3. Dusun Gampit yang Misterius

1310 Words
Dulu aku hanyalah gadis biasa yang ceria, ceroboh, dan sedikit … ehm, centil. Namun jelas aku bukan indigo. Aku baru tahu bisa melihat hantu begitu masuk ke Dusun Gampit, tepatnya di hutan yang seolah menjadi gerbang masuk ke dusun terpencil ini. Dan yang lebih membuatku heran, adikku, Fitri, juga bisa melihatnya! “Sejak kapan kamu bisa melihat mereka?” tanyaku penasaran. Sore hari yang cerah ini aku meminta izin membawa Fitri jalan-jalan keliling dusun. Sepertinya lebih tepat Fitri yang memanduku berjalan mengeliling dusun, karena dia lebih paham tempat ini daripadaku. “Siapa mereka yang Kakak maksud?” Fitri balas bertanya dengan acuh seraya meninabobokkan bonekanya. Kami tengah beristirahat di taman tak terurus, di pingir dusun. “Anu ….” Aku mengusap ujung hidungku dengan kikuk. Membahas masalah dunia halus begini membuatku kurang nyaman. “Mereka itu seperti Pakde Kusuma yang pernah kita lihat.” “Hantu?” tembak Fitri langsung. Aku mengangguk sembari memastikan tak ada yang mendengar pembicaraan kami. Untung taman ini sepi. Hanya ada kami berdua disini. “Fitri gak inget. Pokoknya sejak Fitri sadar, mereka sering datang.” “Fitri gak takut?” Fitri menggeleng acuh. “Enggak.” Ingin sekali aku bertanya apa dia tak takut jika melihat sosok yang menyeramkan, seperti hantu perempuan yang kulihat di hutan tempo hari. Tapi aku tak tega, khawatir Fitri justru akan terpikir hal itu. Ah, biarlah Fitri seperti ini. Meski bisa melihat makhluk halus, dia tampak tak terbebani. “Apa kalian putri Pak Pandugo?” Seseorang mendatangi dan menyapa kami dengan ramah. Dia membawa sapu ijuk di tangannya, mungkin dia adalah pengurus taman. Usianya sudah lanjut, pantas taman ini kurang terawat dibawah tangannya. “Mbah Siswo,” panggil Fitri sopan. Dia beranjak bangun untuk salim pada lelaki tua itu. Punggung tangan keriput Mbah Siswo ditempelkan di pipinya. Aku mengikuti jejaknya. “Saya Fara, Mbah. Kakak Fitri,” kataku memperkenalkan diri. “Apa Nak Fara baru pertama kali ke dusun ini? Saya belum pernah melihatmu.” “Injih, Mbah. Kakak baru dua hari pindah kemari,” sahut Fitri senang. Dia tersenyum memamerkan gigi ompongnya. “Sekarang Fitri punya teman bermain.” Mbah Siswo tersenyum lembut pada adikku, tangannya mengusap rambut Fitri dengan penuh kasih sayang. Mungkin selama ini Fitri sering datang kemari menemani orangtua ini sehingga hubungan mereka tampak dekat. “Mbah Mudji baru selesai menggoreng jemblem dan ada pisang kukus. Apa kalian mau minum teh bersama kami?” tawar Mbah Siswo pada kami berdua. “Mau, Mbah! Asik!” seru Fitri menyetujui. Mbah Siswo membawa kami ke rumahnya yang sederhana. Lebih mirip gubuk kecil yang terletak di belakang taman. Kupikir Mbah Mudji lelaki, ternyata dia wanita tua dengan perawakan besar. Kebalikan dengan suaminya yang ceking tapi tinggi. Kami menikmati hidangan yang disediakan Mbah Mudji. “Jemblem Mbah Mudji selalu jempol!” puji Fitri seraya menjilat jempolnya yang belepotan ulenan gula jawa, isi jemblem yang dimakannya. “Memang kecap selalu nomor satu,” ledekku pada Fitri. Dia balas meleletkan lidah. Aku tergelak melihatnya. Hatiku diliputi kehangatan merasakan keakraban diantara kami. Betapa menyenangkan memiliki adik cewek, aku nyaris melupakan perasaan itu. “Nak Fara ndak suka dengan jemblem buatan Mbah?” Pertanyaan Mbah Mudji membuatku kikuk. Aku tertawa canggung menanggapinya. “Enggak, kok, Mbah. Jemblemnya enak. Saya tadi hanya menggoda Fitri. Sungguh.” Aku segera mengalihkan pembicaraan pada hal lain supaya Mbah Mudji tak tersinggung dengan ledekanku tadi. “Ohya, Mbah. Saya mau tanya. Kalau saya perhatikan semua benda di dusun ini selalu berjumlah dua atau genap. Gak ada yang ganjil. Mengapa begitu?” tanyaku iseng. Kali ini Mbah Siswo yang menjelaskan. “Nak Fara tau arti kata ‘Gampit’?” Aku mengangguk ragu. Walau tak terlalu mahir, aku pernah belajar Bahasa Jawa saat di sekolah. “Gampit itu mirip, menempel, dan sebelahan, kan?” Mbah Siswo mengangguk. “Bisa juga diartikan kembar dua. Dusun ini dinamakan Gampit, karena menurut tradisi semua benda, bahkan tanaman atau hewan peliharaan semua harus berjumlah dua atau genap.” “Mengapa begitu?” tanyaku dengan dahi mengernyit. “Untuk menolak bala,” jawab Mbah Mudji pelan. “Bala?” Apa itu bala? “Bala itu semacam kutukan. Jadi dibuat aturan ini sebagai tumbal supaya ndak memakan korban,” lanjut Mbah Siswo. “Kutukan apa, Mbah?” “Penunggu dusun ini dendam rindu pada anak kembar. Setiap ada anak kembar, dia akan mengambil salah satu dari mereka untuk dijadikan tawanannya di alam baka. Itu sebabnya kami mengelabui dengan mengkembarkan semua benda, hewan, dan tanaman di dusun ini.” Tawanan di alam baka? Bukannya itu berarti salah satu dari si kembar akan meninggal? Sungguh kutukan yang mengerikan! Semoga itu tak nyata. “Serius kutukan itu ada, Mbah?” Mbah Siswo mengiyakannya. “Dulu pernah terjadi seperti itu. Oleh karena itu kami mengatur penolakan bala dengan cara menggantinya dengan barang lain.” Penjelasan Mbah Siswo tak masuk di kepalaku. Perhatianku terampok oleh sesuatu yang mengusik hatiku. Cowok dalam mimpiku! Dia muncul disini. Aku harus mengejarnya. “Maaf, Mbah. Saya permisi dulu. Tolong titip Fitri.” Tanpa menunggu respon mereka, aku bergegas pergi mencari cowok yang membuatku penasaran. Mengapa secepat itu jejaknya menghilang? Apakah dia ada atau hanya ilusiku? Aku berlari sampai ke taman lagi. Hari menjelang senja, langit mulai gelap. Suasana di taman menjadi redup. Dih, mengapa jadi mendadak horor begini? Angin bertiup semilir dingin mengenai tengkukku, bulu kudukku meremang seketika. Angin dingin ini seolah menandakan sesuatu yang tak semestinya ada telah hadir disini. Wuuus …. Kembali terasa angin melintas di belakang punggungku diiringi suara tawa yang terdengar amat samar. Aku takut, tapi tak bisa menahan rasa ingin tahu yang bergelayut. Bola mataku memutar perlahan dengan tegang, diikuti tubuhku yang berbalik menghadap arah suara tawa lirih itu. Tak ada apapun disana! Belum sempat aku menghela napas lega, ekor mataku menangkap pemandangan mengerikan yang melintas di samping tubuhku. Tubuh setan perempuan itu tak utuh, seolah terpotong dengan paksa. Hanya ada satu tangan, sedang lengan yang lain bunting … terpotong kasar di pangkalnya. Yang lebih menakutkan adalah kepalanya yang tak sempurna. Seakan teriris oleh pisau besar hingga bentuknya tak lagi bulat. Bayangkan saja bentuk telur yang pinggirnya teriris pisau. Cukup lebar irisannya hingga bagian mata dan telinga sebelah kanan lenyap, juga pangkal hidung sebagian ikut teriris. Dan dari irisan itu masih menetes darah yang berbau anyir. Dia sangat mengerikan, ditambah dengan rambut panjangnya yang berkibar ditiup angin … rambut yang hanya tumbuh di separuh kepalanya, karena bagian lainnya hilang tersayat! Aku menjerit histeris. Syok dan ketakutan. Seseorang mendadak muncul didepanku dan menghalangi pandanganku dari makhluk paling mengerikan yang pernah kulihat. Dia cowok dalam impianku! “Tenang!” bentaknya dingin. Aku terdiam karena kaget. Mataku menatapnya nyalang. Pandangan kami terkunci satu sama lain. Dia sama persis dalam mimpiku. Tubuhnya tinggi dan kekar. Wajahnya muram, misterius namun sangat tampan. Tak ada senyum di wajahnya, bahkan dia menatapku sangat dingin. Aku sontak teringat mimpiku, dalam mimpiku dia telah mencelakaiku. Spontan aku was-was padanya. Apakah itu berarti dia musuhku? “Siapa kau?” desisku seiring suara angin yang bertiup agak kencang. Dia diam cukup lama, aku nyaris mengira dia tak berkenan menjawab pertanyaanku ketika perlahan bibirnya terbuka. “Gading.” Jadi itu namanya. Sama dalam mimpiku. Keyakinanku semakin tebal bahwa mimpiku akan menjadi kenyataan. Tak sadar aku beringsut mundur menjauhinya. Jangan sampai dia mencelakaiku saat ini! “Jangan dekati aku,” kataku memperingatkannya. “Kakak, mengapa teriak?” Aku menoleh pada adikku yang muncul dengan napas terenggah-enggah. Mungkin dia buru-buru berlari kemari karena mendengar jeritanku tadi. “Ini tadi ada ….” Saat aku kembali memandang ke depan, tak ada apapun disana. Baik setan buntung tadi maupun Gading. Aku terpaku, bingung seketika. Ada apa gerangan dengan diriku? Aku sulit membedakan apakah yang kulihat nyata atau halusinasi. “Apa Fitri tadi melihatnya?” “Ada Kakak tampan. Dia pergi dengan cepat.” Berarti Gading itu nyata. Demikian pula setan buntung yang menakutkan tadi. Aku bergidik terbayang sosoknya. Mengapa dia menerorku? Apa yang diinginkannya dariku? Bersambung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD