Prolog

448 Words
Hara menatap kosong pada pantulan dirinya di cermin seukuran tubuhnya saat ini. Pada cermin tersebut, terdapat bayangannya yang nampak cantik dalam wedding dress berwarna putih gading yang elegan membalut tubuhnya, serta riasan mewah seharga puluhan juta menempel di wajahnya. Hingga detik ini, rasanya Hara masih tidak percaya bahwa ia akan menikah. Selain karena Hara sama sekali tidak menginginkan sebuah pernikahan dalam hidupnya, ia juga harus menikahi seseorang yang tidak diinginkannya. Ia tidak bisa membayangkan, akan berjalan seperti apakah hidupnya setelah ini? Ada yang mengganjal di hatinya begitu tahu bahwa setelah janji suci pernikahannya nanti diucapkan, Hara akan tinggal satu atap dengan seseorang yang tidak dicintainya. Jangankan dicintai, Hara bahkan masih menganggap calon suaminya itu sebagai orang asing. Satu tangan Hara tergerak untuk menyentuh perutnya yang masih rata, namun dalam hitungan bulan perutnya itu akan membesar karena ada yang tumbuh di dalam sana. Dan apa yang ada di dalam perutnya itulah yang membuat Hara harus terjebak dalam pernikahan ini. Rasanya memang tidak adil jika menyalahkan bayi yang sedang dikandungnya sekarang. Padahal, bayi itu tidak bersalah, dan dia bisa ada karena sesuatu yang dilakukan oleh Hara dan laki-laki itu. Sesuatu yang harus dipertanggung jawabkan oleh mereka hingga mengorbankan hidup masing-masing. Seandainya malam itu mereka tidak melakukan kesalahan tersebut, semua ini pasti tidak akan terjadi. Hara akan menjadi dokter bedah yang sukses dan menjadi penerus ayahnya untuk memimpin rumah sakit keluarga mereka, sementara laki-laki itu akan tetap sibuk dengan perkerjaan keliling dunianya. Mereka tidak akan terlibat dalam pernikahan tanpa cinta ini dan akan tetap menjadi dua orang asing yang tidak saling mengenal. Tapi mau bagaimana lagi? Penyesalan datangngnya selalu belakangan dan tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi, kan? Hara menghela napas dalam dan mengusap lembut perutnya. "Pernikahan ini untuk kamu," gumam Hara. "Aku...aku nggak tau apa aku bisa jadi ibu yang baik nantinya. Dan aku juga nggak tau apa dia bisa jadi ayah yang baik juga untuk kamu. But for you, we will try our best. We...we will love you...hopefully. Semoga semuanya bakal baik-baik aja ya?" Iya, semoga semuanya akan baik-baik saja. Ketukan di pintu membuat Hara tersentak dari lamunannya. Ia menoleh ke pintu tersebut dan detik setelahnya pintu itu terbuka, menampilkan ayahnya yang berdiri disana dalam balutan rapi tuxedo hitam. Pria itu tersenyum pada Hara, membuat Hara otomatis balas menarik sebuah senyum untuknya. "Udah siap?" Aku nggak akan pernah siap, Papa, ujar Hara dalam hati. Namun, apa yang diucapkan oleh hatinya tidak selaras dengan kepalanya yang justru terangguk untuk menjawab pertanyaan itu. Hara berjalan menghampiri ayahnya yang kini sudah mengulurkan tangan. Ia menerima uluran tangan tersebut, menggenggamnya erat dengan tangannya yang sudah terasa dingin. Siap untuk menemui laki-laki yang dalam hitungan menit akan menjadi suaminya, di altar tempat mereka akan mengucapkan janji suci pernikahan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD