4. Keputusan Berat

1507 Words
Untuk yang pertama kali dalam hidupnya, Gajendra Luki Paramartha merasa panik bukan main karena orang lain. Padahal, selama ini Jendra selalu bersikap masa bodoh, bahkan pada masalah-masalah yang ada di hidupnya sekalipun, Jendra tidak pernah merasa sepanik ini menghadapinya. Namun, kepanikan itu datang dengan sendirinya begitu ia melihat Hara, adik perempuannya yang sedang menangis tersedu-sedu begitu Jendra sampai di apartemennya. Bagaimana mungkin Jendra tidak panik melihatnya, kan? Terlebih lagi, Hara bukanlah seseorang yang cengeng. Perempuan itu sangat benci jika harus menangis dan menunjukkan kesedihan di depan orang lain, bahkan di depan anggota keluarganya sekalipun. Jadi, jika Hara kini sudah menumpahkan semuanya di depan Jendra, itu artinya masalah yang dihadapi Hara benar-benar masalah besar yang tidak mampu disimpannya sendiri. Dan memang ini adalah sebuah masalah besar. Sebelum datang kesini, Hara sudah terlebih dahulu menelepon Jendra dan memberitahu kalau dirinya sedang hamil. Iya, Hara hamil. Sesuatu yang tidak pernah terbayangkan oleh mereka sebelumnya. Seorang Hara Arimbi Paramartha, anak bungsu yang sempurna di keluarga mereka, hamil di luar nikah. Rasanya benar-benar seperti sebuah mimpi buruk yang tidak masuk akal. Hara terlalu pintar untuk bisa melakukan hal bodoh seperti itu. Akan lebih masuk akal jika Jendra yang datang dengan kabar baru saja menghamili anak orang. Karena sedari dulu memang Hara selalu jadi anak yang sempurna, sementara Jendra jadi anak pemberontak yang sering membuat orangtua mereka sakit kepala. Tapi tidak ada orang yang betul-betul sempurna, kan? Semua orang pasti pernah bertindak bodoh dan melakukan kesalahan, termasuk seseorang yang berotak genius sekalipun. Dan ini adalah kesalahan besar pertama Hara yang terjadi seumur hidupnya. "Jadi, siapa ayahnya?" Jendra baru berani menanyakan itu beberapa saat setelah Hara berhenti menangis. Adiknya itu kini sedang meringkuk di atas sofa dengan kondisi wajah yang sudah pucat dan tatapan penuh kekosongannya terarah pada langit-langit apartemen. Hara tidak langsung menjawab dan hanya diam, membuat Jendra menghela napas dalam. Saat ini, Jendra harus tahu dulu siapa laki-laki yang sudah menghamili adiknya, karena itu yang terpenting agar mereka bisa meminta laki-laki itu untuk bertanggung jawab. Tebakan Jendra, ayah dari janin itu adalah laki-laki yang baru dekat dengan Hara. Bukan pacar, sebab ia tahu adiknya ini menolak untuk punya pacar lagi sejak hubungannya dengan sang mantan kekasih kandas. Namun, dugaan Jendra salah besar begitu Hara menjelaskan semuanya. Dari A sampai Z. Dimulai dari kenekatannya pergi ke Bali sendirian, mengunjungi night club di resort tempatnya menginap, bertemu dengan seorang laki-laki disana, keduanya mengobrol sambil minum sampai mabuk, dan kemudian hal itu pun terjadi. His sister did a one night stand with a stranger. A f*****g stranger. Jendra rasanya sangat marah dan kesal. Yang dilakukan oleh Hara benar-benar suatu hal yang bodoh, terlebih lagi semua itu bermula karena Hara sedang stress akibat teringat mantan kekasihnya. Kalau saja saat ini Hara sedang tidak kacau, Jendra pasti sudah memaki-maki adiknya ini dan membuatnya sadar atas kerugian apa yang telah didapatnya karena masih ingat mantan kekasihnya yang b******k itu. "I'm so f****d up, right?" Gumam Hara yang mengasihani dirinya sendiri usai menceritakan semuanya pada sang kakak. Ia masih menatap nanar pada langit-langit dan tidak berani melihat ke arah Jendra yang sudah bisa ditebaknya, tidak akan memberikan respon yang baik. "Iya, f****d up banget." Jendra menyetujui dengan penuh kegeraman. "Kamu super bodoh. Bodoh karena masih mikirin laki-laki b******k itu, bodoh karena pergi mabuk-mabukkan sendirian padahal kamu tau kamu bisa segila apa pas mabuk, dan bodoh karena bisa-bisanya melakukan one night stand sama orang asing tanpa pengaman. Otak yang selama ini kamu pakai belajar mati-matian untuk jadi dokter emangnya udah nggak berfungsi lagi? Have s*x ngga pakai kondom emangnya apa yang kamu ekspektasiin? Dapat tas Hermes? Nggak kan? Hasilnya dapat bayi!" Hara merengut. Kakaknya memang jago dalam urusan memberi komentar pedas, karena memang itu adalah pekerjaan sehari-harinya sebagai juri salah satu acara memasak paling terkenal di televisi Indonesia saat ini. Tapi memang komentar yang diberikan Jendra benar. Hara bodoh, otaknya yang dibilang banyak orang genius hilang entah kemana pada malam itu. Dan Hara tidak tahu harus menyalahkan keadaan ini pada siapa. Entah mantan kekasihnya, pengaruh alkohol, atau laki-laki itu yang wajahnya masih sangat jelas terekam di memori Hara. "Kalau sampai Mama dan Papa tau, mereka bakal kecewa banget, bahkan lebih kecewa daripada pas tau aku nggak keterima jadi mahasiswa kedokteran dan malah milih banting setir jadi chef, tau nggak?" "Iya, Mas, aku tau." Hara berkata lesu. "Makanya, jangan sampai Mama dan Papa tau." Sejak melihat hasil test pack dengan dua garis merah di tangannya tadi, yang pertama kali terpikirkan oleh Hara adalah orangtuanya. Selama ini ia tidak pernah mengecewakan mereka dan selalu berusaha untuk menjadi anak yang baik. Jika sampai orangtuanya tahu kalau Hara hamil karena kecerobohannya melakukan one night stand dengan orang asing, mereka pasti akan kecewa bukan main. Dan Hara tidak mau mengecewakan dua orang terpenting dalam hidupnya itu. "Hara, kalau-kalau kamu lupa, orangtua kita itu dua-duanya dokter! Mereka pasti bakal sadar kalau kamu hamil, apalagi Mama." "Aku tau. Makanya sementara aku mau tinggal disini dulu dan enggak pulang ke rumah, seenggaknya sampai aku udah ketemu tempat yang tepat untuk...aborsi." Jendra membelalakkan kedua matanya mendengar penuturan Hara. "Apa? Kamu mau aborsi?!" "What else do you expect?" Hara menatap kakaknya nanar. Tanpa sadar ia pun menyentuh perutnya yang entah kenapa jadi terasa tidak nyaman. Sejak tadi, keputusan untuk aborsi memang sudah dipikirkannya. "Itu pilihan terbaik yang bisa aku pikirin. Aku nggak mungkin pertahanin bayi ini, kan? Aku nggak mau Mama sama Papa kecewa. Dan nggak mau juga ngerusak nama baik keluarga kita. Mas bayangin aja, gimana jadinya kalau semua orang tau aku hamil di luar nikah, bahkan tanpa ada orang yang bisa diminta tanggung jawab? Keluarga Paramartha pasti bakal jadi omongan orang." "Kamu yakin itu keputusan yang terbaik?" Hara mengangguk. Karena hanya itu solusi terbaik yang mampu dipikirkannya. Lagipula, Hara tidak ingin bayi itu. Menikah saja sudah tidak masuk ke dalam daftar hal-hal yang akan ia lakukan dalam hidupnya, apalagi punya anak. Terlebih lagi, anak ini hanya lah hasil dari sebuah kesalahan Hara bersama orang yang tidak diinginkannya. Namun, Jendra tidak berpikiran yang sama dengan Hara. Jendra boleh saja terkenal sebagai pria b******k yang hobinya gonta-ganti pasangan dan teman tidur. Tapi, jika salah satu teman tidurnya hamil karena ulahnya (yang semoga saja jangan terjadi), ia pasti akan tanggung jawab. b******k-b******k begini, Jendra masih punya hati nurani. Dan baginya, bayi hasil dari hubungan terlarang tidak pantas untuk dilenyapkan hanya karena hadirnya tidak diinginkan. Mereka tidak salah apa-apa, karena itu mereka pantas untuk hidup dengan baik. "Aku nggak setuju, Hara," ujar Jendra kemudian. "Ini bukan keputusan yang bagus. Memangnya kalau kamu aborsi semua bakal langsung baik-baik aja? Aku nggak yakin." "Aku nggak butuh persetujuan Mas. Dan aku yakin mau aborsi karena bagi aku, itu pilihan terbaik untuk semuanya." "Tapi enggak untuk kamu." Jendra menggelengkan kepala dan menatap Hara serius. Ia sudah terlampau paham dengan adiknya itu sehingga ia pun tahu kalau keputusan aborsi ini nantinya hanya akan menyiksa Hara. Tidak mungkin Hara tidak akan merasa menyesal. "Kamu itu overthinker parah. Ingat nggak waktu kamu baru bisa nyetir mobil, kamu pernah nggak sengaja nabrak anak kucing sampai mati? Selama berbulan-bulan kamu sedih dan merasa bersalah. Padahal kamu nggak sengaja. Gimana jadinya kalau kamu dengan sengaja membunuh apa yang ada di dalam perut kamu itu? Kamu bakal nyesel selamanya." Hara berhasil dibuat terdiam oleh Jendra. Ia pun merasa tertampar. Meski sebagian dari dirinya dengan keras menyangkal yang dikatakan oleh Jendra, sebagian dari dirinya yang lain mengakui kalau apa yang dikatakan oleh sang kakak benar adanya. "Dan kamu itu dokter. Di saat setiap hari kerjaan kamu menyelamatkan nyawa orang, gimana bisa kamu mau ngebunuh anak kamu sendiri?" Sekarang Hara merasa tertampar bolak-balik. Ia mencengkeram baju di bagian perutnya dengan erat, kembali merasa tidak nyaman seolah perutnya sedang berdenyut. Mungkin karena si jabang bayi setuju dengan kata-kata Jendra. Jabang bayi itu tidak ingin dilenyapkan. "Terus aku harus gimana?" "Cari ayahnya." Hara menggeleng keras. Itu dia masalahnya, Hara benar-benar tidak mau lagi berurusan dengan ayah bayi ini. "Itu nggak mungkin." "Kenapa?" "Karena kami nggak kenal," jawab Hara separuh berbohong. Jendra menyadari itu. " "Siapa namanya?" "Mas, dibilangin nggak kenal." "Siapa namanya?" Jendra mengulang pertanyaan itu lagi. "Kalian sempat ngobrol, nggak mungkin nggak kenal." "Emang ngobrol, tapi nggak kenalan." "Tapi kenapa aku ngerasa kalau kamu tau sama orang itu?" "Perasaan Mas aja." "Kasih tau atau aku telepon Mama sekarang." "Mas!" "Siapa namanya?" Hara berdecak sebal. Tahu pasti kalau ia tidak akan bisa melawan sang kakak. Prinsip hidup Jendra itu, I want it I get it. Kalau sampai Hara menolak untuk memberitahu, Hara yakin kalau laki-laki itu betulan tidak segan-segan untuk menelepon Mama mereka dan memberitahu semuanya. Mau tidak mau Hara pun menyebutkan nama itu. Nama laki-laki yang membuatnya terkejut bukan kepalang ketika bangun pagi itu. Laki-laki yang namanya masih terpatri jelas di otak Hara meskipun sudah sekian tahun ia tidak melihatnya. Dan laki-laki itu pula lah yang membuatnya nyaris gila di Seminyak. "Wirasena Pranaja Gardapati." Hara benci nama itu. Jendra mengerutkan kening guna berpikir selama beberapa saat. Nama yang disebutkan oleh Hara terdengar tidak begitu asing. Ia pun membuka ponsel, mengetikkan nama itu di kolom pencarian **. Begitu menemukan sebuah profil dari nama yang dicarinya dan melihat akun tersebut, sepasang mata Jendra membulat. "Wirasena Gardapati, fotografer terkenal yang juga anak tunggalnya Suteja Gardapati yang itu?" Hara mengangguk. Iya, Wirasena Gardapati yang itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD