POV Reyhan

1164 Words
Namaku Reyhan. Reyhan Fadila. Aku baru saja pulang dari menyelesaikan kewajiban ku sebagai seorang dokter yang bertugas malam. Seperti biasa istriku selalu melayaniku dengan sangat baik, dengan mencukupi semua kebutuhanku, menyiapkan pakaian yang sudah rapi dan wangi juga sarapan, tidak lupa semua dia lakukan dengan penuh cinta dan ketulusan dan aku tidak pernah meragukan itu. Pagi itu tidak pernah terlintas di pikiranku bahkan tidak sedikitpun aku pernah membayangkan jika sikap lembut istriku pagi itu adalah pelayanan terakhir untukku karena setelah kami menyelesaikan sarapan kami, dia meminta untuk berbicara padaku. Tentu saja aku sedikit heran karena ini adalah kali pertama di meminta ijin padaku untuk bicara, karena biasanya jika dia ingin bicara atau mengatakan sesuatu dia akan langsung mengatakannya dan bermanja di lenganku, dan jujur aku sangat menyukai itu. Aku mengikuti apa yang istriku minta dan duduk di sofa ruang tengah karena dia sudah lebih dulu duduk di sana. "Mas, apakah hari ini mas tidak ada jam praktek?" Tanya Alea istriku usai menemani ku sarapan pagi. Senyum selalu terpancar indah di wajah teduhnya dan rambut hitamnya juga ikut mempesona seolah menggodaku untuk sekedar menciumnya. Istriku wanita berjilbab tapi kadang kalo di rumah dia memang melepas jilbabnya, dan aku tidak pernah melarangnya karena sejatinya dia tipe wanita penurut dan sedikit paham akan norma dan cara menjaga kehormatan keluarga juga suaminya. "Tidak ada, tapi mungkin nanti malam baru ada," jawab ku santai sambil menikmati kopi yang istriku buatkan. "Kenapa sayang," tanya ku kembali. Karena ku pikir dia ingin ditemani berbelanja atau sekedar bersantai karena terkadang keinginan wanita itu sederhana tapi cara menyampaikannya penuh pertimbangan, takut mengganggu pekerjaan suaminya lah, takut, di katain manja lah, tapi sejatinya aku menyukai semua yang istriku lakukan. "Aku ingin membicarakan sesuatu," ucap Alea dengan sangat hati-hati. Aku hanya mengangguk, "Tidak biasanya Alea bertanya jika ingin mengatakan sesuatu, biasanya dia akan langsung ngomong," bisik ku dalam hati. Aku pindah duduk di sebelah istriku sambil memeluk bahu istriku, namun Alea memilih menghindar, aku menyadari itu , hingga keningku pun berkerut, pertanda ketidak mengertian ku atas sikap istriku tadi. Alea berjalan ke arah nakas di sebelah ku, kemudian mengeluarkan sebuah kertas amplop berwarna coklat. "Bukalah mas," ucap Alea istriku sangat halus karena dia memang tidak pernah berbicara kasar atau bernada tinggi padaku. Tidak hanya padaku tapi pada semua orang, dia wanita lembut dan mudah untuk di sukai, kurang lebih itu yang ibuku katakan dan akupun menyadari itu. "Apa ini sayang?" Tanya ku dengan wajah tak mengerti ku, setelah nya aku segera membuka isi amplop coklat yang istriku berikan. Mungkin mimik wajah ku langsung berubah pucat ketika melihat isi amplop itu karena jujur aku terkejut. Sebuah pigura yang tentu saja sangat tidak asing dengan orang yang ada di pigura itu, aku mengalihkan pandanganku pada istriku , seolah ingin bertanya dengan apa yang ingin dia tau. "Apa mas mengenalnya?" Tanya Alea santai. Aku tentu saja terdiam, antara gugup dan bingung harus menjawab apa, "di,,,,,,,, a, dia Devina mantan kekasih ku dulu," jawab ku sedikit tergugu. Pasalnya aku tidak pernah menyangka jika ini yang ingin Alea tanyakan padaku. Alea tersenyum. Benar-benar tersenyum, tapi jujur aku tidak tau arti senyum itu, "Mantan kekasih?" Tanya Alea sambil terkekeh, "mas bilang mantan kekasih?" Alea kini tertawa sambil berjalan meraih tasnya yang sedari tadi sudah dia taruh di atas meja dekat televisi, lalu mengeluarkan satu amplop putih lagi dari dalam tasnya. "Lebih tepatnya mantan kekasih yang sudah mas nikahi secara sirih tujuh bulan yang lalu," ucap Alea masih terdengar santai. Terlihat wajah teduh itu kini berubah suram, sepertinya Ia sudah benar-benar lelah dengan segala kebohongan yang aku, selaku suaminya lakukan. Aku menerima satu amplop lagi dari tangan Alea, lalu perlahan membuka isi amplop itu, ada dua lebar kertas dengan kop surat dari pengadilan agama "Apa ini?" Tanyaku setelah membuka amplop putih yang Alea berikan lagi, yang ternyata adalah surat gugatan cerai. Tentu aku tau itu surat gugatan cerai tapi aku hanya tidak percaya jika Alea sampai melakukan ini padaku. Setiap masalah punya penyelesaian dan sungguh aku berharap kami bisa menyelesaikan masalah kami dengan kepala dingin dan sedikit bersabar. "Apa mas tidak bisa membaca?" Jawabnya santai, dia benar-benar tenang. Tapi benar kata pepatah (air tenang bukan berarti tidak bisa menenggelamkan) "Alea aku bisa jelasin semua ini. ini tidak seperti yang kamu pikirkan sayang," ucapku berusaha menenangkan istriku. Aku sadar aku memang salah dan Sungguh aku khilaf. "Terlambat mas. Aku sudah memberikan mas banyak kesempatan untuk mengatakan kejujuran itu, tapi sampai saat ini mas tetap memilih bertahan dengan ketidak jujuran mas, dan photo itu adalah kesempatan terakhir mas, namun lagi-lagi mas lebih memilih berbohong." Ucap Alea menjeda kalimatnya. "Terima kasih untuk semua yang sudah mas berikan selama ini, dan maaf jika selama ini aku tidak pernah bisa membuat mas bahagia," suara Alea terdengar bergetar, sementara aku malah meluk tubuh Alea erat , sangat erat. Aku tidak ingin berpisah dengannya, karena aku benar-benar mencintainya. "Tidak sayang. tidak," ucap ku tergugu di bahu Alea. "Aku tidak mau berpisah dengan kamu sayang, aku tidak mau," sambung ku masih dengan memeluk tubuh wanita yang masih berstatus istriku, karena sampai saat itu kami masih berstatus suami istri. "Sudahlah mas. Aku sudah merelakanmu bersama dia. Wanita yang sangat mas cinta dari dulu hingga saat ini. Sementara aku,,,,,,,,?" Alea menarik napasnya dalam lalu membuangnya kasar, aku melihat Alea berusaha sekuat mungkin menahan air matanya agar tidak tumpah, sebelum akhirnya berucap "Hari ini aku akan keluar dari rumah ini, semua urusan mengenai gugatan ini sudah di urus oleh kuasa hukum aku, jadi aku mohon mas bisa mengabulkan permintaan sederhana ku ini," jelas Alea singkat. "Aku tidak mau Lea," tolakku dan aku masih memeluk tubuh Alea dan tidak sedikitpun ingin melepasnya. Tidak. "Lepas mas," "Tidak akan" "Mas," "Tidak akan Lea, aku tidak akan menceraikan kamu," tolakku lagi, karena sampai detik itu aku benar-benar tidak menyangka jika Alea sampai menggugat cerai aku. "Mas," Alea menyentak tangan ku kasar, sampai pelukan ku terlepas. "Aku lelah hidup dengan kebohongan mu mas," setelah mengucap itu Alea keluar dari rumah itu, mengemudikan mobilnya, sepertinya dia sudah mempersiapkan diri untuk pergi hari ini, aku melihat pakaiannya sudah ia masukkan ke bagasi mobilnya, mungkin sedari tadi pagi jauh sebelum aku pulang dari rumah istri keduaku, dan tetap berbohong dengan mengatakan jika aku dari rumah sakit. Aku memang kejam. Sangat kejam padanya. Hari ini adalah sidang perdana gugatan cerai yang Alea ajukan, namun aku memilih tidak datang. Karena sungguh aku masih bersikeras tidak mau menceraikan istriku, benar-benar tidak akan menceraikan istri ku. Namun sepertinya keputusan Alea sudah tidak bisa di ganggu gugat, dan tetap ingin berpisah dariku. Meski kami tinggal terpisah, aku selalu datang menyambanginya di kantor yang dia jadikan tempat tinggalnya. Membawa sarapan juga makanan kesukaannya tapi tetap tidak bisa merubah keputusannya yang sudah dia ambil. Aku bahkan sudah menceraikan Devina istri sirih ku hanya untuk mempertahankan istri pertamaku. Alea Azuria Mahespati. Tapi Alea tetap tidak bisa mengabulkan keinginanku dan tetap memilih untuk berpisah denganku. Begitu sakit kah luka yang aku torehkan di hatinya, hingga untuk kembali padaku saja dia tetap tidak mau, meskipun aku sudah menjanjikan seluruh hidupku untuknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD