dengan pelan, mereka tersenyum tipis dan menganggukkan kepala mereka kepada Cora, mereka segera berlari kecil meninggalkannya. ‘Selalu manggil aku dengan nama ice queen, emang aku itu ratu es? Mana ada wanita yang bisa menjadi sedingin es, enak aja bilangin aku dingin … mereka aja yang kerjanya nggak becus.’ Cora bergumam di dalam hatinya, ia mengeleng-gelengkan kepalanya. Ia menarik napas panjang dan menghelanya, ia menatap kosong gelas yang berada di tangannya, mendengar seluruh karyawannya membicarakannya adalah hal yang normal dan sangat biasa baginya. Ini bukan pertama kalinya ia mendengar para karyawannya itu mengatakan sesuatu yang membuat kupingnya panas. Bahkan mereka memberikan julukan ice queen untuknya. Baginya, ia adalah wanita normal yang penuh dengan kehangatan dan kelembutan. Ia adalah wanita normal yang mempunyai segudang mimpi indah tentang cinta dan yang paling penting adalah ia mencintai dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD