TAO – 13

1708 Words
Sial! Lagi-lagi, gagal! Ilmu apa yang sudah dipakai wanita itu sehingga sulit sekali untuk ditembus? Seorang pria bergumam seraya memukul’kan tangannya ke atas lantai. Ia mendengus kesal. Pas foto wanita cantik ukuran dua kali tiga itu terus ditatapnya dengan netra tidak berkedip. Cantik ... pikirnya. Membawa angannya melambung jauh dan berharap angan itu akan tersampaikan suatu saat nanti. Herman kembali menyimpan foto itu dan menghentikan ritual sihirnya. Mungkin Cici memang sulit untuk ia taklukkan, akan tetapi tidak dengan Sandi. Suami cici itu sudah berhasil masuk ke dalam perangkat sihir Herman. Kecewa dengan kegagalannya yang berulang kali, Herman pun menyimpan kembali semua benda yang ia gunakan untuk ritual sihir. Ia menyimpannya dengan baik ke dalam sebuah peti kayu yang penuh dengan ukiran-ukiran mistik. Peti kayu berukuran dua puluh lima kali lima belas senti meter itu, di kelilingi oleh busa hitam yang tertempel ke dinding peti bagian dalam. Herman meletakkan tempat dupa, kemenyan, sebuah keris kecil dan sebuah boneka kapas tak berwajah ke dalam peti itu. Ia menyusunnya sedemikian rupa hingga tampak rapi tan teratur. Sebelum Herman menyimpan kembali petinya, pria itu bergetar, merasakan tubuhnya menghangat. Hanya sesaat, lalu kembali normal. Herman pun bangkit, menyimpan kembali petinya dengan baik di dalam lemari pakaian. Ia pun lalu merebahkan tubuhnya di atas ranjang di samping Santi. - - - - - Subuh menjelang, azan pun berkumandang di setiap penjuru kota Pekanbaru yang masih tenang. Yeni dan Cici sama-sama terjaga dan bersiap menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. “Gimana semalam tidurnya? Masih mimpi buruk?” tanya Yeni sebelum berdiri. Cici menggeleng, “Alhamdulillah, aman, Ma.” “Syukurlah ... sebaiknya Cici bawa lagi Diva ke kamar kalian. Jangan sampai nanti Sandi berpikiran yang aneh-aneh ketika melihat kamu dan Diva pindah tidur ke kamar mama.” “Iya, Ma.” Cici pun bersiap mengangkat Diva dan memindahkan bayi delapan bulan itu ke kamarnya. Sementara Yeni sudah lebih dahulu berjalan ke kamar mandi. Setelah memastikan Diva kembali terlelap dengan aman, Cici pun segera mengambil wudu ke dalam kamar mandi yang terdapat di dalam kamarnya. Air bening itu begitu segar ketika menyentuh wajah cantik Cici. Selesai mensucikan dirinya dengan air wudu, Cici pun menunaikan dua rakaatnya. Cici salat dengan sangat khusyuk seraya mengkerdilkan diri di hadapan Tuhan-nya. Cici menutup semua ritual ibadahnya dengan mengusap ke dua telapak tangannya ke wajah. Kali ini, hatinya terasa kembali tenang dan damai. Cici pun segera bangkit dan melipat kembali mukenanya dengan baik sebelum menyusul Sandi ke kamar Reza. Cici membuka pintu kamar Reza dengan pelan. Wanita itu melihat Sandi masih terlelap seraya mengapit gulingnya di selakangannya. Perlahan, Cici mendekat dan duduk di tepi ranjang. ia mengguncang pelan tubuh suaminya. “Bang ... bang Sandi, bangun, Bang ... abang nggak salat subuh?” Cici membangunkan dengan sangat lembut. “Hhhmmm ....” hanya sebuah gumamam yang keluar dari bibir Sandi. “Sayang ... salat subuh dulu ya. Hanya dua rakaat lho. Kalau sudah selesai, abang’kan bisa tidur lagi.” “Jangan ganggu ah, masih ngantuk,” gerutu Sandi seraya menarik selimutnya lebih tinggi lagi. “Tapi, Bang ....” “Tolong jangan ganggu! Kepala abang sakit!” Sandi menjawab ketus serata menutup telinganya dengan selimut tebal.  Cici menarik napas panjang, lalu menghembuskannya secara perlahan. Ia pun kembali ke dapur untuk menyiapkan sarapan dan meninggalkan sandi yang masih menikmati mimpinya. Sementara di rumah Herman, pria itu mendapati Santi kembali menangis kesakitan. Tiba-tiba saja, betis kanan wanita itu kembali membesar tanpa sebab. Betis kanan Santi besar dan mengkilat, persis seperti penyakit kaki gajah. Namun setiap memeriksakannya ke rumah sakit, tidak ada penyakit apa pun yang bisa dideteksi oleh medis yang bersemayam di tubuh istri Herman itu. “Kak ... Sakit, Kak ....,” rengek Santi seraya menunjuk kakinya yang kembali membesar. “Kambuh lagi?” tanya Herman, sebab kemarin malam ia masih melihat Santi baik-baik saja. Santi mengangguk seraya terus menangis. “Apa yang sudah kamu makan, kemarin?” “Tidak ada. Aku makan makanan yang ada di rumah ini saja.” “Terus bagaimana?” “Tolong mintakan obat lagi, Kak? Berdenyut dan ini sakit sekali.” Herman mengangguk, “Nanti akan kakak mintakan sepulang kerja.” “Jangan sepulang kerja, sekarang saja!” “Jadi kakak tidak usah pergi bekerja?” Santi menggeleng. Pipinya sudah basah oleh linangan air mata sebab rasa denyutan di kaki itu semakin terasa. Baru saja Herman bangkit dari ranjang, ada sebuah panggilan dari Rosi. “Siapa, Bang?” tanya Santi. “Rosi,” jawab Herman santai. “Owhhh ....” Santi cuek. Ia tidak curiga sama sekali kepada Rosi dan Herman. Herman pun mengangkat panggilan itu, “Halo Rosi, ada apa?” “Bang, bisa ke rumah Rosi?” “Ada apa?” “Tolong perbaiki westafel, airnya bocor dan meluber ke lantai.” “Okay, baiklah. Tapi sekitar jam sembilan gimana? Soalnya abang mau meminta obat dulu buat Santi.” “Memangnya Santi kenapa?” “Kakinya bengkak lagi.” “Lagi?” “Iya ....” “Kasih minum paracetamol aja dulu biar sakitnya agak berkurang, sebab aku juga butuh cepat.” “Sebentar,” Herman menghentikan percakapannya sesaat bersama Rosi. Ia menoleh ke arah Santi. “Santi, kamu nggak apa-apa kalau minum paracetamol dulu? Pipa air di rumah Rosi bocor dan ia butuh bantuan. Lumayan’kan, kakak akan dapat uang nanti setelah membantu Rosi,” bohong Herman. Padahal yang bocor hanya westafel saja, tapi Herman malah membesarkan masalah. Pria itu tahu jika yang dibutuhkan Rosi saat ini bukanlah perbaikan westafel, melainkan yang lainnya. Sekarang hari Senin sementara Sabtu dan Minggu lalu suami Rodi tidak pulang karena sesuatu hal. Santi yang tidak bisa tahan mendengar kata “uang” langsung mengangguk dan mengizinkan suaminya untuk pergi membantu Rosi. “Kak, di rumah Rosi biasanya kakak akan dapat makan’kan?” “Memangnya kenapa?” “Kakak tahu’kan kalau sakitku kambuh.” “Iya, terus?” “Aku tidak bisa menyiapkan bekal untuk makan siang kamu, Kak.” “Owh ... tidak masalah.” Herman segera keluar dari kamarnya dan masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah keluar dari kamar mandi, ia melihat Ara sudah bersiap pergi sekolah. “Ara, tolong buatkan papa kopi, Nak. Mama kamu sedang sakit.” “Haduh, maaf, Pa. Ara buru-buru. Papa bikin sendiri saja ya ....” Gadis itu segera berlalu, padahal ia belum mengenakan jilbabnya dengan baik. Herman hanya bisa mendengus menahan rasa kesalnya. Walau masih sangat pagi, Heman dengan cepat bersiap menuju rumah Rosi. “Santi, kakak pergi dulu. Rosi barusan nelepon lagi. Katanya sudah nggak ada air.” Santi mengangguk, wanita itu berusaha duduk dan meneguk segelas air mineral  yang sudah tersedia di kamarnya. Herman berlalu dari rumahnya, mengendarai sepeda motor yang angsurannya masih saja tertunggak. Ia mengendarainya dengan cepat dan tidak melirik sedikit pun ke arah rumah Cici. Tidak lama, motor Herman pun berhenti di depan rumah Rosi. Pria itu turun seraya membawa sebuah tas ransel yang berisi peralatan pertukangan miliknya. Baru saja kaki Herman menginjak teras rumah Rosi, anak-anak Rosi seketika keluar. Mereka semua sudah siap dengan seragam sekolah masing-masing dan secara bergantian menyalami ibu mereka. Anak-anak itu juga menyalami Herman. Herman membalas dengan senyuman seraya mengusap pelan puncak kepala masing-masing. Setelah anak-anak itu menghilang, Herman dan Rosi pun masuk kembali ke dalam rumah. Rosi menutup pintu rumahnya dan tidak lupa memasang grendel pintu. Herman sendiri langsung berjalan menuju dapur Rosi. “Rosi, apanya yang bocor?” tanya Herman seraya meletakkan tas yang berisi alat pertukangan miliknya di atas lantai. “Nanti saja kerjanya, abang sudah sarapan?” tanya Rosi dengan suara dibuat manja. Herman menggeleng, “Jangankan sarapan, kopi saja tidak abang dapatkan,” sungut Herman seraya duduk di kursi makan rumah Rosi. “Kasihan sekali ... memangnya Santi kemana?” “Bukankah tadi sudah abang katakan di telepon?” “Oiya, aku lupa.” Rosi tersenyum. Wanita itu berjalan ke meja tempat ia menyimpan gula dan kopi. Rosi pun segera membuatkan kopi s**u panas untuk Herman. “Abang mau dibeliin lontong atau mau makan nasi saja? Atau mau dibikinin nasi goreng?” tanya Rosi manja. Sesekali matanya mengarah ke bagian bawah tubuh Herman. “Kalau sarapan yang lain, boleh?” goda Herman seraya menyeruput kopi s**u panas buatan Rosi. “Hhmm ... kopi ini rasanya sangat nikmat. Sayang sekali, abang tidak bisa menikmatinya setiap hari,” ucap Herman seraya menciumi kepulan asap yang keluar dari cangkir kopinya. Tanpa disadari oleh Rosi, pria itu merapalkan mantra di atas kopi s**u yang sudah dihidangkan Rosi untuknya. “Memangnya, abang mau sarapan apa?” tanya Rosi lagi seraya duduk di kursi makan tepat di depan Herman. Herman terkekeh ringan. Pria itu menyugar tengkuknya dan menggaruknya perlahan. Padahal tengkuk itu sama sekali tidak gatal. “Rosi ....” “Ya, ada apa, Bang?” Herman memberikan cangkir kopi tadi kepada Rosi, “Kamu cobain dech, ada rasa yang aneh di dalam kopi ini.” “Masa? Bukankah tadi abang bilang kalau kopi susunya sangat lezat?” “Coba saja.” Herman memaksa. Rosi mengangguk. Ia menerima cangkir itu dan mencium aromanya sesaat. Kemudian ia menatap Herman dengan kening mengkerut. “Ada apa?” tanya Herman. “Aromanya biasa saja. Memangnya ada apa sih?” Rosi penasaran. “Minum saja.” Walau ragu, Rosi tetap meneguk kopi itu perlahan, “Enak kok ... memangnya apa yang aneh, Bang?” “Minumnya jangan sedikit begitu dong. Minum lebih banyak,” suruh Herman, lagi. Rosi mengikuti. Ia meminum kopi s**u yang memang terasa lezat. Setelah hampir seperempat cangkir masuk ke dalam perut Rosi, wanita itu pun kembali meletakkan cangkir itu ke atas piring tadah. “Bagaimana?” tanya Herman seraya menyungging sebuah seringai yang cukup menakutkan. “Biasa saja, justru rasanya sangat enak,” jawab Rosi seraya menjilati sisa kopi yang menempel di bibirnya. Ia merasa sisa kopi itu terasa sangat lezat dilidahnya. Rosi melakukan hal itu hingga dua kali sebelum ada rasa yang aneh di tubuhnya. Tiba-tiba, Rosi merasakan tubuhnya bergetar dan memanas. Rasa panas itu menjalar di setiap urat nadi Rosi. Ia terduduk kaku, ke dua matanya tiba-tiba memerah dan sebuah seringai juga terukir di bibir cantiknya. Perlahan, wajah itu menoleh ke arah Herman. Ke dua manusia itu sama-sama menyeringai dan saling tatap dengan netra memerah. Hanya beberapa detik saja, kemudian Rosi kembali tersadar. Namun Herman masih saja menyeringai menatap saudara sepupu merangkap kekasih gelapnya itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD