Chapter 06

2036 Words
Sesampainya di apartement, Carolina sangat di kejutkan dengan keberadaan Siena. Meskipun hal seperti ini bukan hal baru akan tetapi Carolina merasa tak nyaman setelah kemarin siang William mendatangi apartement nya. Dan tentu saja hal tersebut tidak ingin di ketahui oleh Siena. “Aku ingin istirahat, bisakah kau pulang sekarang?” “Aku tidak percaya kau bisa mengusirku Carolina,” “Siena, please. Aku sedang ingin sendiri sekarang ini, pergilah!” Dengan perasaan kesal Siena meraih tas sembari melemparkan tatapan sinis. “Jadwal pemotretan mu besok jam 06.00 wib. Datanglah tepat waktu dan-“ “Okay, aku akan datang tepat waktu Ms. Siena. Puas!” Potong Carolina. Kenapa semua orang hari ini menyebalkan sekali. Tidak Siena, tidak juga si b******k William. Tanpa sengaja manik biru Carolina menangkap dokumen yang tergeletak di atas meja. Seketika berfikir bahwa dokumen tersebut pasti milik Siena. Ah, biarkan saja toh besok juga ketemu. Batin Siena kemudian memasukkan dokumen tersebut ke dalam tas. Tak ingin mendapat gangguan dari siapapun, segera mematikan ponselnya sebelum bercengkrama dengan ranjang kesayangan. Sementara di tempat lain William sedang memuaskan nafsu bejatnya bersama salah satu model di bawah naungan WD Magazine. Ia tak pernah merasa puas hanya berkencan dengan satu wanita. Semua model yang bernaung dalam perusahaannya akan dengan senang hati melemparkan tubuh mereka demi bisa merasakan ketampanan dan juga belaian hangat seorang William Darkness. Bisa berkencan dengan taipan kaya sepertinya jadi impian semua wanita di seluruh Dunia. Setelah puas bermain segera memunguti pakaian yang tergeletak di lantai dan tak lagi memedulikan wanita yang kini masih terkulai lemas di atas ranjang.  “Mau kemana Will?” Yang di tanya segera menghampiri sang wanita lalu mengecup bibirnya sekilas. “Ke kamar ku. Thanks buat malam ini baby, service mu selalu bisa memuaskanku. Uangnya sudah ku transfer ke rekeningmu. Tidurlah! Besok pagi supirku akan mengantarmu pulang.” Kembali mengecup bibir sang wanita sekilas sebelum melenggang keluar kamar. Sampai menjelang pagi sepasang manik dark brown tak dapat memejam. Pikirannya melayang memikirkan satu nama yaitu Carolina. Jika semua model yang bernanung di bawah kuasanya bisa di taklukkan dengan pesona dan juga hartanya namun kenapa tidak dengan Carolina? Kenapa hal tersebut tak berlaku bagi Carolina? Kenapa? Pertanyaan itulah yang sampai saat ini masih belum terpecahkan membuat rasa frustasi berkepanjangan.  Sorot mata tajam dan juga logat Italia Carolina mampu memikat perhatiannya akan tetapi hal itu tidak mudah di dapatkan mengingat sifat angkuh Carolina yang selalu menolaknya dengan sangat tegas. Rasa penasaran William kian memuncak sampai-sampai di larut malam harus menghubungi orang kepercayaan.  “Kumpulan iformasi mengenai Ms. Carolina Keihl. Ku tunggu siang ini di ruangan ku!” “Baik, Sir.” Jawab seseorang dari seberang telepon. Kau hanya boleh ku miliki Carolina Keihl. Batin William sembari membayangkan wajah cantik Carolina. Entah sudah berapa lama tenggelam dalam sensasi sendiri. Bayangan akan gadis pemilik manik biru yang kini sedang duduk dalam pangkuan terasa nyata hingga sesuatu di bawah sana seketika menegang. Menyadari sesuatu terasa sesak, mendesak untuk segera di bebaskan. Ia pun lantas melenggang ke lantai bawah menuju kamar tamu. Tatapannya langsung tertuju pada ranjang, seketika di manjakan dengan penampilan seksi sang model yang sedang tertidur pulas berbalut lingerai. Menyadari beban berat menimpa perutnya sang wanita segera membuka mata. Karena masih di serang rasa kantuk bertubi-tubi memaksanya mengerjap berulang kali untuk kembali meraih kesadarannya. Belum juga pulih dari rasa terkejut, serangan lembut di sepanjang leher jenjang memaksa bibirnya mengeluarkan suara erangan tertahan. “Jangan kau tahan sayang, sebut namaku.” Pinta William. “Wil-liam.” “Yeah,  betul seperti itu Carolina sayang. Ayo sebut namaku lagi, aku suka suaramu yang seksi ini Carolina-ku sayang.” “Carolina?” Mendorong kuat tubuh kekar William sehingga terguling ke samping. Melempar tatapan mematikan. “Aku Eleora, bukan Carolina!” Suara bentakan yang hampir memekak telinga seketika membuat kesadaran William kembali. “Eleora … “ “Yeah, aku Eleora. Menjijikkan! Kau nikmati tubuhku tapi kau sebut nama wanita lain! Benar-benar menjijikkan!” “Ku rasa tak jadi masalah kalau pun aku menyebut nama wanita lain. Ingat statusmu Eleora, kau tak lebih dari wanita jalang.” “Kau!” “Apa bedanya kau dengan w***********g, hah? Sama-sama di bayar kan? Cuma bedanya kau di kelas vvip sehingga nilai tubuhmu ini sangat fantastis. Jangan bertingkah seperti wanita terhormat! Sadar dengan posisimu Eleora!”  Menghempas kasar dagu Eleora, tak memedulikan air mata yang mulai mengalir membasahi pipi. “Cepatlah bersiap! Supir ku akan segera mengantarmu pulang!” Setelah itu langsung meninggalkan Eleora sendirian di dalam kamar. William sengaja menungguinya di ruang tamu, menyadari langkah kaki mendekat segera menolehkan wajahnya. Melihat raut kesedihan menyelimuti wajah Eleora sama sekali tak menarik sedikit pun rasa simpati justru dengan sengaja menghentikan langkah gadis itu. Memutar tubuhnya perlahan sehingga tatapan keduanya saling mengunci. “Ingat Eleora, jangan sampai ada yang tahu tentang kejadian tadi jika kau masih ingin menjadi model. Paham?” Nada suaranya terdengar lirih menggelitik pendengaran namun penuh perintah tak terbantahkan memaksa Eleora menganggukkan wajah. Setelah itu langsung meninggalkan mansion William dengan hati remuk redam.   --   Suara alarm yang terus saja berisik memaksa manik biru membuka mata kemudian melirik jarum jam di dinding yang mengarah pada pukul 05.20 wib. Tak memiliki banyak waktu segera melesat ke kamar mandi. Meskipun rasa kantuk masih menyergap tapi mau bagaimana lagi. Dia tak bisa mengabaikan pekerjaannya begitu saja terlebih tak ingin membuat Siena dalam masalah besar. Dunia modeling telah merenggut kebebasan dan juga kebahagiaannya. Setiap harinya hanya di sibukkan dengan jadwal pemotretan dan pemotretan yang tak kenal waktu. Sepanjang perjalanan coba berfikir keras, bagaimana kalau berhenti saja dari dunia modeling akan tetapi saat ini sedang berada di puncak karir. Banyak para model yang mengincar posisinya sekarang ini. Memarkirkan mobilnya asal, dengan langkah tergesa memasuki gedung. Tak ayal kedatangannya langsung di sambut ciutan Siena. “Wow amazing Carolina.” Menepuk pelan pundaknya. “Ini harus di rayakan, sepanjang karir mu baru hari ini kau datang tepat waktu,” cibir Siena. “Hhmmmm kau benar sekali Siena.” Tambah Brave. Seketika bibir Carolina maju beberapa senti.  “Uunncchhh kau tambah menggemaskan kalau sedang cemberut,” goda Brave lagi.  “Jangan cemberut! Aku kesulitan menyesuaikan make up mu kalau wajahmu masih saja kau tekuk seperti ini baby.” Tak ingin menimpali Brave yang hanya berujung pada pertengkaran, Carolina memilih diam. Selesai bersiap langsung di bimbing menuju altar pemotretan. Proses pemotretan berjalan lancar dengan hasil yang selalu memuaskan. “Thanks baby.” Ucap sang photographer. Tanpa menjawab atau pun melirik sekilas, segera melenggang menuju ruang ganti. “Mau makan siang bareng?” Tawar Siena. “Sorry Siena, aku tak bisa menemanimu. Kau pergi saja dengan Brave. Aku masih ngantuk jadi ingin segera kembali ke apartement. Ayo!” Keduanya segera menuju parkiran namun seketika langkah kaki terhenti mendapati mobil sport merk Bugatti Veyron terparkir dengan gagahnya di sana.  “Ouuww jadi ini alasanmu menolak ajakan makan siang denganku, huh?” Ucap Siena dengan arah pandang mengarah pada mobil sport William. Shitttt cobaan apalagi ini? Umpat Carolina dalam hati. Melihat sosok yang di tunggui sedari tadi sudah menampakkan batang hidungnya, William segera keluar dari mobil, menghampirinya. Menyapa Siena sekilas kemudian beralih menatap Carolina. Mengunci tatapan sepasang manik biru dengan ekspresi yang sulit terbaca. Dan dengan lancang merengkuh pinggang Carolina sangat erat sehingga tubuh ramping sulit berontak. “Leppasss Will!” “Masuk!” “Aku tidak mau, lepas!” Mendapati sikap angkuh Carolina memaksa William bertindak arogan. Dengan kasar mendorong tubuh ramping masuk ke dalam mobilnya.  “Mana kunci mobil mu?” Apa-apaan ini? Dasar pria m***m, aneh, untuk apa dia meminta kunci mobilku? “Carolina!” Bentak William sementara Carolina hanya diam sembari menghujani William dengan tatapan sinis. “Aku tak merasa punya masalah denganmu tapi kenapa kau ini suka sekali mencari masalah denganku William?” “Kunci mobil Carolina, aku hanya meminta itu. Dan dengar aku sama sekali tak tertarik mencari masalah denganmu. Mana kunci mobil?” Tersenyum sinis. “Tidak akan pernah Will, tidak kunci mobil dan juga yang lainnya.” “Hanya kunci mobil Carolina, aku tidak meminta yang lain. Please, jangan ribet jadi perempuan.” Geram William. Bibirnya kembali mengulas senyum sinis. “Wow apa jadinya kalau publik sampai tahu seorang CEO WD Magazine berusaha mencuri mobil super model Carolina Keihl? Apa perusahaan mu sudah bangkrut sampai kau harus melakukan tindakan rendahan seperti ini Mr. William Darkness?” “Diam bawel!” Dasar merepotkan! Merebut tas Carolina kemudian mencari kunci mobil setelah itu melemparkannya ke arah supir pribadinya. “Antarkan mobil Ms. Carolina ke apartement nya! Ingat, jangan sampai ada yang lecet!” Tanpa menjawab, supir pribadi William hanya menganggukkan kepalanya. “Apa-apaan kau ini, hah!” Bentak Carolina. “Dasar pencuri! Penculik! Keluarkan aku dari mobil terkutuk ini!” Meskipun sekuat tenaga berontak akan tetapi kekuatan Carolina jelas kalah jauh jika di bandingkan dengan William. Tak ada pilihan lain akhirnya Carolina memilih pasrah. Melirik William sekilas, sebelah tangan terulur membuka pintu namun belum sepenuhnya terbuka, sepasang tangan kekar sudah menariknya kembali sehingga pintu kembali tertutup rapat. Tatapan mata menajam seolah berkata, jangan macam-macam Carolina. Setelah itu langsung melajukan mobil dengan kecepatan tinggi sampai terdengar bunyi decitan sementara Siena dan yang lainnya hanya bisa memandang dengan tatapan horor. “Bukankah itu tadi Mr. William?” Tanya sang photographer dan Brave bersamaan. “Hm,” jawab Siena yang tak ingin menjelaskan panjang lebar. “Kau pulang denganku saja Siena.” Ajak Brave akan tetapi Siena menolak karena ia juga membawa mobil sendiri. Sudut mata William melirik sekilas ke arah Carolina. Gadis itu terlihat sangat kesal akan tetapi ada satu hal yang menarik perhatian William, Carolina terlihat semakin mengggemaskan ketika sedang marah. Kilatan emosi yang menyala-nyala melalui sorot manik biru semakin membuatnya tertarik untuk terus menggoda. Mobil merk Bugatti Veyron telah berhenti tepat di depan sebuah hotel berbintang. Melempar kunci mobil ke arah security supaya memarkirkan mobilnya setelah itu memutari badan mobil mengarah pada sisi kursi kemudi. Membukakan pintu untuk Carolina akan tetapi gadis itu sama sekali tak merespon sehingga William langsung mencengkeram kuat lengannya kemudian menyeretnya memasuki hotel. Sebenarnya Carolina bisa saja berontak akan tetapi banyak pasang mata menatap ke arahnya dan sudah bisa di pastikan namanya akan langsung mencuat di halaman utama majalah gosip, sehingga tak ada pilihan lain selain memilih diam. Sepanjang jalan yang di lalui tak sekalipun bibirnya menyungging senyum sinis. Tak hanya itu, ia juga membiarkan tangan kekar melingkari perutnya. “Silahkan duduk!” Ucap William. “Terima kasih.” Balas Carolina sambil mengulas senyum meskipun dalam hati ingin sekali menendang tubuh kekar di hadapannya ini.  “Duduk sayang!” Nada suara William terdengar lembut menggelitik pendengaran sehingga dengan elegant langsung mendudukkan bokongnya. Seketika bibir William mengulas senyum penuh kemenangan, gadis angkuh yang selalu mengganggu tidurnya selama  beberapa hari akhirnya bisa di taklukkan juga. Setelah beberapa menit pelayan datang menyajikan makanan dan semua makanan yang tersaji di atas meja adalah menu favorit Carolina. Tak dapat lagi menyembunyikan senyuman tatkala mendapati manik biru mengerjap takjub. Akan tetapi hal itu tak berlangsung lama karena gadis cantik di depannya ini segera memasang wajah angkuh. Dasar gadis sombong, lihat saja Carolina sebentar lagi kau akan jatuh dalam pelukanku, jatuh dalam pesonaku sampai kau tak dapat berpaling. Dan setelah itu terjadi, akan segera ku lempar tubuhmu ini ke jalanan. Batin William dengan tatapan mata tak lepas dari Carolina. Namun, sebelum itu terjadi, akan ku nikmati dulu tubuhmu yang sangat menggiurkan ini Carolina sayang. “Makanlah Carolina, aku tahu semua ini menu kesukaanmu kan? Dan sepertinya makanan-makanan ini sudah tak sabar memanjakan lidahmu.” “Dia pikir aku tak mampu membeli makanan recehan seperti in apa?” Desis Carolina. Sementara William yang mendengar memilih acuh tak menghiraukan ucapan Carolina sambil terus memanjakan lidahnya. Mendapati Carolina hanya diam tak mau menyentuh makanan berhasil menyulut emosi William. “Buang sikap sombong dan angkuhmu itu. Aku tahu semua ini adalah menu kesukaanmu. Jadi makanlah atau … “ Jeda sejenak. Mengunci manik biru sampai tidak berkedip. “Apa harus ku suapi?” Akan tetapi Carolina tetap pada pendiriannya, sama sekali tak mau menyentuh makanan meskipun air liur menetes berkali-kali. Benar-benar angkuh, sombong tapi sayang sekali dia ini sangat cantik. Manik birunya benar-benar membuatmu takjub dan juga kecanduan. Setelah menyelesaikan makan siang segera membimbing menuju mobilnya. Meskipun dengan tegas menolak, William tetap memaksa mengantarkannya pulang. Sepanjang perjalanan tak ada yang membuka suara begitu juga dengan William yang terlihat acuh. Meski begitu beberapa kali ekor matanya melirik ke samping. Bibirnya langsung mengulas senyum geli mendapati wajah cantik Carolina di selimuti kabut berawan. Tak berselang lama mobil sport telah berhenti di area parkir apartement Carolina. Sontak saja tindakannya ini langsung mendapat protes dari pemilik sepasang manik biru. “Karena aku tak ingin kau di anggap sebagai w************n Carolina, untuk itulah aku ingin mengantarmu sampai ke depan kamar.” Segera menghujani William dengan tatapan penuh peringatan. Bukannya pergi justru tangan kekar mengenggam erat jemari lentik membimbingnya memasuki lift. Sesampainya di depan kamar segera meminta Carolina membuka pintunya. Mendapati Carolina hanya diam saja, dia segera berucap. “Apa harus aku yang membuka pintunya, huh?” Sambil menyipitkan kedua mata. Sorot manik biru langsung menyirat tatapan perintah tak terbantahkan. Tanpa menunggu lama jemari kokoh langsung menekan password, setelah pintu terbuka segera menyeret Carolina masuk. Belum juga pulih dari rasa terkejut, tubuh ramping sudah di lempar ke atas sofa.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD