Mengapa takdir suka sekali bermain, menghadirkan sosok baru, lalu mengambilnya kembali saat sudah merasa nyaman.
-Vania Raselia Arkarna.
---------------------------------------------
Keesokan paginya SMA Kirana dibuat heboh dengan kedatangan Adev ke sekolah dengan sesosok wanita. Bahkan wanitanya tak main-main. Wanitanya adalah Vania—siswi yang sangat terkenal seantero Kirana karena wajahnya yang cantik, tak lupa juga Vania sosok play girl. Semua siswi ingin menjadi Vania.
Untuk pertama kalinya seorang Adev datang ke sekolah bersama seorang gadis. Karena selama ini sosok Adev mempunyai sifat dingin. Adev tampan, sangat tampan. Namun ketampanannya tak mampu meluruhkan sifat dingin tersebut.
Ya, Adev datang bersama Vania. Untuk pertama kalinya Adev bersama seorang gadis dan dekat dengan seorang gadis. Hal itu membuat rumor bahwa Adev dan Vania pacaran.
Vania, gadis yang dikenal play girl, karena gonta-ganti pacar berhasil mendekati sosok Adev pria tampan seantero Kirana.
"Cocok lo sama Vania, Bro. Siapa sih yang gak suka cewek secantik dia?" Sambutan pagi hari dilontarkan oleh Afilla pada Adev.
"Gue gak pacaran sama Vania, kita cuma temen," elak Adev.
"Temen lama-lama jadi demen nih wkwk," ledek Afilla lagi.
"Terserah."
Benar apa yang disampaikan Afilla, baru beberapa hari saja Adev sudah nyaman dengan Vania. Gadis berperawakan mungil yang sangat cantik. Apakah bisa kisah cintanya menjadi Adevania?
Jam kini menunjukan pukul 09.00. Vania dengan berlari kecil menghampiri kelas X MIPA 5, ruang kelas Adev.
"Adev!" panggil Vania nyaring, membuat semua orang menoleh kepadanya.
"Jangan lari-lari, Van." Adev mengacak puncak kepala Vania dengan lembut.
"Ke kantin sekarang?" tanya Vania yang dibalas dengan anggukan.
Adev menggandeng Vania layaknya seorang kekasih. Kepala Vania disenderkan di bahu Adev. Vania tampak lesu, mengingat bahu seseorang yang kini bukan lagi sandarannya. Ya, bahu papanya.
"Mau makan apa, Van?" tanya Adev lembut.
"Mie ayam aja deh, Dev."
"Tunggu sebentar, ya."
Lima menit kemudian Adev datang dengan dua porsi mie ayam di tangannya. Tak lupa dua gelas yang berisi es teh buatan Mbak Tari, penjual di kantin.
"Selamat makan, Sayang," ucap Adev membuat senyum di bibir Vania kembali muncul.
"Dev nanti temenin aku bisa?" tanya Vania kepada Adev.
"Segalanya untukmu. Mau kemana emang?"
"Aku mau ambil baju, buku, sama barang-barangku lainnya di rumah mamah."
"Kamu yakin?"
"Iya, doain aku bisa ikhlas ya, Dev."
"Kamu pasti bisa ikhlas, Van. Ikhlas bukan berarti melupakan."
"Makasih Adev. Oh iya nanti temenin aku beli buku sama skincare, ya?"
"Iya, lanjutin makannya."
"Nanti temenin aku ke acara tunangannya papah juga, ya?"
"Iya, Sayang. Kamu harus kuat, ya."
Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi lima belas menit yang lalu, tapi sosok Bu Lia tak muncul-muncul membuat semua murid X MIPA 1 mengira bahwa jam ini adalah jam kosong atau jamkos.
Vania sedang membaca pesan yang papahnya kirim tadi pagi.
Papah Arka: Nanti sore jam 4 datang ke acara tunangan papa ya Van.
Ada rasa kecewa di lubuk hatinya, tapi ia tidak boleh egois. Mamah dan papahnya harus bahagia. Walaupun kebahagiaan mereka membuat Vania terbuang. Menyisihkan Vania. Vania harus kuat.
"Hai anak jalang! Kita ketemu lagi," sapa seorang kakak kelas dari depan kelas Vania. Ya, Vania ingat betul dia siapa. Thalia Bening Pramana, anak dari Om Genta.
"Siapa yang Anda maksud?" tanya Vania dengan nada sesopan mungkin.
"LO LAH ANAK DARI JALANG KIARA, SIAPA LAGI?! KALIAN SEMUA YANG SATU KELAS SAMA VANIA JANGAN MAU BERTEMAN SAMA ANAK JALANG! JANGAN SAMPAI KETULARAN JADI JALANG!" teriak Thalia menggema X MIPA 1.
Vania hanya diam, tak mampu melawan. Bukankah benar jika mamahnya jalang? apalagi sampai merusak hubungan orang lain. Bukankah benar dirinya anak jalang? Lantas apa salahnya omongan Thalia?
"Gue mohon banget ya sama lo, Van. Bilangin mamah lo, ingetin mamah lo. Mamah gue sakit, dia gak ada semangat hidup karena orang yang dia cintai pergi bersama wanita lain. Gue sedih liat mamah gue nangis setiap saat, dia sayang banget sama papah. Jangan rebut kebahagiaan kami." Isak tangis terdengar di ujung suara Thalia.
"Gue udah bilangin ke mamah gue tapi dia keras kepala. Kalau boleh jujur sekarang gue malu banget sama apa yang mamah gue lakuin. Gue gak mau mamah gue kayak gitu. Tapi mau gimana lagi? Gue udah gak serumah sama mamah."
"Mamah gue butuh papah, Van ...."
"Maaf, perbuatan mamah gue bikin keluarga kalian hancur."
"Tolong kalau lo ketemu papah gue bilangin kalau mamah sakit. Bilangin kalau dia masih punya keluarga yang butuh tanggung jawab. Gue udah berusaha telepon dan chat tapi gak ada yang dibales. Tolong banget ya, Van." Mata Thalia berkaca-kaca. Ia ingin menghujat Kiara, tapi Thalia diajarkan untuk tidak balas dendam. Ia ingin membalas semua perbuatan Kiara melalui Vania, tapi ia tidak diajarkan untuk menjadi pecundang.
"Maaf gue sempet kasar, gue balik. Tolong sampaikan pesan gue." Thalia pergi meninggalkan kelas Vania.
"Kamu gapapa, Van?" tanya Adev berlari kecil menuju X MIPA 1. Adev langsung mencari keberadaan Vania saat seantero membicarakan bahwa Vania didatangi oleh Thalia.
"Gapapa kok, Dev."
"Kita pulang aja, Van."
"Tapi belum jamnya pulang, Dev."
"Kamu ada acara keluarga, kita pakai alesan itu."
"Keluargaku udah hancur," ucap Vania dengan suara gemetar.
"Maaf."
"Gapapa. Ayo pulang."
Vania membereskan semua buku buku pelajarannya, memasukan buku tersebut pada tas ransel berwarna biru muda. Vania tidak mempunyai teman, bahkan tidak mempunyai teman satu bangku. Awalnya ia duduk dengan Cilla tapi semenjak Thalia mengancam murid X MIPA 1 untuk tidak berteman dengan Vania, Cilla meninggalkan Vania.
Adev dan Vania berhasil mendapatkan izin dari kesiswaan untuk pulang terlebih dahulu. Pastinya karena alasan acara keluarga.
"Mau kemana dulu Van?" tanya Adev sambil mengaitkan helm pada kepala Vania.
"Beli kado buat papah sama Tante Saf."
"Oke."
Adev membelah jalanan ibu kota menuju mall terdekat. Adev tahu Vania rapuh. Adev bahkan ingin terus memeluk Vania.
"Selamat siang! Ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu pegawai mall kepada Vania.
"Saya sedang mencari toko berlian, di mana tempatnya?" tanya Vania karena kurang paham letak mall tersebut. Dirinya jarang mendatangi mall ini karena mall ini jauh dari kawasan rumahnya dulu.
"Ada di sebelah kanan kak, kakak bisa belok kanan lalu lurus sampai mentok," jawab pegawai dengan nada membuat orang semengerti mungkin.
"Baik, terima kasih."
Vania sampai pada toko berlian tersebut. Mencari-cari motif terbaik yang paling cocok untuk Tante Saf.
"Tolong bungkus bersama notes ini, ya!" perintah Vania.
"Baik, Nona."
Vania telah sampai rumah mamahnya dengan seorang Adev.
"Kamu yakin, Van?"
"Sangat yakin, yuk masuk!"
"Mamah, Vania pulang!" teriak Vania seperti biasanya.
"Dari mana saja kau, Nak?" tanya mamah dengan wajah khawatir.
"Mamah gak usah pikirin Vania dari mana, tinggal di mana, gimana keadaannya, tapi mamah harus pikirin keadaan mamah, ya. Vania gak bisa tinggal di sini, Mah. Vania harus tinggal di suatu tempat. Mamah baik-baik ya," ucap Vania menahan tangis.
"Selalu. Siapa pria itu, Van?" tanya Om Genta dari lantai atas.
Vania menetralkan pikirannya, ia tidak boleh egois. Vania akan berusaha menjawab ucapan Genta dengan sesopan mungkin. "Adev, Om."
Ada sorot mata tajam saat Genta menatap Adev. Vania memahaminya.
"Arka undang kamu ke acara tunangannya, kamu berangkat, Ra?" Om Genta bertanya kepada mamah sembari mengecup kening mamah.
Vania muak dengan semua ini tapi ia tidak boleh egois.
"Berangkat pastinya supaya bisa perkenalin calon suami aku," jawab mamah sambil memeluk Om Genta.
"Thalia anak om?" tanya Vania kepada Om Genta.
"Ya, ada apa memangnya?"
"Istri om sedang sakit, dia membutuhkan om. Thalia sudah menghubungi om berulang kali tetapi tidak bisa. Om seharusnya bersama keluarga om, bukan bersama selingkuhan om."
PLAK!!!
"YANG SOPAN KAMU SAMA OM GENTA!" bentak mamah.
Lengkap sudah penderitaan Vania. Papahnya sudah pernah menampar pipinya demi Tante Saf. Kini mamahnya menampar pipinya demi Om Genta.
"Dia anak tante. Jangan kasar dengan anak sendiri, itu tidak baik!" sentak Adev menjauhkan Vania dari Kiara.