“Awas, hati-hati!” Mendengar suara bariton yang sudah tidak asing menggelitik pendengaran, segera mendongakkan wajahnya. “William.” Kelegaan sekaligus rasa takut menyergap secara bersamaan.
“Apa yang kau lakukan larut malam begini, di sini sendirian?” William bertanya dengan nada suara lembut meski begitu sarat akan kekawatiran mendalam dan juga emosi tertahan. Belum sempat menjawab, punggung kekar William sudah di tarik paksa oleh salah satu pemuda kemudian di hadiahi pukulan telak.
Tidak adanya persiapan membuat tubuh kekar langsung tersungkur ke lantai. Ujung bibirnya membentur kabin sehingga darah segar langsung mengucur deras sementara ke-4 pemuda lainnya menyergap Carolina. Karena berusaha melarikan diri, baju bagian atas sobek akibat tarikan kuat tangan kekar. Lalu terus menyeret tubuh ramping mendekati sebuah bangunan. Silau sinar temaram mengekpos sebagian kulit mulus membuat ke-4 pemuda menatap takjub.
“Wow mulus eui. Sayang nih kalau ga segera kita nikmati.” Bau alkohol langsung menyeruak membuat perut Carolina bergejolak hebat. Di tambah lagi bau mulut tak sedap membuat Carolina ingin muntah.
“Aku sudah tak sabar melihatmu telanjang sayangku. Dan bibirmu ini pasti rasanya sangat nikmat.” Dengan lancang langsung mendekatkan wajahnya, tersenyum menyeringai menampilkan gigi putih lalu sebelah tangan terulur meremas kuat kulit telanjang. Tak ayal tindakan pemuda tersebut langsung di hadiahi belaian hangat di sepanjang pipi sebelah kiri.
Menatap bengis, tangannya terulur mengusap bekas tamparan. “Dasar jalang! Lancang sekali kau menamparku!” Bentaknya sambil mencengkeram kuat rahang Carolina sampai meninggalkan bekas kebiruan.
“Seharusnya bukan hanya menamparmu tapi langsung melenyapkanmu! Dasar pemuda berandalan! Tidak tahu aturan! Tidak tahu diri! Memalukan!” Meskipun tubuhnya menggigil ketakutan tetap mendongakkan wajah menantang. Kalimat yang baru saja menggelitik pendengaran langsung memancing emosi para pemuda tersebut. Dan dengan beringas langsung mendorong tubuh ramping hingga tersungkur ke lantai.
Meskipun sekuat tenaga memberontak berusaha melarikan diri namun cengkraman pada pergelangan tangan terasa semakin kuat hingga rasanya nyaris putus. “Mau lari ke mana? Tetap di sini dan mari kita bersenang-senang jalang sialan!”
Menyentuh dagu Carolina kemudian mendekatkan wajahnya dengan mata terpejam, ketika hampir satu cm lagi bibir keduanya saling bersentuhan, sang lelaki langsung menjauhkan wajah dengan mengumpat sumpah serapah. Mengusap kasar wajah yang di penuhi ludah kemudian kembali berjongkok lalu tangan kekarnya menampar pipi mulus berulang kali hingga bibirnya mengeluarkan darah segar.
Melemparkan tatapan bengis kemudian sebelah tangan meremas kuat lengan Carolina hingga sang pemilik mengernyit menahan sakit. “Jauhkan tangan kotor kalian!”
“Wow jinak-jinak merpati man. Yang begini nih, yang servicenya sangat memuaskan.” Ucap salah satu pemuda sambil melihat ke arah teman-temannya. Sementara salah satu pemuda lainnya masih saja menghajar habis-habisan William meskipun nyawa lelaki tersebut sudah di penghujung.
Tak kuasa melihat tubuh kekar William tergeletak di lantai tak sadarkan diri dengan bersimbah darah memaksa Carolina terus memberontak. Tak ayal sikapnya ini justru memancing kemurkaan para pemuda sehingga langsung menyeret paksa tubuh ramping ke ujung jalan dengan pencahayaan yang lebih gelap.
Terhimpit di antara 4 pemuda bertubuh kekar memupus kesempatan Carolina untuk menyelamatkan diri dan juga William. Walaupun pada kenyataannya sangat membenci lelaki tersebut tapi bagaimana pun juga William terluka karena berusaha menyelamatkannya.
Tubuh ramping menggigil ketakutan hingga terasa lemas seperti agar-agar akan tetapi coba tetap melawan sekuat tenaga dengan berteriak memanggil-manggil nama William. Sementara William yang hampir hilang kesadaran tak kuasa membuka mata. Meskipun banyak yang ingin di lakukan tapi apa boleh di kata kekuatannya luruh bahkan sekedar membuka mata saja rasanya sudah tak sanggup lagi.
Akan tetapi ketika sayup-sayup terdengar jerit histeris Carolina bagaikan mantra yang langsung memberinya kekuatan. Perlahan-lahan kedua mata kembali terbuka kemudian menolehkan wajahnya, seketika kedua mata bagaikan di tusuk ribuan jarum menyaksikan tubuh ramping sudah di baringkan ke lantai, salah satu pemuda sudah mengangkangi tubuh ramping Carolina sementara yang lain memegangi tangan dan juga kaki.
Seketika kekuatannya pulih, ia pun dapat kembali berdiri, menghampiri para pemuda lalu menghajar habis-habisan pemuda yang hampir saja merenggut kehormatan wanita yang di incarnya selama ini hingga pemuda tersebut meregang nyawa. William yang sudah seperti kerasukan iblis membuat para pemuda lain lari tunggang langgang.
Getaran hebat seketika menyergap, sambil mendekap d**a, menyeret paksa tubuhnya mendekati tempat dengan pencahayaan yang lebih terang coba mencari perlindungan. Tak juga mendekat, William berdiri terpaku menyaksikan sebagian kulit mulus terekpos akibat baju yang tak lagi berbentuk.
Air mata tak henti-hentinya mengalir membuat hati William bagaikan tersayat pisau. Seketika dapat merasakan apa yang saat ini Carolina rasakan. Entah kenapa hatinya langsung tersentuh melihat ketidakberdayaan Carolina.
Mengabaikan keberadaan Carolina yang tak menyadari kehadirannya kemudian melenggang menuju mobil mengambil jas dan memakaikannya ke tubuh ramping. Sontak saja Carolina langsung menjerit histeris dan berusaha melarikan diri.
“Tenang Carolina! Ini aku William.” Kemudian langsung memeluk erat tubuh ramping, tangis Carolina seketika pecah dalam pelukan William. Semakin lama kesadaran Carolina semakin hilang sehingga William harus menopang tubuh ramping.
“Carolina.. Carolina..” Sambil menepuk-nepuk lembut pipinya. Seketika manik biru perlahan-lahan kembali terbuka. Mendapati tubuh ramping menggigil hebat, segera menggendong tubuh ramping dan mendudukkan di sisi kursi kemudi.
Mengusap lembut puncak kepala, sepanjang punggung ringkih dengan gerakan naik turun kemudian merengkuh tubuh ramping ke dalam pelukan. “Tenangkan dirimu Carolina, kau aman sekarang.” Akan tetapi tubuh ramping masih saja bergetar hebat, begitu pun dengan tangis yang semakin terisak.
Mengusap bulir-bulir air mata yang menetes membasahi pipi. “Kau aman bersamaku. Aku janji akan selalu melindungimu Carolina.” Seketika wajah cantik mendongak menatap William dengan sorot mata rapuh. Jemari kokoh kembali terulur mengusap bulir-bulir air mata yang kembali menetes membasahi pipi.
“Jangan lagi kau tumpahkan air mata sialan ini Carolina. Aku tak suka melihat kilau manik biru redup.” Merangkum pipi Carolina dengan sayang kemudian merengkuh kembali tubuh ramping ke dalam pelukan. Meski awalnya hanya terobsesi namun siapa sangka sikap William menjadi sangat peduli bahkan tanpa di sadari ia selalu ingin melindungi Carolina.
Entah bagaimana caranya yang jelas saat ini tubuh ramping sudah berada di atas pangkuan William. Menyenderkan kepala mungil pada d**a bidang. Sebelah tangan melingkari sepanjang perut sementara tangan satunya merapikan beberapa helai rambut yang menjuntai melewati pipi. Setelah di rasa kondisi Carolina sudah mulai tenang, segera mendudukkan kembali di sisi kursi kemudi kemudian melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
Rasa syok yang masih mendera membuat Carolina tak menyadari bahwa mobil yang membawanya tak mengarah ke apartement nya akan tetapi ke apartement William. Malam ini William sengaja membawanya ke apartement dan bukan ke rumahnya karena ia takut Carolina akan berontak lagi seperti kemarin malam sementara saat ini jiwanya sedang terguncang.
“Carolina..” Menggenggam jemari lentik yang bertumpu di atas pangkuan. Yang di panggil langsung menolehkan wajah, tatapan keduanya saling menyirat rasa entah apa itu yang jelas hanya mereka berdua yang tahu.
“Kita sudah sampai, ayo turun!” Seketika manik biru membeliak tak percaya karena ini bukan apartement nya lalu kembali menatap William dengan ribuan pertanyaan. “Ini apartement ku, kau bisa istirahat dulu di sini.” Ucap William dengan nada suara lembut. Tak hanya nada suara, tatapannya pun kini juga melembut.
“Please antarkan aku pulang Will.” Tatapan manik biru penuh permohonan.
“Tidak sekarang, setidaknya sampai kondisi mu membaik. Biar ku obati dulu luka-luka mu setelah itu baru ku antar pulang. Aku janji!”
Akhirnya Carolina setuju singgah sebentar di apartement William mengingat kejadian tadi membuat jiwanya benar-benar terguncang dan ia juga tidak mungkin menghubungi Siena, karena saat ini gadis itu pasti sedang bercengkrama dengan kakaknya setelah bertahun-tahun lamanya terpisah.
“Apa yang kau pikirkan?” Mengusap kepala Carolina.
“Jangan berfikir buruk tentangku. Aku hanya ingin membantumu saja Carolina.” Sorot mata menyirat ketulusan. Kemudian membimbing Carolina memasuki apartement nya. Mendudukkan di sofa panjang. “Tunggu sebentar yah.” Mengusap lembut puncak kepala. Setelah itu melenggang pergi meninggalkannya sendirian di ruang tamu.
Beberapa menit kemudian kembali dengan membawa alat kompres dan juga baju tidur pria. Wiliam memilih berjongkok di depan Carolina dengan bertumpukan pada satu kaki.
"Apa yang mau kau lakukan?" Sikap Carolina penuh antisipasi
Mengulas senyum simpul sehingga semakin menambah ketampanannya berkali-kali lipat. "Tenangkan dirimu Carolina, aku hanya membantumu membersihkan luka-lukamu saja."
Mengusap lembut buku jemari Carolina. "Aku akan pelan-pelan. Kamu tahan yah." William coba mengobati luka di sepanjang tangan dan kaki. Kulit mulus yang biasa menyilau indah kini sobek memperlihatkan daging merah yang di akibatkan tergores pecahan botol.
"Ternyata luka mu cukup parah.”
Mendongak menatap wajah cantik. “Bagaimana kalau kita ke rumah sakit saja Carolina?" Seketika manik dark brown menangkap sorot ketakutan terpancar jelas di kedalaman manik biru.
"Jangan bilang kalau kau ini fobia jarum suntik Carolina."
Kau salah Will, aku sama sekali tidak fobia jarum suntik akan tetapi aku tidak mau Jake melihat ku dalam kondisi mengenaskan seperti ini. Dulu dia yang selalu menjaga ku akan tetapi sejak Maria merebutnya dari sisiku, kini aku sendiri tak memiliki siapapun di Negara asing ini.
Rasa sakit dari masa lalu yang coba di pendam mencuat kembali ke permukaan. Seketika matanya terasa panas dan segera menundukkan wajah karena tak ingin William sampai memergokinya. Air mata sialan yang coba di tahan pun memaksa jatuh mengenai telapak tangan William. Sontak saja hal tersebut menghentikan aktifitasnya yang sedang membersihkan darah kering di sepanjang lengan Carolina.
Kembali mendongakkan wajah lalu ibu jarinya terulur mengusap bulir-bulir air mata yang membasahi pipi kemudian meraih dagu Carolina. "Hai, apa aku menyakitimu?” Tak ingin menjawab, Carolina memilih mengunci rapat bibirnya.
“Kalau begitu apa kau bisa membersihkannya sendiri dengan menggunakan sebelah-" Kalimat William menggantung ketika menangkap sebelah tangan Carolina juga terluka bahkan lebih parah.
Berandalan sialan, awas saja kau. Aku akan memberimu hukuman atas apa yang sudah kau lakukan pada Carolina ku.
"Aku bisa membersihkannya sendiri Will, lebih baik kau bersihkan saja lukamu." Menelisik seluruh tubuh William yang di penuhi darah kering. “Lukamu cukup parah.”
“Abaikan saja lukaku.”
“Kalau di abaikan bisa infeksi. Lebih baik segera kau bersihkan. Aku bisa membersihkan lukaku sendiri.” Ketika berusaha mengangkat tangan sebelah kiri, dia langsung merintih kesakitan akibat luka yang mulai membengkak.
"Sini, biar aku saja."
Hati Carolina langsung tersentuh dengan sikap sabar William yang dengan telaten dan hati-hati membersihkan lukanya padahal dirinya sendiri juga terluka bahkan lebih parah.
"Kau boleh mencakar ku kalau tidak tahan dengan rasa sakitnya karena kulitmu akan terasa seperti terbakar ketika salep ini ku oleskan di bagian kulitmu yang terluka." Menyadari ekspresi ketakutan menyelimuti wajah cantik Carolina, William segera mengusap lembut puncak kepalanya. "Kalau kau takut pejamkan mata saja."
Apa yang di katakan William memang benar karena ketika obat tersebut mulai di teteskan, Carolina langsung menjerit kesakitan. Tak ingin melihat Carolina tenggelam dalam siksaan, segera menyatukan bibirnya dengan bibir ranum. Meskipun mendapat perlawanan namun tak sedikitpun mau melepaskan ciuman.
Hanya ciuman singkat akan tetapi entah kenapa hal sekecil ini justru bagaikan magnet yang menariknya dengan sangat kuat. Meski enggan, terpaksa melepaskan bibir karena Carolina mulai kehabisan nafas. Rasa manis bibir ranum bagai candu, menjerat untuk mencicipi lagi dan lagi. Dan ketika kembali mendekatkan bibirnya, Carolina langsung memalingkan wajah sehingga ciuman itu pun terhindar.
"Maafkan atas kelancangan ku. Aku tak bermaksud melecehkan mu. Ku harap kau bisa memaafkan kelancangan ku ini Carolina."
Meski sudah ribuan bibir ku jelajahi tapi entah kenapa rasa bibirmu ini sangat berbeda Carolina. Menggodaku untuk menciummu lagi dan lagi. Batin William dengan tatapan mata tak lepas dari bibir ranum.
Mendapati tatapan manik biru menajam tanpa mau mengatakan sepatah katapun membuat hati William tak karuan. "Aku akan berlutut dan mencium kakimu asalkan kau mau memaafkan ku." Meski begitu, Carolina tetap tak bergeming, masih saja melemparkan tatapan yang sulit di artikan.
"Hentikan Will!" Ketika kepala William hampir menyentuh kakinya. William tak pernah main-main dengan ucapannya bahkan ia rela bersujud demi mendapatkan maaf Carolina.
Jangan pikir William pria bodoh yang rela membuang egonya, ia melakukan semua ini demi tujuannya tercapai yaitu mendapatkan cinta Carolina. Ia ingin membuktikan pada dunia bahwa tak ada satupun wanita yang bisa menolak pesona seorang William Darkness. Dan di sini William melupakan satu hal bahwa tanpa ia sadari sikapnya berubah menjadi sangat peduli bukan lagi obsesi yang memegang kendali.
"Tak perlu lagi kau lakukan hal itu karena aku sudah memaafkan mu."
"Apa itu artinya kau juga sudah memaafkan kejadian di kantor ku waktu itu?"
Carolina mengangguk.
Menggenggam erat tangan Carolina. "Terima kasih Carolina." Lalu hendak mencium jemari lentik namun buru-buru di tepis kasar.
"Luka-luka mu sebaiknya harus segera di obati. Kemarilah biar ku bantu." Ucap Carolina.
Mengulas senyum. “Tidak perlu Carolina. Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Please Will, aku tak mau berhutang budi padamu.” Akhirnya William mengalah mendudukkan bokongnya di sebelah Carolina.
William tahu betul Carolina mengernyit menahan sakit ketika membantunya membersihkan darah kering yang melekat di sepanjang wajahnya.
Dasar gadis angkuh. Bahkan dalam kondisi terluka seperti ini pun masih saja bersikap angkuh. Ingat Carolina, kau berhutang nyawa padaku.
Merebut alat kompres dari tangan Carolina. "Biar aku saja! Aku bisa melakukannya sendiri Carolina." Secepat kilat melenggang ke kamar mandi. Setelah mengobati luka-lukanya segera menuju dapur menyiapkan sup panas.
“Makanlah sup ini tapi sebelum itu kau harus ganti pakaianmu lebih dulu Carolina. Aku bisa membantumu kalau kau ijinkan." Mengerti makna tatapan sepasang manik biru, William segera mengklarifikasi ucapannya lalu menggendong Carolina sampai ke kamarnya.
“Kau bisa ganti di sini."
"Baju tidur siapa ini?"
"Tentu saja punyaku. Sorry terpaksa kau harus pakai baju tidur pria karena aku tidak punya-"
"Thanks Will." Potong Carolina sembari melempar tatapan penuh makna. Melalui sorot manik biru, William paham betul bahwa ia di minta segera keluar kamar.
Setelah memastikan bahwa lelaki itu benar-benar pergi barulah ia yakin untuk melepas pakaiannya. Karena kondisi tangan yang terluka membuatnya frustasi tak bisa melepas pakaian sendiri. Dan hal ini sesuai dengan yang di perkirakan oleh William untuk itulah ia kembali masuk ke dalam kamar tanpa sepengetahuan Carolina.
"Sini ku bantu." Kedatangan William secara tiba-tiba membuatnya terperenyak. Saat ini William sudah berdiri di belakang Carolina. d**a bidangnya hampir menyentuh kulit punggung ringkih. Jarak yang di buat sangat dekat sehingga dapat merasakan deru nafas hangat menyapu sepanjang tengkuk.
"Apa yang kau lakukan di sini?" Bentak Carolina.
“Kau pasti sengaja mengintipku kan? Jangan harap kau bisa mengambil keuntungan dari kelemahanku William Darkness!”
Menghembus nafas berat sambil mengusap kasar wajahnya. "Apa kau tak bisa berfikir hal baik sedikit saja tentangku. Setelah kejadian mengerikan yang kita lewati bersama apa hal itu tak bisa mengubah cara pandangmu tentangku Carolina?”
“Aku tak mau mengubah apapun pendapatku tentangmu.”
“Terserah kau sajalah. Berfikirlah sesukamu dan kemarilah, jangan jauh-jauh!” Merengkuh pinggang ramping. Namun segera memberi jarak, meminta William keluar kamar, segera.
“Jangan banyak protes Carolina. Apa kau mau tidur dengan bajumu yang penuh darah ini, huh. Diamlah dan jangan berbalik arah."
William sengaja menggunting atasan Carolina yang sudah tak berbentuk supaya memudahkannya terlepas. Seketika kedua tangan mengepal dengan rahang mengeras menyaksikan pemandangan di depan mata. Sepanjang kulit punggung membiru dan juga terdapat darah yang mulai mengering.
“Will..” Panggilan Carolina berhasil menyadarkannya kembali. Setelah itu segera memakaikan kemeja. Saat mengancingkan baju, William sengaja memalingkan wajahnya. Bukan tak tertarik akan tetapi belum saatnya. Ia ingin Carolina sendirilah yang akan dengan suka rela melemparkan tubuhnya, memohon belaian hangat tangan kekar.
"Cantik." Tanpa sengaja keceplosan memuji kecantikan Carolina. Mendapati manik biru menajam, dia segera beringsut menjauh. "Tunggulah di sini aku akan segera kembali."