CLG | CHAPTER 27

1065 Words
Membasahi bibirnya, Iris berkata lembut. “Um, sepertinya kamu salah paham, Gavin.” Gavin melangkahkan kaki selangkah membuat Iris dengan tergagap mundur. Pria itu berdiri di tengah-tengah pintu. Dengan tubuhnya yang besar, tidak ada ruang untuk Iris kabur. Ia mengangkat sebelah alisnya ketika menyandarkan tubuhnya ke samping. “Oh ya? Kenapa aku jadi salah paham?” Iris mengangguk cepat. “Minah sedang sakit jadi aku menjaganya tadi malam. Um, dia pusing, batuk-batuk dan pegal di sekujur tubuh.” “Malam sebelumnya juga kamu tidak di kamar. Kamu berpikir aku tidak tahu?” Gavin tersenyum. Setiap malam beberapa hari ini Gavin selalu mendengar langkah kaki Iris yang keluar dari kamar. Ketika pintu kamar mereka sudah tertutup rapat, Gavin akan membuka matanya. Gavin beranjak dari tempat tidur besar mereka, kemudian berjalan menuju pintu. Dan dengan celah kecil di pintu, ia melihat Iris selalu masuk ke kamar Minah. Tiap kali Gavin melihat Iris masuk ke sana, wajah Gavin tidak memiliki ekspresi apapun. Awalnya ia tidak mempermasalahkannya. Tapi semakin hari semakin tipis kesabaran Gavin. Tepat tadi malam ia berjanji bahwa malam itu adalah hari terakhir mereka tidur terpisah. Biar bagaimanapun Iris adalah istrinya. Mau sampai kapan mereka akan seperti itu? Apakah mereka bisa mendapatkan momongan dengan tidur berpisah? Bukankah sangat konyol! “Itu ....” Iris meremas kedua tangannya yang mulai berkeringat. Iris mengeraskan otaknya untuk mencari alasan seraya membatin. Oh my God! Berpikir, Iris!!! “Minah sudah tua, walaupun dia terlihat kuat dan sehat di pagi hari, dia sering sakit-sakitan setiap malam. Aku takut Nenek dan Papa akan menyuruhnya kembali ke rumah Papi. Dan aku tidak bisa berpisah dengannya karena dia selalu ada sejak aku kecil .... Jadi, aku harus merawatnya tiap malam.” Iris berbohong dengan lancar dan Gavin bekerja sama dengannya cukup baik. Pria itu sangat sabar ketika mendengar kebohongan istrinya. Gavin berdecak pelan. Wajahnya terlihat berpikir serius. “Itu tidak baik. Kita harus membawanya ke rumah sakit. Biarkan dia mendapatkan perawatan yang baik.” Demi Tuhan, Minah masih segar bugar. Ia bahkan bisa naik turun tangga tanpa terengah-engah. Jika mereka harus membawanya ke rumah sakit hanya akan membuat Iris mati di tangan Gavin tidak butuh waktu lama. Dan dalam waktu cepat Gavin akan mencium bau kebohongan darinya. Iris membuka tutup mulutnya, ia menggelengkan kepalanya cukup kuat. “Kau tahu, Gavin. Aku pikir sepertinya itu tidak perlu.” “Tapi dia sakit. Sayang dengarkan aku, dia juga adalah keluargaku sekarang. Dia sudah menjadi bagian dari Mikhail. Sudah menjadi tugasku memperhatikan Minah. Kita harus membawanya segera ke rumah sakit atau kita bisa menghubungi Bima, dokter keluarga Mikhail. Jika aku menghubunginya, dia pasti akan datang dengan cepat. Tenang saja—” “Tidak!” Melihat Gavin ingin menghubungi dokter keluarga Mikhail membuat Iris dengan cepat menahan tangan Gavin yang memegang ponsel. “Tidak. Tidak. Tidak....” Suasana canggung segera menyebar di ruangan tersebut. Apakah Iris baru saja berteriak keras dan bertingkah berlebihan? Merasa jika dirinya hampir saja ketahuan, Iris mencoba tertawa sambil melepaskan tangannya. “Itu tidak perlu, Gavin. Minah bilang dia akan sembuh beberapa hari lagi jika banyak istirahat. Yah, tadi malam juga aku bisa merasakan energinya sudah kembali secara perlahan. Mulai hari ini dia sudah sehat. Kita tidak perlu mengkhawatirkan Minah lagi. ” “Oh pantas saja aku melihatnya berlari kecil dari dapur ke halaman belakang tadi.” Gavin menggangguk pelan. “Ya! Dia sudah sembuh pagi ini. Jadi tidak perlu menghubungi siapapun.” Iris memegang tangan Gavin masih memegang ponsel lalu membawanya ke saku celana pria itu dengan sedikit paksaan. “Well, kalau begitu aku akan mandi sekarang. Akan terlambat kerja jika aku menghabiskan waktu di sini.” Iris memberikan senyum kecilnya sebelum berjalan cepat menuju kamar mereka. Gavin melihat kepergian Iris menuju kamar mereka tanpa ekspresi. Saat satu orang pelayan wanita mendekat, dia segera memberikan perintah, “Kemasi barang-barang kami sekarang.” Menunduk dalam, pelayan tersebut segera undur diri dan memanggil pelayan lainnya. Iris mengambil pakaian kerjanya dari walk in closet lalu masuk ke kamar mandi. Tidak lupa ia mengunci pintu kamar mandi yang buram lalu melepaskan seluruh pakaiannya dengan tergesa-gesa. Semenjak dari kamar Minah, Iris masih bisa merasakan kepanikan dalam tubuhnya. Ia sangat takut jika Gavin mencium jejak kebohongannya. Biarpun pria itu tidak berkata apapun, Iris masih merasa panik dan takut. Ia menenangkan dirinya di bawah pancuran air. Setelah perasaannya mulai tenang, barulah Iris mengakhiri sesi mandinya. Ia baru saja keluar dari kamar mandi ketika melihat beberapa pelayan sedang sibuk mengemasi koper. Apakah Gavin akan pergi ke luar kota atau negeri karena pekerjaan? Ia melihat Gavin di balkon kamar dengan ponsel di telinganya. Merasakan kehadiran Iris, Gavin membalikkan tubuhnya dan menatap pakaian kerja Iris. “Lakukan seperti yang aku perintahkan. Hubungi aku lagi jika ada terjadi sesuatu nanti.” Gavin melarikan ponselnya dan bertanya pada Iris. “Kenapa kamu memakai pakaian itu?” Iris menatap pakaiannya. Ia berpakaian tertutup. Kemeja strip putih dan celana panjang berwarna coklat muda. Ia sudah menyampirkan coat kulit di tangannya dan tas tangan. “Ini pakaian kerjaku.” “Aku tahu itu pakaian kerjamu, Sayang. Tapi hari ini aku sudah mengambil cuti untukmu.” Sontak Iris mendongak menatap Gavin terkejut. “Apa?!” Terlalu mendramatisir? Baiklah, Iris akui itu tapi dia benar-benar terkejut sekarang. Dia sangat syok! Tidak memperhatikan keterkejutan iris, Gavin menatap arlojinya. “Kita akan pergi ke Italia. Pesawat pribadiku akan tiba satu jam lagi.” “W-wait a minute— What? Kita? Apa maksudmu dengan kita?” “Aku dan kamu. Kita berdua akan pergi ke luar negeri.” Gavin menjelaskan dengan sabar berharap Iris bisa mengerti. Bagai disambar petir Iris tersentak mendengar ucapan Gavin. Ia mundur beberapa langkah dengan wajah pucat. Berdua. Ke luar kota. Apakah ada hal ‘baik’ lagi untuk menyempurnakannya? “Kenapa aku harus pergi? Aku sudah mengambil hari liburku ketika kau sakit, Gavin.” Melihat senyuman Gavin membuat Iris menatapnya penuh waspada. Pria itu berjalan mendekat dan meletakkan kedua tangannya di pinggang kecil Iris yang mana membuat Iris menahan nafas. Ia masih belum terbiasa dengan kontak fisik yang dilakukan pria di depannya. Pria yang selalu menghindarinya namun menyentuhnya untuk beberapa momen, hal itu bukanlah pertanda baik pikir Iris. Karena tinggi badan mereka yang berbeda walaupun Iris sudah menggunakan sepatu hak tinggi 8 cm, Gavin harus menunduk sedikit. Ia menempelkan bibirnya di dahi Iris, memberikan kecupan hangat di sana sebelum mengeluarkan ultimatumnya. “Kita akan berbulan madu, Sayang.” Dan detik berikutnya Iris bisa merasakan rohnya baru saja meninggalkan tubuhnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD