3. Laki-laki Penebar Pesona

1655 Words
Karena rasa kantuk tak juga menyambanginya Bimo akhirnya memilih duduk. Meletakkan bantal di belakang tubuhnya kemudian menyandarkan punggungnya di sana. Sejenak Bimo menatap punggung Kia yang sudah terlelap sejak dua jam yang lalu. Diraihnya ponsel miliknya yang sejak tadi sudah offline di atas nakas di sebelahnya. Untuk mengisi kesendirian Bimo memutuskan mengaktifkan kembali jaringan internet di ponselnya untuk menghibur diri. Seperti biasa Bimo akan membaca artikel yang berkaitan dengan kesehatan. Jika sedang fokus dengan apa yang tengah dibaca biasanya Bimo akan melupakan apapun yang mengganggu dalam benaknya. Lima belas menit berlalu Bimo tak juga mampu mendapatkan konsentrasinya. Artikel yang biasa begitu menarik kini seolah tak berguna. Pikirannya tetap tertuju pada gadis cantik di sampingnya. Bimo gelisah bukan lantaran hak malam pertamanya tidak terpenuhi melainkan karena rasa syukur yang tak terkira kepada Allah SWT. Bimo sangat bahagia karena berhasil mengikat Kia dalam sebuah pernikahan. Bimo pun sadar jika pernikahan ini tidak adil untuk Kia karena setitik pun tak ada rasa cinta gadis itu untuknya. Tapi Bimo yakin Kia adalah jodoh yang telah Allah gariskan untuknya. Gadis yang akan menemani dirinya hingga tutup usia. Urusan cinta Bimo serahkan semua kepada Sang Penulis Takdir yang telah menyatukan mereka dalam sebuah ikatan suci pernikahan. Bimo menutup artikel yang tengah dibacanya lalu kembali offline. Diletakkan kembali ponsel itu di tempatnya semula. Tak lupa Bimo juga mengganti lampu utama kamar menjadi lampu tidur. Perlahan Bimo merebahkan tubuhnya. Menghadap punggung Kia yang terhalang sebuah guling dengan kepala bertumpu pada tangan. Lalu Bimo berinisiatif untuk menyingkirkan guling tersebut. Tetap dengan penuh kehati-hatian Bimo menggeser tubuhnya demi memupus jarak di antara mereka berdua. Tangan Bimo terangkat, berniat menyentuh bahu Kia yang terlihat bergerak teratur. Tiba-tiba jemari Bimo mengepal, menariknya kembali. Mengurungkan niatnya untuk menyentuh tubuh perempuan yang telah menjadi halal untuknya tersebut. Bimo tidak ingin Kia marah karena dirinya telah lancang menyentuh tanpa seizin gadis itu. Tapi derap jantung Bimo mulai bertingkah. Antara hati dan logikanya berbenturan tak keruan. Kata tenang mungkin hanya mampu diucapkan demi menenangkan kerisauan hatinya yang mendamba. Bimo tak mampu mengelak jika hatinya telah dilumpuhkan oleh pesona gadis di hadapannya. Entahlah, Bimo tak pernah yakin kapan dan di mana ia mulai menyukai gadis bernama lengkap Azkia Khairani Alfarizi tersebut. Padahal selama ini gadis itu selalu bersikap acuh padanya. Apalagi memandang dirinya seperti para perempuan kebanyakan. Kia bukan perempuan yang suka berbasa-basi ataupun bersikap ramah tamah kepada orang yang tak dihendakinya. Termasuk kehadiran dirinya yang seolah tak pernah dipandang. Tiba-tiba Kia bergerak, memutar tubuhnya menjadi menghadap padanya sedangkan Bimo memilih tak bergerak sedikit pun agar tidak sampai Kia terbangun. Bahkan Bimo berulang kali menahan napas sampai Kia membenarkan posisi tidurnya dengan nyaman. Tentu saja tubuh Kia merasa kebas karena tidur dalam posisi yang sama sejak beberapa jam lalu. Tangan kiri Bimo kini beralih fungsi menjadi bantal. Dipandanginya wajah cantik Kia yang sedang terlelap. "Masyaallah, tidur aja cantik banget istri gue. Belom ini klo tersenyum, bisa leleh gue," puji Bimo dalam hati dengan tatapan memuja. Spontas tangan Bimo terangkat, secara perlahan jemari Bimo meraih helai rambut cokelat bergelombang milik Kia. Menyingkirkan helaian rambut yang mencoba menghalangi pemandangan indah di hadapannya. Tak ada tanda-tanda pergerakan dari tubuh Kia, Bimo lantas menggeser lagi tubuhnya. Benar-benar memangkas sisa jarak di antara mereka. Perlahan tangan Bimo terulur. Dipeluknya tubuh Kia dengan erat. "Aku mencintaimu Kia," desis Bimo sembari memejamkan mata. Menikmati perasaan hangat yang mulai menjalar di setiap aliran darah dalam tubuhnya. "Good night istriku," ucap Bimo lalu mengecup kening Kia dengan penuh perasaan. ***** Tepat pukul 04.10 Bimo terjaga. Gegas secara perlahan ia melepaskan tubuh Kia dari pelukannya. Berharap Kia tidak sampai terbangun lalu marah padanya. Setelah terbebas, Bimo lantas mengambil guling yang semalam dijadikan pembatas oleh Kia. Ia letakkan guling itu di samping Kia lalu ia segera beranjak menuju kamar mandi. Sekitar 10 menit lagi adzan subuh pasti berkumandang. Jadi Bimo akan bersiap-siap dulu agar Kia tidak sampai merasa curiga. Barulah setelah itu ia akan membangunkan Kia untuk salat subuh berjamaah dengannya. Kia menggeliat. Merasakan tubuhnya yang rapuh karena kecapean. Masih dengan kedua mata memejam tangan Kia meraba selimut yang menutupi tubuhnya. Seingatnya, semalam ia tidur tanpa memakai selimut. Kia terdiam untuk waktu yang tak sebentar. Otaknya sedang bekerja ekstra demi mengingat kegiatan yang dilakukannya kemarin hingga menjelang tidur. Hidung mancungnya terlihat kembang kempis demi mengenali aroma asing yang menyapa indera penciumannya. Aroma asing itu cenderung bittersweet bercampur sedikit hint vanilla. Parfum khas laki-laki beraroma dark chocolate. Untuk sekian detik Kia terdiam. Mencoba menerima jika sejak kemarin aroma itulah yang akan menemani hari-harinya. "Ya ampun aku kan udah nikah!" Pekik Kia sembari membuka mata lalu segera duduk saat menyadari jika statusnya sekarang adalah seorang istri. "Mas Bimo?" Panggil Kia sambil meraup helai rambutnya yang berantakan dengan jari-jemarinya. Kia menggelung begitu saja rambut panjangnya lalu segera beranjak dari ranjang untuk mencari keberadaan sang suami. "Istriku udah bangun ternyata," ucap Bimo saat baru saja ke luar dari kamar mandi dengan wajah yang terlihat basah dan segar. Kia membuang napas kasar. Merasa geli dengan panggilan Bimo untuknya yang terdengar norak. Tak ingin menanggapi, Kia segera meraih selimut yang tadi dikenakannya. Melipatnya dengan rapi lalu meletakkan begitu saja. "Kamu ambil wudhu dulu. Kita jamaah!" ucap Bimo lagi tanpa ingin sedikit pun melewatkan setiap ekspresi wajah gadis di hadapannya. Kia menghela napas panjang lalu melangkah mendekat. Tapi bukan berarti mendatangi Bimo melainkan hanya melewati laki-laki itu yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi. Bimo mengambil peralatan salat di dalam lemari. Lalu menggelar dua sajadah yang memang sudah tersedia di lemari kamar hotel. Entah keluarga Kia yang menyiapkan peralatan salat di kamar pengantin mereka atau memang fasilitas hotel Bimo tak tahu-menahu soal itu. Selagi menunggu Kia berwudhu Bimo duduk di atas sajadahnya. Setelah menyiapkan sepasang mukena di atas sajadah untuk Kia, Bimo bershalawat dalam hati. Tak lama Kia ke luar dari kamar mandi. Dengan jantung berdebar Kia melangkah mendekat. Gegas Kia mengenakan mukena dan bersiap untuk salat. Bimo menatap Kia dengan tersenyum lembut lantas berdiri. Menghadap ke arah kiblat disusul dengan bacaan niat salat subuh dengan khusyuk. "Allahuakbar!" Bimo memulai ibadah salat. Kia memejamkan mata sembari membaca niat disambung dengan bacaan takbir. Mulailah Bimo membaca surat al-fatihah dengan suara sedang. Memang suara Bimo tak semerdu suara muadzin masjid. Tapi suara lembut laki-laki itu berhasil memberikan ketentraman dalam hati Kia. "Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh." Dua kali bacaan salam sebagai pertanda jika ibadah salat subuh mereka telah usai. Tak langsung mengakhiri ibadah mereka, Bimo membaca wirid singkat lalu dilanjutkan dengan doa yang tentu saja diikuti oleh Kia. Setelah itu Bimo mengubah posisinya menjadi menghadap ke arah Kia. Sebagai seorang istri tentu saja Kia langsung menerima uluran tangan Bimo lalu menciumnya. Kia sedikit tersentak saat tiba-tiba Bimo meraih kepalanya. Namun Kia segera tersadar jika suaminya itu hendak membacakan doa untuknya. "Allahumma inni as'aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa 'alaih. Wa a'udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha 'alaih." Artinya: ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya. Setelah bacaan doa yang dipanjatkan Bimo selesai Kia segera menjauhkan dirinya dari sang suami. Kia benar-benar belum terbiasa dengan kehadiran Bimo dalam kehidupannya apalagi sampai melakukan kontak fisik. "Subhanallah cantik banget istriku," puji Bimo sembari menghentikan tangan Kia yang hendak melepaskan mukenanya. Jangan lupakan senyuman menyebalkan itu kini menghiasi wajah tampannya. "Udah, Mas Bimo nggak usah muji-muji! Enek aku dengernya," sahut Kia tanpa berekspresi. "Wajar dong klo aku muji istriku sendiri. Lagian masak aku muji istri orang sih!" Goda Bimo sembari menikmati wajah kesal Kia yang justru meningkatkan kadar kecantikan gadis itu di matanya. Kia melepaskan mukena yang dikenakannya. Melipatnya dengan cepat namun harus dengan keadaan rapi seperti sebelumnya. "Ya ampun istriku, kamu bikin aku tambah gemes deh!" ujar Bimo dengan terus membidik obyek di hadapannya. "Masih pagi Mas, jangan bikin aku tambah mual," kesal Kia kemudian langsung berdiri. "Kan aku jadi sayang kenapa ranjang pengantin kita masih rapi. Harusnya kamar pengantin baru itu..." "Stop!" tukas Kia dengan tatapan tajam. "Nggak perlu dilanjutkan Mas. Aku udah paham. Tapi please.. Kasih aku waktu dulu. Jangan memaksakan apa yang nggak aku ingini!" tegas Kia yang mulai tersulit emosi. Mungkin jika gadis lain akan bersikap malu-malu mendengar rayuan manis Bimo. Tapi Kia tentu saja tidak akan mempan dengan rayuan recehan dari Bimo. Sejak dulu Kia paling anti dengan laki-laki bermulut manis. Sialnya Kia justru berjodoh dengan laki-laki penebar pesona seperti Bimo. Menyadari suasana hati Kia yang sedang tidak baik-baik saja Bimo lantas mengangkat kedua tangan. Seringai jahil yang tadinya tercetak di wajahnya perlahan mulai memudar. Bimo lantas melepaskan peci dan melipat sajadah yang tadi dikenakannya lalu memasukkan kembali ke dalam lemari. Setelah itu Bimo berjalan ke arah balkon tanpa berucap sepatah kata pun. Kia tertegun menatap punggung Bimo yang saat ini duduk di kursi balkon. Perasaan menyesal seketika menyergap hati Kia. Sikapnya memang keterlaluan. Bisa-bisanya ia berkata kasar pada suaminya sendiri. Kia terduduk di tepi ranjang tanpa berani mendekat. Harusnya dirinya bisa bersikap tenang meskipun dalam waktu yang tidak ditentukan akan merasakan ketidaknyamanan. Mengingat nasihat kedua orang tuanya sebelum menikah membuat Kia semakin merasa bersalah. Dengan mengesampingkan egonya Kia berdiri. Mendatangi Bimo yang tengah menikmati langit bertabur bintang di atas sana "Mas, maafin ucapanku tadi," aku Kia sambil berdiri di samping Bimo yang menampilkan wajah tanpa ekspresi. Bahkan Kia tak mampu menebak perasaan apa yang saat ini dirasakan oleh laki-laki di hadapannya. Bimo berusaha bertahan dalam ekspresi yang sama padahal dalam hati ia ingin sekali tertawa melihat ekspresi wajah menyesal berpadu ketakutan milik sang istri. "Maaf untuk apa istriku?" tanya Bimo sembari mengangkat kepala demi memperhatikan wajah cantik istrinya. "Ya yang tadi itu," jawab Kia dengan gugup. "Tadi yang mana?" Bimo melayangkan pertanyaan balik. Senyuman jahil mulai tercetak di bibirnya. "Mas Bimo serius dikit bisa?" Kesal Kia mulai merasa dipermainkan. "Mana pernah sih aku bercanda, aku selau serius kok! Apalagi cintaku padamu," rayu Bimo seraya berdiri. "Susah emang ngomong sama Mas Bimo!" tukas Kia lalu bergegas pergi meninggalkan Bimo dengan seringai menyebalkan. *** Baca sampai tamat di apk Karya Karsa

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD