Karena dirinya sensitif dan cukup peka, Iris bisa merasakan seseorang menatapnya. Maka Iris membalas tatapan orang tersebut. Ia perlu mendongak sedikit dan melihat Gavin menatapnya dengan raut tidak dapat dibaca. Sepertinya Gavin sadar jika Iris sedari tadi memperhatikan masing-masing anggota keluarga Mikhail.
Iris tersenyum pada Gavin kemudian dengan cepat mengalihkan wajahnya dan mulai memakan sarapannya dalam diam. Beberapa suap kemudian ponselnya berdering. Ia mengambilnya dan melihat nama Maya tertera di sana. Meminta izin kepada Rosalina dan Jeffery, ia langsung mengangkatnya.
“Ris!”
“Ya?”
“Aku menghubungimu dari kemarin! Kudengar kau sakit. Mau kami jenguk?”
“Tidak perlu. Aku kembali bekerja hari ini.”
“Yaaahhh... Padahal ‘kan bisa ambil izin sakit sampai 3 hari. Setidaknya biarkan aku menggantikan posisimu hari ini dan membantu Vincent sayang.”
Iris tertawa pelan. “Sepertinya kemarin ada yang mengambil kesempatan dalam kesempitan.”
“Oh jelas!” Maya tertawa di seberang telepon. “Ya sudah. Tolong jangan telat ya bu, biar kami punya teman rumpi pagi ini.”
Iris kembali tertawa. Ia bergumam iya lalu memutuskan sambungan telepon. Saat Iris hendak meletakkan ponselnya ke dalam tas, ia merasa bahwa Gavin benar-benar menatapnya tanpa ditutupi.
“Ponselmu retak?”
Akibat jatuh kemarin ponselnya memang retak, tapi masih bisa digunakan. Jadi Iris berpikir dia akan mampir sebentar untuk mengganti layar ponselnya.
Tanpa melihat Gavin, Iris tersenyum alami. “Tadi pagi tanganku licin dan ponselku jatuh makanya retak.”
“Berikan padaku. Aku akan membawanya ke gerai ponsel di Mall sebelum pergi bekerja.”
Saat Gavin ingin mengambilnya, alam bawah sadar Iris mengingatkan bahwa pria di sebelahnya ini adalah seorang Lucifer a.k.a musuhnya. Juga Iris masih ingat dia belum menghapus foto menjijikan Gavin dan Tiffany. Bahkan ada nomor asing yang terus menghubunginya. Jika ponselnya jatuh ke tangan pria ini, Gavin akan mencurigainya lebih dulu.
Jadi dengan berlebihan Iris berteriak, “No!”
Setelah teriakan Iris, suasana berubah menjadi hening. Iris bisa merasakan tatapan semua orang tertuju ke arahnya. Iris mengerjapkan mata lalu kembali ke ekspresi semulanya, tersenyum dan tenang.
“Kebetulan jam istirahat aku akan menemani Maya mencari aksesoris untuk ponselnya. Jadi kamu bisa fokus pergi bekerja.” Dan jangan pulang malam ini. Iris menambahkan dalam hati masih mempertahankan senyumannya. Tentu saja Iris berbohong mengenai Maya yang mengajaknya mencari aksesoris ponsel.
“Well, speaking of that, Aku merindukan mereka.” Tiffany menyeletuk. “Kita harus pergi dengan mereka malam ini! Kebetulan sekali hari ini pekerjaanku tidak terlalu banyak. Iya ‘kan, Gavin?” Tiffany menatap kakaknya di seberang meja, menggodanya.
Tiffany ingin memberi pelajaran kepada Gavin. Karena tadi malam saat mereka ingin b******u, tiba-tiba saja Gavin berhenti di tengah jalan. Pria itu dengan cepat keluar dari kamar meninggalkan Tiffany.
Mengingat sifat Gavin yang posesif dan dominan, pria itu tidak akan membiarkan Tiffany pergi keluar hingga larut malam. Tapi apa yang diharapkan Tiffany seketika pupus saat melihat reaksi Gavin.
“Pergilah.” Pria itu tersenyum dan mengangguk. Tapi masih menatap Iris. Tiffany melirik Iris dan kakaknya bergantian dengan sedikit bingung.
Dalam hati Iris mendengus jengah, Tiffany sangat hebat berakting menjadi sahabat yang baik. Iris segera memasang ekspresi senang. Sangat bersemangat. “Sepertinya tidak untuk malam ini... Bagaimana jika beberapa hari ke depan? Aku akan beri tahu mereka nanti!”
“Hebat!” Tiffany bertepuk tangan. Ia kembali melirik Gavin, namun pria itu seperti tidak mempermasalahkannya.
Iris yang tidak ingin berlama-lama berada di sebelah pria jahat dan kekasihnya, dengan segera ia beranjak. “Nenek, Pa, Ma, Iris akan berangkat sekarang.”
“Kamu bisa pergi bersama kami. Kantor kita juga searah.” Gavin berkata membuat Tiffany dan Iris terkejut.
Iris meneliti wajah pria itu. Apakah Gavin sedang sakit? Atau dia mulai curiga padanya?
“Ayo.” Gavin ikut berdiri dan ingin memegang jemari Iris tapi Iris lebih dulu menghindar.
Untuk menutupi reaksi tubuhnya, Iris bergerak mengambil tas dan menyampirkannya di lengannya. Lalu menatap Gavin, tersenyum. “Aku akan pergi bersama sopir pribadi. Kamu tidak perlu khawatir.”
Saat Gavin ingin membuka mulut, Iris dengan cepat bersuara. “Pergilah segera. Jangan sampai telat, sayang. Adik iparku sudah siap berangkat kerja.” Iris menatap Tiffany yang menegang dengan senyum manisnya lalu meninggalkan kediaman Mikhail.
Iris berharap Tiffany akan kesal saat ia memanggil Gavin dengan sebutan sayang. Ia berharap mereka akan bertengkar hebat. Tapi Iris tahu itu tidak mungkin. Ia perlu sesuatu yang besar untuk membuat mereka saling membunuh satu sama lain.
Tapi bagaimana?
Iris memijit pelipisnya. Di situasi seperti ini Iris baru mengingat nomor asing yang mengungkapkan kebusukan dua sejoli tersebut. Ia harus bertemu dengan orang itu secepatnya.
Di persimpangan, Iris menyuruh supir berbelok dan menuju gerai ponsel langganannya.
Tiffany yang melihat mobil di depannya berbelok ke arah berseberangan dengan arah tempat Iris bekerja terlihat bingung. Ia menoleh ke samping di mana Gavin menyetir. “Bukankah itu mobil yang ditumpangi Iris? Kenapa dia berbelok ke arah sana?”
Gavin juga menyadarinya sedari awal tapi dia hanya diam dengan ekspresi rumit.
Merasa tidak di tanggapi Gavin, Tiffany merengek. “Gavin...”
“Jangan mengurusi urusan orang lain.” Gavin mengusap kepala Tiffany sedangkan wanita di sebelahnya hanya cemberut.
***
Setelah dari gerai ponsel, Iris segera menyuruh sopirnya untuk mengantarnya ke kantor.
Dengan mantap Iris berjalan menuju ruang kerja Ayahnya. Ia mengetuk dua kali lalu membuka pintu. Melihat hanya Ayahnya sendiri di sana semakin memantapkan pendiriannya. Iris mendekat lalu berhenti beberapa langkah dari meja kerja Richard.
“Papi, biarkan Iris mengambil alih sepenuhnya usaha Adinata!”
Richard yang baru saja duduk di kursi menatap anak semata wayangnya dengan perasaan kaget bercampur geli. “Papi tahu kamu pasti ada maunya. Sebutkan.”
“Papi, Iris serius! Iris mau fokus untuk bisnis keluarga kita.”
Richard dengan serius berkata, “Kamu bukan hanya Adinata, Iris. Kamu seorang nyonya Mikhail sekarang. Tidak baik untuk Papi memberikan pekerjaan terlalu berat untukmu—”
“Gavin sudah memberikan izin,” potong Iris. “Ayolah, Pi... Iris sudah menjadi sekretaris Papi cukup lama dan Iris sudah banyak belajar. Jadi sudah waktunya Iris menggantikan posisi Papi. Bukankah Papi bilang akan pensiun dini? Nah, bukankah ini waktunya?”
Richard menatap lekat putrinya. “Kamu terdengar terburu-buru. Ada apa Nak? Kamu tidak bertengkar kan dengan Gavin?”
Iris menggeleng kuat. “Iris hanya ingin bekerja lebih giat. Bukankah Papi memaksaku belajar di luar negeri supaya bisa mengambil alih bisnis? Dan Iris sudah siap sekarang.”
Suatu saat perceraian akan terjadi. Dan Iris tidak ingin menerima harta dari Mikhail. Bahkan jika pihak Gavin menuntut karena suatu alasan, setidaknya ia memiliki pegangan. Jadi Iris harus bekerja lebih giat. Mengumpulkan uang lebih banyak. Dan menggunakannya di saat yang tepat.
“Kamu tidak kekurangan uang, kan?”
Pertanyaan mendadak dari Richard membuat Iris tertawa garing. “Hahaha... Humor Papi tidak bertambah sedikit pun.”
“Baiklah... Anggap saja Papi mendengarkan. Kantor mana yang ingin kamu ambil?”
“Di singapura.” Mata Iris berbinar.