P. S. I Hate You 8

1784 Words
Sebagian manusia memegang paham cinta datang karena terbiasa dan sisanya meyakini cinta hanya hadir sekali seumur hidup. Dinda adalah orang yang kaku juga penganut paham kedua. Dia tidak memiliki jiwa para petualang dimana mereka ingin menemukan cinta baru, pasangan baru, perasaan baru, atau sekedar pengalih ketika hubungan yang dijalani terasa monoton dan mengakibatkan munculnya kejenuhan. Baginya cukup Gilang saja. Ia dan Gilang sudah pacaran sejak SMA, Dinda juga sudah tau seluk beluk keluarga mereka. Belum lagi hubungannya dengan ibunya Gilang yang lebih dari sekedar dekat. Apa lagi yang mau dicari? Bukan begitu? Namun kini ia dan Gilang sudah putus. Biasanya setelah beberapa hari Gilang akan menghubunginya kembali, tapi sepertinya tidak lagi. Cowok itu terlalu sibuk dengan sepupunya yang cantik juga anak kota. Sekarang gadis manis itu dilanda takut. Takut jika Gilang jatuh cinta pada Viona. >>>  Sementara di sebuah cafe yang sedang disenangi para anak muda di kota itu, Azka tampak sedang memperhatikan menu yang baru saja diberikan oleh pramusaji. Sebetulnya tidak peduli berapa lembar dan berapa rangkap pun menu yang diberikan padanya, hal itu tidak serta merta membuatnya bisa memilih karena yang berkuasa disini adalah yang sedang mentraktir. “Yang cukup sama kantongmu yang mana?” tanya Azka pada sahabat karibnya yang sedang baik hati. Beberapa hari setelah pulang dari Medan, Azka memang belum sempat bertemu dengan sahabatnya ini gara-gara dia dan para saudaranya menghabiskan weekend di istana Pagaruyung. Tiba-tiba di ajak jalan, Azka sadar ada yang tidak beres. Dan benar saja, Gilang kembali putus. Bayangkan saja, terakhir kali putus baru beberapa minggu yang lalu, terus balikan lagi dan sekarang putus lagi. Azka bahkan baru beberapa hari yang lalu dimarahi Bang Ramdan gara-gara hal ini. “Pilih aja, lagi ga ada cewek yang harus kuajak jalan.” Hilang sudah selera Azka melihat tampang loyo sahabatnya ini. “Kau kalau mau balikan ga usah ditahan-tahan. Kebiasaan nahan ber*ak, jadinya semua kau tahan.” Azka melempar kertas menu itu ke atas meja kemudian berseru. “Teh goyang, ciek.” “Aku jamur enoki, siomay, roti bakar, pisang goreng sama nojito,” ucap Viona girang. “Yang bener dong,” decak Gilang kesal. Masa minta teh goyang di cafe. Teh goyang itu servis gratis di rumah makan Padang. Di sini mana ada yang gratis. Ini satu lagi kenapa pesannya banyak sekali? Gilang sudah membuka mulutnya untuk menguliahi Azka dan Vio ketika ponsel sang Sultan yang juga berada di atas meja, tepat di samping menu yang dilempar Azka barusan, bergetar. Benda pipih yang perusahaan pembuatnya mengklaim bahwa benda itu dilengkapi fitur fast charging menampilkan nama seseorang yang langsung membuat Gilang mencibir. “Kau angkat lah,” perintah Gilang sambil mendorong ponsel tersebut ke arah Azka. Azka yang awalnya duduk bersandar menegakkan kembali punggungnya kemudian melongok. Menengok pada layar ponsel barunya. “Lah? Dia ini mau balikan sama kau, Lang, bukannya sama aku.” “Kalau dia mau balikan sama aku, ngapain nomor kau yang ditelfon?” gerutu Gilang. Keduanya kemudian hanya memperhatikan bagaimana layar tersebut berkedip kemudian kembali menghitam. Berkedip lagi kemudian hitam lagi. Sampai pesanan Vio datang semua, Adin masih berusaha menghubungi Azka. Azka heran sendiri melihat kini Gilang malah berlomba menghabiskan pesanan adik sepupunya itu. Keduanya makan begitu cepat seperti sedang balap makan kerupuk tujuh belasan. Untung Azka sudah tau bagaimana tabiat sahabatnya ini sehingga dia tidak serta merta memesan makanan seperti yang Gilang minta. Lihat saja bagaimana Vio akan mendapat masalah karena menguras dompet Abangnya itu. Kalau Gilang ini hewan, dia ibarat ular yang lidahnya bercabang. Jadi semua omongannya itu tidak bisa langsung ditelan bulat-bulat. “Halo, Dinda,” ucap Azka sambil melirik pada sang sahabat. Bersamaan dengan disebutnya nama sang mantan pacar yang sepertinya akan kembali menjadi pacar, Gilang menghentikan kunyahannya. Memaksa semua itu untuk tertelan bahkan sebelum lumat. “Halo, Sultan. Maaf mengganggu, tapi apa gilang main sama Sultan?” tanya Dinda sungkan. Kalau dipikir-pikir ia dan Gilang terlalu sering membuat Sultan Azka terlibat dengan masalah mereka. Azka masih menatap datar pada Gilang yang berusaha bicara dengan bahasa isyarat, dia menggerakkan kedua tangannya aneh lalu menunjuk Vio, eh salah, menoyol Vio. Gilang menoyol sepupunya itu karena kembali mencuri start. Satu siomay sudah masuk ke dalam mulut gadis itu ketika Gilang dilanda gugup. “Apa si? “ tanya Vio menatap abangnya kesal. “Diem!” ucap Gilang kesal. Kalau Dinda tidak sedang menelfon mungkin dia tidak akan menahan teriakannya seperti sekarang. “Ribet amat, kalo bisa ngomong ngapain mangap-mangap kaya ikan di daratan?” “Eh!!! Gue sengaja begitu gara-gara ga mau dia tau kalo gue ada disini,” ucap Gilang. Kalau bukaan mulutnya bisa selebar dari telinga kiri sampai telinga kanan, dia pasti sudah menelan kepala bocah ini. “Ngomong aja langsung, nih ya kayak gini: Halo Dinda? Eh iya bisa. Bisa kok, kamu emagg lagi ngomong sama aku, mantan kamu yang-” “Eh k*****t!” teriak Gilang yang kehilangan kesabarannya. “.. Hm.. Makasih Sultan, aku ngerti,” ucap Dinda Setelah mendengar kicauan Gilang dan Vio. Gilang melongo dan menyambar hape Azka hanya untuk melihat bahwa Adin mematikan sambungan telfon, ia lalu menjambak rambutnya sendiri. “Lo pulang, “ ucap Gilang dengan telunjuk kanan mengarah ke pintu keluar. “Ckckck oke, alamat rumah Abang apa?” “Gue suruh lo pulang kampung, jauh-jauh dari gue, “ geram Gilang dengan lagak ingin mencekik Vio. Azka takjub dengan sok jual mahal temannya satu ini. Menurut kalender percintaan gilang, harusnya, jika Azka tidak salah menghitung, Gilang sudah harus mulai PDKT kembali dengan Dinda. Tapi temannya ini bersikap seolah ia sedang tertarik dengan sepupunya yang kalo Azka bicara jujur, cukup cantik, bolehlah meskipun lebih cantik kak Nia-nya kemana-mana. Entah apa pula tujuannya? Memangnya sudah yakin ga mau balikan sama Adin lagi? “Lang,” panggil Azka. “APA!!” “Kok kau salak* pula aku?” *Salak, menyalak = menggonggong. “Bari ampun ambo, Sultan,” ucap Gilang dengan raut mencibir, “Ya kau ga bisa diajak kerja sama si,” gerutu Gilang yang sudah menyita nojito milik Vio, membuat sepupunya itu cemberut. “Kau antarlah adikmu ini pulang, baru kita susul Dinda.” “Enak aja, aku masih lapar, Pangeran,” ucap Vio yang menolak pulang sebelum kenyang. “Kau cari saja Bang Fateh dan minta duitnya,” ucap Gilang mengangguk pada Azka untuk meninggalkan Vio. “Cari dimana? Bang! ABANG!” teriak Vio pada Gilang dan Azka yang sudah tidak menoleh lagi padanya. Keduanya berjalan beriringan namun Azka terlebih dahulu membayari pesanan adik sepupu kawan baiknya dengan alasan ia tidak ingin dimarahi bang Ramdan karena meninggalkan cewek dan tidak membayar makanan. “Kau taulah Abangku bagaimana,” ucapnya agar Gilang mengerti. Keduanya berniat ke Kak Nia-nya Azka, bukan menyusuli Dinda. Gila benar Gilang sampai melibatkan temannya agar ia bisa balikan lagi. “Huaaa... Abbaaaaaaaanggggg..” panggil Vio saat panggilannya pada Fateh tersambung. “Ha, kenapa?” “Aku ditinggal Gilang,” adu Vio dan tentu saja ia akan membuat Bang Hilangnya mendapat masalah setiba di rumah. >>>  Nia menatap pantulan wajahnya di kaca sambil memoleskan lipstik berwarna merah terang di bibir tipisnya untuk menutupi keluguan wajah milik Aini. Gadis dua puluh enam tahun sembilan bulan itu mengomel sendiri pada pantulan wajahnya seperti: “Memang bodoh, apalagi sih kurangnya Arif? Hidupmu akan terjamin saat aku hilang nanti.” “Awas saja, kau Aini!” “Akan kutampar wajah Fatih kesayanganmu itu dengan tangan yang selalu kau inginkan untuk menyentuhnya.” “Dan kucaci maki dia dengan mulut yang selama ini kau gunakan untuk diam-diam menyebut namanya.” “Sialan gara-gara kau aku tampak seperti orang bodoh di depan Arif, Abangmu juga kau buat menderita. ABANG KESAYANGANMU LOH ITU!!!” Membayangkan keadaan punggung Ramdan membuat Nia semakin kesal. Tujuh tahun seorang Nia eksis di dunia dan tifak sekalipun ia mencelakakan saudara-saudaranya itu. Tok tok. Bunyi ketukan pada pintu kemudian membuat Nia mengalihkan muka garangnya dari bayangan diri sendiri di dalam cermin. “Masuk!” ucapnya barulah Diah berani masuk. Dulu Nia sempat syok saat mengetahui dayang Aini bisa masuk sesuka hati ke ruangan pribadinya. Tapi dengan Nia, semua ada aturannya. “Puti, tamu anda sudah datang.” “Suruh dia kembali lagi besok!” ucap Nia dengan seringai setannya. ‘Aini, pembalasanku baru saja dimulai.’ Diah yang separuh tubuhnya berada di luar sedang sebagian lainnya berada di dalam kamar sang Putri menunjukkan wajah ketakutan. “Tapi Puti, Fatih Ardan Mubarack datang dengan wajah menakutkan.” “Oh, bagus! Jadi kau lebih takut pada orang asing itu dibanding aku? Bisa begitu? Ada yang lebih menakutkan dari Nia???” “Tidak Puti, anda lebih menyeramkan. Dan saya akan katakan besok anda akan menjamunya kembali.” “Jangan gila Diah, besok weekend dan aku butuh liburku. Libur dari pekerjaan dan libur untuk menggantikan Aini Radinka Jebat. Aku ini melakukan pekerjaan ganda tapi dengan gaji yang sebenarnya jauh di bawah standar. Kamu yang melayani Aini saja digaji lah aku???” “Besok memang weekend, Puti. Dan anda tidak punya acara penting. Kemaren anda sendiri yang berkata akan menemuinya Fateh besok. Besoknya anda itu ya sekarang.” “Kalo ga gini aja, Puti yang bilang sendiri sama Fatih biar dia paham. Mungkin kalau anda yang bicara dia bisa langsung paham.” “Ya sudah, terserah kau saja,” ucap Nia, baru kali ini Diah sanggup membuatnya stress seperti Aini dan datuk Medan. Belum lagi tekanan yang dokumen-dokumen itu berikan padanya setelah diabaikan beberapa hari. Duh, Nia merasa semua ini bisa membuatnya terlihat semakin tua. >>>  Fateh tidak tau apa yang membuat Putri Radinka Aini Songong Jebat begitu lama untuk menemuinya. Apa Putri itu sedang beranak? Bukaan terakhir sepertinya. Saat ingin mengata-ngatai pesuruh Putri sialan itu, hape Fateh bergetar, ia menerima foto-foto Kakak dan ponakan pertamanya berlatarkan patung singa berkepala manusia. Dalam hati Fatih bertanya-tanya apakah ini sphinx yang ada di Mesir itu? Saat Fateh ingin melihat semua foto yang ponakannya kirimkan itu, si Abang ipar malah menelpon. Dalam hati, Fateh bertanya-tanya apakah keluarga mereka sedang ingin menyombong padanya? Bahwa mereka mainnya lebih jauh dari mainnya Fateh? “Hal-” “Teh! Bagaimanapun caranya bawa Kakakmu pulang secepatnya.” “Apa???” “Kakakmu dan anakku pergi tanpa izin dan aku mau kamu membawa mereka pulang secepatnya!” Sang Abang ipar tidak tau saja bahwa Fateh, alias adik iparnya yang titisan dewa ini tidak sedang dalam mode bisa disuruh ini itu. Terlebih barusan ia merasa dipermainkan oleh seorang perempuan sombong yang berasal dari kampung. “Dulu juga mereka sering begitu.” “Itu dulu! Sekarang beda.” ucap Denis kesal. “Terserah Abang ya, mau menyusul istri tercinta atau bagaimana karena aku sedang sibuk. Sibuk jadi bulan-bulanan preman berkedok Putri. Tapi sebaiknya tunggu saja Fay di rumah karena dia sudah akan ada di negara lain saat abang sampai di Mesir.” ucap Fateh kesal.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD