Hate You 2

2094 Words
“Abizard!! Pakai baju kamu!”  teriak Fateh pada satu lagi ponakan yang jenis kelaminnya tidak dia sukai.  Jika dulu ia sering kesal karena Ammar cerewetnya menyamai dirinya,  yang satu ini,  si bocah enam tahun justru sangat aktif.  Selalu bergerak kesana-kemari dan bahkan sengaja berlarian kalau Fateh memerintahkan sesuatu. Abi adalah tipe bocah nakal yang sering membuat ubun-ubun meletup. Contohnya saja dua hari yang lalu setelah Fateh kedatangan tamu dan ia belum sempat menaruh gelas minum tamu itu ke dapur karena si Paman harus meletakkan laptopnya ke dalam kamar sesegera mungkin agar Abi tidak mendapat kesempatan untuk merusaknya. Namun saat ia kembali dan sampai di ujung anak tangga, Fateh menyadari sesuatu. Kedua Om dan ponakan itu sama-sama menatap gelas kosong milik Adri dan Bang Raka yang belum sempat Fateh singkirkan. Menyadari keadaan genting, Fateh langsung berlari dengan mata melotot yang dibalas Abi dengan tatapan jenaka. Lalu PRANGGGG gelas sudah berubah menjadi beling. Dan satu-satunya yang bisa Fateh lakukan adalah berteriak memanggil Ayahnya agar tersangka mendapat pengadilan. Namun karena ayahnya Fateh tipe Kakek penyayang, kita harus membiarkan Abi tertawa lebih lama. Kesalahan tetap diperuntukkan Fatih Ardan Mubarack. Kata Ayah gini: Salah kamu juga kenapa ga langsung merapihkan semuanya padahal kamu tau kalau ponakanmu ini hiperaktif. “Om! Ammar belajar!” teriak Ammar sambil menggaruk kepalanya gusar. Entah sudah berapa kali mereka berlari-larian ala film India dan membuat konsentrasi Ammar buyar. “Pasangkan adikmu baju!” “Abi tanggung jawab Om, ‘kan?  Aku sibuk.  Pokoknya kalo Om sama Abi tetap akan heboh begini aku mau tinggal sama Agam saja.” Mendengar Ammar memanggil sepupunya tanpa embel-embel membuat Fatih sedikit banyaknya mengerti dengan perasaan Fay saat dirinya tidak memanggil Kakaknya dengan benar. Tapi kalau dipikir-pikir lagi, tidakkan Ammar keterlaluan mengingat rentang umurnya dengan Agam jauh lebih lebar dari pada Fay dan Fateh? “Aku sama Oom Runa!” ucap Abi menunjuk dirinya sambil melompat antusias.  Tanpa bocah itu sadari, ia sedang mendekati Fateh. Dalam satu gerakan super cepat kemudian terdengar teriakan kaget Abi karena tubuhnya langsung di tangkap oleh Om kesayangannya segala-gala Om-nya itu. Fateh kesal setengah mati karena Abi justru lebih memilih Runa dibanding dirinya yang selalu mengurusi bocah itu setiap harinya. Namun begitu tetap saja ia tersenyum melihat wajah bahagia putra bungsunya Fay. Mendapat ide, Fateh kemudian membisiki sesuatu pada bocah dalam pangkuannya dan langsung disetujui oleh Abi. Mengambil ponsel dalam kantong celananya, Fateh kemudian membuka aplikasi chat yang ia gunakan. Setelah bertemu dengan kontak yang ia cari, segera saja ia mengeksekusi rencananya dan Abi. “Hai brooo,” teriak Abi pada wajah yang muncul di layar hape Om Fatehnya. “Apalagi bocah? Contoh Abangmu sesekali,  jangan hanya mengacau hidup orang saja,” ucap Gilang pada layar ponselnya yang menunjukkan Abi di pelukan Bang Fateh. Berbeda dengan Fateh yang dulu mudah kesal pada Ammar,  Gilang justru sering jengkel pada si bungsu ini.  Dia tidak suka anak kecil yang lari sana lari sini. Juga mungkin karena Ammar besar bersama dirinya, makanya Gilang terkesan lebih menyukai anak pertama Fay itu. “jelek!” cibir Abi dan menunjukkan lagak seperti ingin meludahi wajah Gilang.  Fateh yang melihatnya justru senang luar biasa karena tingkah Abi barusan membuat Gilang kesal lagi hari ini. Buktinya Gilang langsung mematian sambungan komunikasi mereka. “Lain kali ga boleh main ludah, ya, Bi,” ucapnya menciumi pipi bocah kesayangan kakaknya itu. Tidak, bocah kesayangan semua orang lebih tepatnya. >>>  “Hai, Princess.” “Dan!” panggil Nia dengan penekanan. “Atuk sudah sangat ingin punya cicit, kenapa tidak kau saja yang berikan?” Ramdan terkekeh, beberapa tahun terakhir ini tidak ada perkataan Nia yang tidak membuatnya tertawa. Semua yang Nia katakan padanya tidak ada yang menguntungkannya sama sekali. Kalau Nia menyebut Azka cadiak buruak (licik), lalu apa bedanya Nia dengan si bungsu itu? “Kita akan buat mereka bungkam kali ini. Tapi sebelum itu alangkah baiknya kalau kamu pakai pakaian yang lebih sopan.” Ini bukan yang seperti ada kemungkinan Ramdan tergoda atau bahkan sampai menyukai sepupunya sendiri. Jadi, di Minang Kabau, mereka menggunakan sistem kekerabatan Matrilineal. Mudahnya, kalau suku orang Jawa berdasarkan suku Bapaknya, suku anak-anak minang sesuai dengan suku Ibu mereka. bahasa lainnya, Ramdan dan Nia itu sesuku. Dan mereka yang sesuku tidak boleh menikah. Sistem yang sangat unik dan menyenangkan karena tidak menempatkan kaum perempuan di bawah kaum laki-laki. Saat pembagian harta pun perempuan memperoleh bagian yang lebih banyak dari laki-laki. Logisnya, laki-laki bisa bekerja untuk menghidupi anak istrinya sehingga ia tidak perlu bagian yang begitu besar. Lain dengan para perempuan. Sempat rumah tangganya berakhir, maka sang mantan suami akan kembali ke rumah kedua orang tuanya. Iya kalau mantan suaminya itu bertanggung jawab dan tetap menafkahi anak-anak. Kalau tidak? Itulah tujuannya persentase harta yang di dapat perempuan lebih banyak dari laki-laki. “Jangan kita, Dan, karena aku belum mau menikah. Kau saja yang selamatkan kami ‘kan bisa,” gerutu Nia pada Ramdan yang dengan santai memasuki kamar tidurnya. Ramdan beruntung karena tidak ada para Datuk di sini juga karena sepupunya ini tidak berhadapan dengan seseorang yang tertidur lelap di dalam sana. “Ngomong-ngomong, ini sudah yang paling sopan. Apa jadinya kalau aku muncul dengan gaun tidur tanpa bra?” “Kau sajalah, umur juga sudah lewat dua lima semenjak tiga tahun lalu.” Ramdan meneliti apakah ada perubahan pada kamar itu sebelum meladeni kalimat kedua yang dilontarkan sang sepupu. “Kalau kau muncul dengan gaun tidur tanpa bra, berarti Wede sudah siap menulis cerita 21+” “Wede siapa?” tanya Nia bingung. “Ada, pegawai birokrasi.” Nia menggeleng pelan, sempat-sempatnya ia terbawa arus Ramdan yang sedang mencoba mengalihkan topik. “Bacot, Dan, aku masih dua tujuh.” “Untuk tiga bulan lagi? Yap.” Ramdan sudah melirik ke segala arah di kamar Nia dan kamar ini bersih, tidak ada tanda-tanda kemunculan pasukan baru karena tidak ada barang yang mencurigakan. Sempat muncul pasukan aneh-aneh lainnya, Nia tidak bisa lagi muncul di depan publik.  “Kemasi saja bajumu karena kita akan lama di sana,” ucap Ramdan kembali ke benang merah. Meninggalkan Sutan Paduko, Nia menghampaskan pintu kamar mandi kemudian mengunci dirinya di sana. Rupanya yang muncul hari ini adalah Sutan Paduko dan bukan Sutan Rajo Angek Garang. Buktinya Ramdan tidak marah-marah seperti biasa. Nia lebih memilih untuk berendam ditemani dengan lilin aromaterapi favoritnya sebelum Ramdan kembali mengomel. Untuk ukuran seorang pria dewasa, Ramdan memang terlalu cerewet, apalagi mengingat dia adalah seorang Sultan pulau ini. Muluik manih kucindam murah, kata orang Minang. Di luar sana Ramdan memang begitu. Seorang Sultan yang selalu berkata baik dan lembut. Tidak heran ia bisa memiliki begitu banyak relasi. Tapi kalau sudah di depan Nia dan Azka, dia bisa berubah menjadi Inyiak*. Begitu siap menerkam Nia dan Azka. *Inyiak sebenarnya sama dengan Kakek dan Datuk. Tapi Inyiak yang disebut disini adalah harimau. Bagi orang Minang, harimau tidak serta merta dipandang sebagai hewan buas. Mereka meyakini harimau memiliki perasaan dan kepekaan yang baik serta mengerti salah dan benar. Mereka percaya harimau adalah penjaga kampung dan menghormati hewan ini. Istri, istri, istri, itu terus yang diucapkan oleh para tetua yang sangat mengagungkan darah sucinya ini. Padahal rencananya Ramdan hanya akan melajang seumur hidup. Yaah.. meskipun ada letupan gembira dalam dadanya saat membayangkan kehidupan berumah tanga, namun sayang, Nia sudah menolak mentah-mentah gadis yang diinginkannya untuk dijadikan istri dan Ramdan masih akan menjadi seseorang yang akan selalu mengutamakan saudaranya. Lagipula keadaan Nia masih belum bisa dikatakan stabil sehingga Ramdan bisa menikah dan membina rumah tangga. Me: Jangan hanya menyelamatkan dirimu sendiri Sultan sialan, atau kami akan membuatmu punya istri sepulangnya kami nanti. Tenang saja, Nia pasti akan pilihkan cewek o’on  yang bisa kau kibuli sedangkan aku akan pilih yang paling bohai di antara cewek-cewek o’on itu. Setelah mengirimkan pesan bernada ancaman itu pada Azka, Ramdan melangkah keluar dari kamar Aini dan mencoba memfokuskan pandangannya pada setumpuk email dari orang luar yang ingin mendirikan pabrik perusak di bumi Sumatera. Cukup Riau saja yang mereka rusak dan gali karena Ramdan tidak ingin para Datuk-nya mati stroke melihat bumi kesayangan mereka di eksploitasi. Riau adalah kesalahan pertama dan terakhir dari para Mamak-nya yang bodoh. Ramdan tidak akan membiarkan kota lain mengalami hal yang sama. >>>  Azka menggerutu setelah membaca pesan dari Abangnya, Sultan Ramdan.  Ia juga kesal dengan para Datuk itu. Padahal dirinya yang paling muda diantara Nia dan Ramdan,  kenapa pula peraturan harus disama ratakan? Baru sebulan yang lalu ia berumur dua puluh dua tahun dan sekarang sudah dipusingkan dengan perkara menikah. Padahal dulu sistem pembagian uang jajan berdasarkan umur. Ramdan yang paling tebal dompetnya, menyusul Nia dan terakhir dirinya. Lalu kenapa sekarang ia harus nikah bersamaan dengan dua orang itu? Sangat tidak adil. “Apa lagi eh, Sultan?” tanya Gilang pada sahabat karibnya.  Sepertinya mereka berdua memang cocok berteman karena belum lama ini Gilang kesal karena ulah ponakannya,  sekarang malah Azka yang berkata kasar akibat informasi yang masuk ke hape-nya, yang Gilang sama sekali tidak bisa menebak apa tepatnya informasi tersebut. Yang pasti apa yang tertulis di ponsel  temannya itu bukanlah sesuatu yang menyenangkan. “Lang, masak aku nikah, Lang?  Kau saja yang putus nyambung sama satu cewek belum ada rencana menikah,” adu si Sultan pada Gilang.  Dari dulu keduanya terkenal akibat paduan latar belakang keluarga yang tidak main-main. Gilang anak Brigjen yang memimpin Sumatera sedangkan Azka keturunan bangsawan Sumatera.  Keduanya juga sudah tau apa saja masalah yang membelit keluarga masing-masing. Juga sama-sama sering membuat masalah untuk mereka demi kesenangan sesaat. “Liat dulu calonnya,  nanti kalau kau tak suka  aku siap berakting sebagai pasangan homo kau.” “Gila kau, Lang,  digantung aku sama Atuk Medan kalo sampai beliau mengira aku homo. Kalua sagalo petatah-petitihnyo tau ang dak?” “Babayo ma.. baganti sakali bahaso ang nampak di den. Baa dak ka di cacek jo wak dek anak-anak gaul yang marantau di Jakarta tu? Bahaso Sultan se Indo-Mi*.” (Masalahmu kayanya berat banget ya? Sampai bahasanya berubah. Sultan aja bahasanya Indo-Mi, gimana kita ga dihina sama anak-anak gaul yang merantau di Jakarta? *Indo-Mi = Indonesia-Minang alias setengah pake bahasa Indonesia, setengah bahasa Minang. Azka mencibir. Bahkan orang Minang sesama Minang saja suka sekali mencibir cara bicara mereka. Bagaimana suku ini mau maju? Itu di Filipina sana orang-orang pede aja kok ngomong taglish (Tagalog-English). “Bao anak-anak tu kamari dek ang! Bia den cakik yang mancacek-cacek awak tu.” Gilang mencibir, dengan perempuan saja a. k. a. Puti Aini, Azka selalu kalah apalagi dengan laki-laki.“A tu a kandak ang kini?” (Jadi maumu apa?) Alih-alih memperpanjang obrolan tentang para perantau-perantau itu, Gilang kembali pada masalah yang dihadapi Sutan Indak Baguno di depannya ini. Sebenarnya gelar Azka adalah Sutan Rajo Alam hanya saja diantara tiga bangsawan terakhir itu hanya Azka saja yang hidupnya seperti tidak ada tujuan. Makanya Gilang ikut-ikutan Puti Aini yang menyebut Sultan Ramdan dengan Sutan Rajo Angek Garang. “Pacari calonku ya, Lang, nanti kau mau jajan apa aku bayari.” “Eh? Drama kali lah.. terus cewekku siapa yang urus? Kau?” “Ga semua harus kau kasih tau cewekmu, kau janganlah jadi macam suami takut istri.” keluh Azka. Ia benar-benar serius dengan ide ini. Kalau sempat cewek yang Datuk Medan sodorkan padanya menyukainya, Gilang harus melakukan apapun untuk merubah hati cewek itu. “Pandai betul kau mengejekku, eh jomblo,  kusumpahi semoga pulang dari Medan nanti kau bawa istri sah sah sah sah sah.” “Gacik* gaya ang mah! Mode ko kiro gaya ang bakawan yo.. yo lah, sampai disiko se wak bakawan,” (Anj*ng, gini ya lo sama temen sendiri?) ucap Azka kemudian menyempatkan untuk menjitak kepala kawan akrabnya itu. *Gacik = anj*ing. >>>  Denis memijat pangkal hidungnya karena tingkah istri dan anak sulungnya begitu bertolak belakang.  Fay ingin Ammar tetap belajar di sekolah biasa sedangkan sang anak mengancam akan berhenti sekolah kalau saat SMP nanti ia tetap tidak di sekolahkan di sekolah khusus cowok. “Anakku normal Fay, berhenti bersikap seolah masa depannya sudah hancur hanya karena sekolah di sekolah khusus cowok.” “Den!  Memang apa yang salah dengan anak cewek?  Mereka ga bakal gangguin Ammar.” “Sayang..  Coba percaya sama aku.  Danis tidak suka dengan tatapan memuja teman-teman ceweknya.  Hanya itu,  bukan berarti anakku itu punya kelainan.  Lagi pula aku yang akan melarang keras kalau Danis suka atau bahkan pacaran diumurnya yang masih muda ini.  Tolong biarkan anakku memilih lingkungan pergaulannya sendiri.” Fay malah menangis mendengar semua ucapan suaminya lalu masuk ke kamar dan mengunci pintu. Fay cemas akan masa depan anaknya namun sang anak merasa mamanya sedang mengancam kehidupannya.  Si anak malah membawa adiknya untuk menginap bersama Fateh dan Ayahnya semenjak beberapa hari yang lalu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD