Bara menundukkan kepala, menatap lekat tanah berkerikil yang baru saja ia injak. Lalu ia mendongakkan kepala kembali menggerakkannya ke kanan dan ke kiri perlahan melihat ke sekelilingnya.
" Ck" lidahnya berdecak lantas menggelengkan kepala perlahan
" Kayak gini, toh..yang namanya pesantren?" Gumamnya pelan
" Semuanya pake peci, sarung dan baju Koko" gumamnya lagi
Benar, sekarang ini Langit Bara Dirgantara tengah berada di pesantren Akhlaqul Karimah, di sini lah tempat ia akan tinggal sekaligus menuntut ilmu agama. Ia melanjutkan langkahnya dengan raut wajah dingin dan datar. Dari jauh ia melihat seorang perempuan berdiri di pojok asrama khusus perempuan. Berpakaian syar'i, semua tertutup rapat hanya tampak kedua bola matanya saja. Tangannya yang tertutup sarung tangan memegang Al Qur'an mendekapnya di d**a.
Bara mempercepat langkahnya, tapi tidak merubah raut wajahnya. Ia menghampiri perempuan itu lalu berdiri di sampingnya,
" Permisi.."
Karena terkejut mendengar suara bariton khas laki laki, perempuan itu menggeser tubuhnya dengan cepat hingga jatuh terserimpet pakaiannya sendiri.
" Auhhh, astaughfirullah" perempuan itu meringis mengusap bokongnya yang terasa ngilu. " Untung ngga sampai jatuh" ucapnya lagi menatap tangannya yang sebelah kanan masih mendekap Al Qur'an
Bara memutar bola matanya jengah, lalu menyodorkan tangannya. Ia berniat membantu perempuan itu untuk berdiri, namun perempuan itu mengabaikan tangan Bara dan memilih bangun sendiri. Bara tersenyum malas. Perempuan itu terus menundukkan kepalanya tidak mau menatap Bara, " maaf, bukan mahram. Assalamualaikum" ucapnya lalu pergi dari hadapan Bara
" Sok kecakepan lo, muka lo komedoan ya, makanya di tutupin. Cakepan juga Marina, pacar gue!" Teriak Bara keras.
***
Bara menghembuskan napasnya kasar kemudian menyugar rambut ke belakang. Ia bingung, tidak tau harus bicara dan menemui siapa. Lalu ia duduk di kursi panjang terbuat dari kayu yang berada di bawah pohon berniat mendengarkan musik, namun baru akan memasang headset ke telinganya, tiba tiba seseorang menepuk pundaknya.
" Oh, astagaaa..bikin kaget aja, lo " maki Bara
" Ndak ada astaga disini, yang ada astaughfirullahalazim " ujar laki laki yang terlihat lebih tua usianya dari Bara. Laki laki itu memindai penampilan Bara dari atas sampai bawah, membuat Bara merasa risih di perhatikan begitu intens.
" Kenapa lo, liatin gue sampe begitu banget? Udah kayak penjahat ketangkep, gue" Bara berucap sambil berkacak pinggang
" Eh, asal lo tau..gue ini pemimpin perusahaan yang tertunda, gini gini gue CEO perusahaan besar, tau ngga?!" Sambung Bara lantang dengan menuding nuding telunjuknya di depan wajah laki laki itu.
" Astaghfirullah, mas. Saya sama sekali ndak menuduh sampean. Mas nya jangan suka su udzon, dosa besar mas. Saya kesini mau tanya, ini mas Langit bukan?" Tanya laki laki itu sekaligus menjelaskan. Bara menghembuskan napas pelan, memasang tampang kesal
" Oke. Kalo gitu kenalin, Panggil gue Bara!!" Tegas Bara menjulurkan tangannya sambil menatap laki laki itu dengan tatapan aneh. Laki laki itu meraih tangan Bara lalu menjabatnya ragu
" Dan ngga pake mas, cukup Bara aja! Lo kira gue mas mas tukang makanan gerobakan?!"
" Iya, baik mas..eh, anu..Bara" laki laki itu menjawab terbata
" Sekarang, kamu ikut saya masuk ke dalam. Sudah di tunggu pak kiai " laki laki itu memberitau. Bara melepaskan jabatan tangannya dengan laki laki itu, ia mengerutkan keningnya lantas melipat kedua tangannya di depan dada
" Lah, emang dia siapa nyuruh gue masuk? Lagian lo mau aja di suruh suruh, kenapa ngga dia aja yang kesini kalo ada perlu sama gue? Trus lo siapanya dia?" Pertanyaan beruntun terlontar dari mulut Bara dengan nada sinis
" Ya, kalau pak kiai yang kesini itu ndak sopan. Kamu kan, jauh lebih muda, dan yang muda harus menghormati orang tua. Saya Fadilah, saya di suruh pak kiai untuk menjemput kamu" jelas Fadilah sopan
" Ck " Bara berdecak lidah
" Lo duluan deh, ntar gue nyusul. Masih cape, mau rebahan dulu disini. Lo kira perjalanan kesini deket apa?!" Bara menyahut ketus. Kemudian bergerak hendak kembali ke kursi
" Tapi ndak bisa, di suruhnya sekarang jug--" ucap laki laki itu cepat sebelum Bara mendaratkan bokongnya di kursi tapi lantas di potong tak kalah cepat oleh Bara
" Iya, iya ah! Bawel lo kayak cewek! Laki tu jangan bawel!"
Dengan sangat terpaksa, Bara melangkahkan kakinya mengikuti Fadilah dari belakang. Berjalan melewati lorong lorong bangunan pesantren Akhlaqul Karimah. Bangunan yang berdiri di atas tanah itu terlalu tidak layak untuk seorang Bara yang bahkan tidak pernah menginjak tanah secara langsung. Ia terbiasa hidup mewah bahkan terlalu mewah.
Sebelum ke pesantren itu, Bara sudah diberi tau oleh papanya terlebih dahulu detail pesantren tersebut. Ya..meski pun Bara tidak mendengarkan papanya dengan benar, hanya beberapa kata saja yang masuk ke telinganya. Bola matanya berkeliling menatap satu persatu bangunan. Bangunan seperti rumah panggung berdiri di atas tanah, rumah rumah itu terbuat dari kayu dengan warna cat yang sama, hijau daun. Tidak beraspal hanya tanah yang ditumbuhi rumput itupun tidak rata, masih banyak pohon pohon besar yang rindang, terdapat kursi panjang di setiap bawah pohon besar. Bangunan itu di kelilingi dinding yang tinggi, terdapat kawat juga pecahan kaca di atasnya. Mungkin agar santri yang berniat melarikan diri menjadi kesulitan melewatinya. Bara tersenyum menyeringai, ' tapi ngga susah bagi gue' batinnya. Bara beralih menatap punggung Fadilah yang berjalan di depannya.
" Ini, nih pesantren yang dibilang modern?" Bara bertanya pada Fadilah
" Iya, pesantren kita sudah termasuk modern karena selain mempelajari ilmu agama, juga mempelajari pelajaran umum dan enam bahasa. Seperti bahasa inggris, bahasa Mandarin, bahasa jepang, Prancis dan Jerman, dan yang pastinya bahasa Arab " Fadilah menjelaskan dengan ramah
Bara tersenyum tipis, semua bahasa yang disebutkan tadi, sudah tentu ia telah menguasainya, kecuali..bahasa Arab. Bara tidak akan terburu buru, ia mengesampingkan sementara niatnya untuk melarikan diri.
***
" Tapi di sini tempatnya jauh dari kemajuan teknologi, jauh banget malah..bangunannya aja dari kayu, mana masih tanah lagi..modern apa nya?, Kalo yang di pelajarin emang udah modern..harusnya dipake dong ilmunya buat ngerubah kehidupan jadi lebih modern. Ya, kalo cuma dipelajarin ngga di praktekin buat apa?" Bara berceloteh
" Lo liat dong, di sekeliling pesantren ini semua nya sawah, kebun teh..jauh dari pemukiman warga, gue heran, kok ada ya..yang mau tinggal di sini? Termasuk Lo" Bara melanjutkan ocehannya
Fadilah hanya terdiam tidak menanggapi, membiarkan saja Bara berceloteh sendirian, hingga akhirnya mereka sampai di salah satu bangunan rumah panggung yang sedikit tampak berbeda, di halaman depan terparkir mobil mewah yang Bara kenali. Terlihat banyak santri yang menatap dengan binar di mata mereka, berdecak kagum melihat mobil mewah keluaran luar negeri terparkir gagah di halaman.
" Assalamualaikum, Kiai" Fadilah mengucap salam sambil sedikit membungkuk hormat kepada orang orang yang ada di dalam ruangan itu termasuk juga orang tua Bara.
" Langit?" Panggil seorang wanita, di ketahui bernama Sofie, ibu tiri Bara. Kemudian wanita itu beranjak dari duduknya menghampiri Bara yang masih berdiri di ambang pintu. Seolah memperlihatkan perhatiannya. " Kamu kemana saja, Langit. Mama sama papa nungguin kamu dari tadi" ucap Sofie khawatir, hendak menyentuh bahu Bara tapi ia mundur selangkah sengaja menghindar dari tangan Sofie, lalu memberikan tatapan tajam ke arah wanita itu.
" Maaf, Langit. Mama-"
" Lo budeg ya? Berapa kali gue bilang jangan panggil gue Langit! Dan berapa kali gue bilang lo bukan mama, gue!" Bentak Bara dengan nada suara tinggi
Ucapan kasar yang keluar dari mulut Bara ternyata dapat memancing amarah Sebastian -papanya Bara.
" Langit! Jaga ucapan kamu!!" Tegur papanya
Bara merotasi bola matanya jengah, ia tidak mengizinkan siapapun memanggilnya Langit, selain mama kandungnya. Salma, mama kandung Bara telah meninggal dunia sejak Bara duduk di kelas satu SMP. Sebastian memutuskan menikah lagi dengan Sofie setelah beberapa bulan ibunya meninggal . Begitu cepat sang papa melupakan mamanya. Bara tidak pernah menerima keputusan papanya untuk menikah lagi, ia tidak pernah sekalipun memanggil Sofie dengan sebutan mama hingga sekarang. Dua tahun yang lalu Bara baru menyelesaikan pendidikan magister nya, sesungguhnya ia tidak mau pulang ke Indonesia karena tidak menyukai Sofie. Kehidupannya yang bebas membuat Sebastian kewalahan dan putus asa, karena Bara harus menggantikannya di perusahaan atas amanah ayah kandung Salma. Balapan liar, mabuk mabukan juga mempermainkan perempuan, menjadi kebiasaan Bara setiap hari.