P. S. I Hate You 10

1797 Words
Harusnya malam ini akan menjadi kenangan terindah bagi Aini. Harusnya pertemuannya dengan Fateg akan menjadi kado dari Tuhan karena selama ini ia bersabar dan tidak mendekati pria itu seperti yang cewek genit pati lakukan. Ya walaupun sepertinya juga tidak ada cewek genit yang mau mendekati Fateh karena keberadaan Voni dan Fay. Setidaknya itulah yang Aini tau. Namun ternyata pertemuannya dengan Fatih Ardan Mubarack terjadi hanya untuk menyadarkan Aini dari angan-angannya.  Setelah mengetahui kenyataan tersebut, Aini jadi sangat ingin membenturkan kepalanya agar ia tidak lagi mengingat bahwa satu-satunya pria yang ia inginkan untuk diberikan segalanya, cintanya, kasih sayangnya, tawanya, tangisnya, dan bahkan hidupnya sudah memiliki keluarga bahkan pernikahan mereka sudah dikaruniai dua orang anak. Makanya selama sisa malam itu Aini hanya bisa menunduk sementara semua orang berbincang dengan yang lain. Tampak jelas hanya dirinya saja yang memiliki suasana hati berbeda dengan yang lain. Ai tidak tau sampai kapan ia harus bersikap baik-baik saja padahal saat ini ia begitu ingin mengubur wajahnya di bantal di kamarnya sana. Deheman pria itu yang ia lakukan beberapa kali membuat Aini refleks menoleh padanya. Satu dua kali Aini mendapati Fateh juga menatapnya tapi kebanyakan pria itu sibuk dengan Bang Ramdan dan juga Azka. “Abang antar pulang?” tanya Ramdan yang merasa adiknya sudah mengantuk. Aini sama sekali tidak mengeluarkan suaranya padahal semua orang memiliki pembicaraan yang menyenangkan. Menyenangkan versi Ramdan sendiri adalah saat Fateh juga sama kesalnya dengan dirinya mengingat kelakuan adiknya bersama adiknya Ramdan. Hal itu membuatnya merasa mendapatkann teman senasib dan sepenanggungan. “Boleh,” ucap si Puti kesayangan Datuk Medan. Memang apalagi yang bisa Aini harapkan, bukan begitu? Duduk sampai pagi mengobrol dengan Fateh juga tidak akan mengubah fakta bahwa pria itu sudah menikah bukan? Ramdan merangkul adiknya kemudian pamit pada semua orang. Mengatakan bahwa adiknya tidak terbiasa tidur larut. Sementara Ramdan mengambil mobilnya yang tadi diparkirkan agak jauh, Aini berdiri di luar cafe. Tadi Ai sudah mengatakan untuk langsung ikut saja dengan sang Abang tapi beliau menyuruhnya untuk berdiri di sini saja. Apa Abang berpikir ia bisa pingsan hanya dengan berjalan menuju mobil? Ada-ada saja.  Lalu tanpa pernah ia duga, Fateh muncul di dekatnya tak lama kemudian. Kalau tadi ada meja yang membatasi keduanya, kini Aini bahkan bisa mencium wangi pria ini dengan mudah. Fateh berdiri begitu dekat dengannya sayangnya hal itu tetap tidak bisa membuatnya merasa lebih baik. Aini tidak ingin bicara karena ia takut suaranya yang bergetar karena menahan tangis disadari oleh Fateh. Sebagai gantinya, juga sebagai bentuk kesopanannya, Aini hanya menghadap pada pria itu tapi tentu saja dengan pandangan hanya sanggup melihat sepatu yang pria itu pakai. Fateh menggaruk pelan belakang telinganya dalam diam. Puti ini benar-benar mambuat Fateh melakukan apa yang tidak pernah ia lakukan. Tapi tidak apa, Fateh akan lakukan semuanya kalau perlu. “Apa rakyat jelata sepertiku lancang jika bicara padamu tanpa embel-embel Putri?” tanya Fateh. Sungguh ia kehabisan ide untuk mengajak Puti Aini bicara. Dan berhubung waktu mereka sempit karena sang Putri akan segera pulang, Fateh langsung mengucapkan pemikiran yang lewat begitu saja di otaknya. Mata Aini melotot seketika. Ia segera mengangkat pandangannya sehingga bertemu dengan kedua manik kelam milik Fateh. Dalam hati Aini bertanya, apakah barusan Fateh mengatakan dirinya rakyat jelata? Kalau dia rakyat jelata lalu Aini apa? Gembel??? “Anda boleh bicara senyaman yang-” “Please jangan Anda,”  ucap Fateh memotong. Namun begitu ia tetap memberikan senyumnya. Lembut sekali suara gadis ini. Suara yang begini ini pasti cocok sekali untuk memanggil Fatih Ardan Mubarack dengan panggilan Sayang. Kalau meminta Puti Aini memanggil Fateh dengan kata yang satu itu, Fateh berdosa tidak, ya? Fateh diamuk masa tidak, ya? Aini mengangguk paham dan memberikan senyum lemahnya pada Fateh. Lagian gaya-gayaa juga Aini memanggil Anda. Seumur hidup ia tidak pernah menggunakan kata itu untuk bicara pada siapapun. Terdengar asing dan terasa seolah dirinya memberi jarak pada lawan bicaranya. “Kamu ingat, ‘kan kalo besok kita akan ketemu lagi?” tanya Fateh lagi. Untuk pertama kalinya ia jadi berharap Puti Aini bisa cerewet seperti cerewetnya Kak Uci pada Bang Raka. “Iya. Nanti kalau kamu ketemu aku lagi, tolong jangan tersinggung dengan kata-kata aku ya,” ucap Aini yang mulai panik. Tidak ada yang pernah menyangka akan pertemuan hari ini. Tidak Nia dan tidak pula Aini. Sayangnya Fateh sudah terlanjur melihat dirinya. Apakah besok ia akan menemukan keanehan? Nia juga bukan orang yang akan beramah tamah apalagi pada Fateh. Orang yang menjadi alasan kenapa ia bisa muncul. Aini yakin ia harus mengetikkan pesan yang begitu panjang pada Nia setibanya di rumah nanti. Ia harus menjelaskan semua yang terjadi malam ini pada Nia. Semoga saja anak itu mau sedikit bekerja sama dengannya. Aini betul-betul berharap apapun urusan Fateh dengan Nia, semoga itu bisa selesai secepat mungkin agar mereka tidak perlu bertemu lagi. “Hm, kamu tau kalo kita sama-sama lulusan Bina Bangsa?” preet Teh.. bahasan lo kok banci banget sih?? Terus lo mau tanya apa dia kenal sama lo, gitu? Terus apa yang ada di benak mengkerut lo itu kalau obrolan ini berlanjut, yang mana kemungkinannya dibawah satu persen, dan Aini sadar kalo lo sama sekali ga kenal dia? Secara kasta dia itu diatas brooo.             “Ah iya.. kita satu sekolah ya?” tanya Aini memberikan semacam senyum yang menjelaskan bahwa ia pun lupa-lupa ingat dengan masa-masa SMA-nya di Bina Bangsa. Sementara Fateh merisaukan hal lain, Aini malah sedang cemas jika Fateh menyadari ia sering mengintipnya dari jauh. Bagaimana kalau alasan kenapa Fateh sampai menyusulnya kemari karena ia menyadari Aini adalah orang yang selalu memperhatikannya dari jauh? Apa yang harus Aini jawab? Bang Ramdan kenapa lama? “Hehe begitulah,” kekeh Fateh seperti orang bodoh. Dan benar saja apa yang dikoarkan oleh batin Fateh. Obrolan berhenti begitu saja.  Sempat Bang Raka mengetahui bahwa Fateh mencoba untuk berbicara pada gadis cantik tapi selalu berakhir gagal, ejekan untuk dirinya pasti bertambah satu dan kalau Bang Raka tau maka seluruh dunia bisa tau juga. Sudah tau waktu yang mereka miliki tidak banyak ditambah komunikasi mereka berdua yang terbilang sangat payah membuat Fateh gemas sendiri. Ini cewek bisa dimasukkan kantong ga sih? Biar nanti bisa diajak bicara lagi kalau sudah sampai di rumahnya Om Bayu? “Kamu punya pacar?” tanya Fateh tanpa basa-basi. Ya udah lah ya.. Fateh jelas begitu tertarik pada gadis ini terus kenapa harus mengulur-ulur waktu? Pengalaman Adri yang mengulur-ulur waktu membuat Fateh melakukan hal yang justru bertolak belakang dengan temannya itu. Siapa tau berhasil. “Eng... Aku sedang dicarikan suami sama Datuk kami” Lalu disinilah Ai duduk sambil membenturkan kepalanya ke kaca mobil. Tadinya ia sengaja membicarakan hal itu dengan angkuh hanya untuk menunjukkan pada Fateh bahwa tidak hanya Fateh saja yang sudah memiliki pasangan, Aini juga akan menikah. Namun sekarang ia jadi begitu menyesali ucapannya. Tidakkah Fateh akan berpikir Aini terlalu percaya diri dengan membahas urusan pribadinya di pertemuan pertama? Lagi pula siapa juga yang tertarik dengan suami yang Datuk Medan carikan itu? Fateh? Jelas tidak. Sementara Ramdan yang sedang menyetir terpaksa menoleh ke sebelah kiri hanya untuk melihat Aini yang larut dalam pikirannya sendiri sambil menyakiti dirinya sendiri. “Besok pagi Nia akan membuntuti Abang dan mengadu mengenai dahi cantiknya yang benjol,” sindir Ramdan. Semenjak pulang adiknya ini makin diam belum lagi tingkah anehnya yang membenturkan dahinya ke kaca mobil. “Maaf bang,” ucap Aini kemudian segera mengelus dahinya sendiri. Kalau urusannya dengan Nia selagi bisa ia hindari maka akan ia hindari. Karena percaya saja berurusan dengan versi lain dirimu jauh lebih susah dari menghadapi orang lain yang kamu tidak tau pikirannya tentangmu sekalipun. “Apa yang sepupu Gilang katakan?” “Cuma basa basi karena dia akan bertemu dengan Nia besok dan juga bilang kalo dulu kami satu sekolah.” “Kamu tau kalian satu sekolah?” tanya Ramdan yang sekarang sudah benar-benar menoleh pada adiknya. “Taulah, Bang,” jawab Aini lesu kemudian menghembuskan napas putus asanya. Begini ya rasanya patah hati betulan? Sama sekali ga ada enak-enaknya. Ramdan menaikkan sebelah alisnya melihat makin lama napas adiknya makin berat. Aini tidaka kan bercerita kalau tidak dipaksa, makanya kemudian Ramdan menepikan mobil,  melepas seatbelt dan menghadap tepat pada Aini yang tampak keheranan. “Kamu benar-benar tau kalo kalian satu sekolahan?” Aini meneguk ludahnya kasar. “Eng- engga. Ai baru tau tadi dari dia.” “Bohong! Tadi katanya ga begitu.” “Abang salah dengar kali.” “Kita putar balik aja kali ya? Abang yakin Fateh dan Azka masih ada di sana,” ancam Ramdan pada adiknya yang jelas sekali sedang berbohong. “Jangan dong! Iya Bang, Ai tau.” “Sejak kapan Radinka Aini Jebat peduli pada siapa yang ada disekelilingnya?” tanya Ramdan dengan alis yang sudah menyatu, menimbulkan kerutan di dahinya yang memang sudah mulai tua. Tua di mata para Datuk saja ya, tidak di mata para perempuan lajang yang ingin dipersunting olehnya. “Maksud Abang?” Aini mulai gelagapan, ia benar-benar merutuki ketololannya. “Maksud Abang yang mana lagi yang kamu tanya? Alasan lain kenapa kamu ditarik kembali ke mari karena kamu tidak bisa fokus belajar. Nilai-nilai kamu di Bina Bangsa memang tidak jelek tapi juga tidak bisa dibilang baik bukan? Sekarang coba jujur sama Abang kenapa kamu bisa kenal sama Fateh? Apa Abang harus tanya sendiri sama Nia?” Aini menutup rapat mulutnya. Memanggil Nia dalam hati tapi tidak mendapatkan jawaban apa-apa seolah Nia sedang berpelesir ke luar kota. “Yang Nia maksud cinta pertama kamu itu bukan Fateh, ‘kan?” “Kenapa? Apa salahnya dengan Fateh?” begitu sadar dengan kalimat yang keluar dari mulutnya barusan, Aini merasakan tatapan Bang Ramdan mengeras padanya. Ia juga bisa merasakan gedoran jantungnya yang seperti tidak ingin lagi mengabdi padanya. “Bang jangan apa-apain Fateh, ya? Dia ga tau kok kalo Ai suka dia. Please..” “Kalian berdua benar-benar menambah pekerjaanku saja,” ucap Ramdan kesal. Lagian apa itu maksud ucapan Aini tentang dirinya yang akan menacam-macami Fateh? Apa Aini pikir dirinya sama saja dengan pada tetua itu? “Maksud Abang???” “Aku harus menjauhkan Arif dari Nia dan sekarang aku juga harus menjauhkan Fateh ‘kan namanya? Dari kamu. Siapapun di antara kalian yang kedapatan menemui pujaan hati masing-masing akan ku jewer! Nia atau Ai tidak ada pengecualian.” Ramdan tidak melarang adiknya untuk memiliki hubungan hanya saja kondisi mereka tidak biasa. Bagaimana caranya Nia mengencani Ramdan dengan muka yang digunakan Aini untuk mendekati Fateh? Salah-salah nanti dua cowok itu yang baku hantam karena berpikir masing-masing dari mereka mencoba merebut pasangannya. Aini menegang di tempat duduknya. Baru kali ini ia diancam sang abang sepupu. Namun begitu ia tidak ingin menyembunyikan apapun lagi. “Dia sudah punya anak istri kok,” gumam Aini lirih.  Kemudian sikap siaga Ramdan luruh tergantikan oleh perasaan iba pada sang adik. Benarkah? Apakah ini yang membuat Aini bernapas pendek-pendek juga membenturkan kepalanya sendiri? Cobaan macam apa lagi ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD