Bab 28

1651 Words
Berita soal foto tersebar luas di penghuni sekolah, cibiran dan tatapan menjijikan seolah diberikan kepada gadis yang kini berjalan menyusuri koridor sekolahan, Tia tidak pernah peduli bahkan merasa bodo amad atas tatapan tersebut. "Ti? Are you okay?" tanya Siska. "Santai," balas Tia dengan senyuman manisnya, ketiga sahabatnya sontak saling menatap satu sama lain. "Kita percaya sama lu kok Ti," ujar Rayna. Tia menoleh ke arah sahabatnya lalu tersenyum dan membalas, "Terimakasih ya, asal kalian percaya gue akan baik-baik aja kok." Ketiga sahabatnya lantas merangkul Tia dengan erat seolah menandakan semua akan baik-baik saja. Mereka berempat kembali melangkahkan kakinya menuju kantin yang kini sudah padat oleh para siswa-siswi yang mengantri, mereka berempat menjadi pusat perhatian ketika memasuki area kantin jelas bisikan-bisikan mencibir dapat Tia dengar. "Lu mau pesan apa? Biar gue aja yang pesanin," kata Rima. "Enggak papa, gue bisa pesan sendiri," ujar Tia dengan senyuman. Rima menyela, "Ti! Bisa enggak nurut aja sama gue? Sekali aja.* Tia yang mendengar lantas menoleh ke arah sahabatnya. "Udah turutin aja, daripada di makan sama Rima lu," cetus Siska berbisik. "Oke siomay batagor 4, es teh manis 4," kata Rima, ia lalu melangkah meninggalkan ketiga sahabatnya yang terdiam melongo saja. Rayna berkata, "Perasaan gue belum bilang apa-apa." "Emang edan dia mah," ujar Siska sambil menggelengkan kepalanya pelan. Mereka bertiga kini melanjutkan langkahnya mencari tempat duduk, bisikan menjulid jelas masih terdengar di telinga Tia namun gadis tersebut merasa bodo amad atas bisikan tersebut. Mereka bertiga lantas duduk di meja kosong. "Kenapa lu lihat-lihat, mata lu mau gue colok?!" seru Siska emosi. "Hussh udah," balas Rayna. Tia melihat ke arah sekitarnya yang seolah memandangnya jijik. "Sorry ya, kalian jadi ikut di lihatin sinis kaya gitu," ucap Tia. "Apaan si lu! Segala sorry sorry, yang salah mereka kenapa lu yang minta maaf," cetus Siska dengan membara membuat Tia yang melihatnya tersenyum tipis. Rayna menyela, "Bukannya udah biasa kita di lihatin." "Betul sekali kawand," ujar Siska, membuat Tia hanya menggelengkan kepalanya pelan sambil tertawa. Rima datang membawa nampan berisi siomay batagor pesanannya bekrata, "Wah ada berita apa nih sampai ketawa-ketawa." Ketika melihat ketiga sahabatnya tertawa. "Eh mbok Rima udah datang," kata Siska meledek membuat Rima hanya memandang kesal saja. "Makasih ya Bang," kata Rima ketika di bantu membawa minumannya. Rima bertanya, "Gue ketinggalan apa nih?" "Otak lu yang ketinggalan," ujar Rayna, Rima yang mendengar lantas menatap cemberut ke arah sahabatnya sedangkan Sisak, Tia kini sibuk mengaduk siomay batagor agar bumbunya merata untuk di santap. Baru saja Tia ingin melahapnya, guyuran es jeruk membasahi dirinya membuat ketiga sahabatnya sontak terkejut, Tia hanya terdiam saja menatap keadaan dirinya yang sudah basah dan lengket, ia menghela nafasnya untuk tidak terbawa emosi. "KA FIO! TIA SEBENARNYA SALAH APA SI?! DIA LAGI DIAM LOH! LU GUYUR GITU AJA!" seru Siska tersulut emosi, Tia memegang tangan sahabatnya untuk tidak menambah masalah. "Gue enggak papa," kata Tia. Fiona, wanita yang menyiram Tia dengan es jeruk menyela, "Tuh dengar mata sahabat lu, dia enggak papa." Dengan raut wajah songongnya. Siska mengepalkan tangannya, Tia menahan agar sahabatnya tidak tersulut emosi. Gadis tersebut beranjak berdiri sambil membersihkan bajunya dengan tisu. "Puas? Udah?" tanya Tia dengan santai, matanya jelas lurus menatap lawan bicaranya. "Puas? Belum lah," balas Fiona dengan smirknya, ia mengambil siomay yang berada di meja lalu ia tumpahkan ke tubuh Tia membuat semua terkejut, begitu juga dengan ketiga sahabat gadis tersebut. Semua penghuni kantin jelas menjadikan mereka tontonan gratis tanpa ada yang berani melawan, karena tahu siapa Fiona sesungguhnya. "LU UDAH KETERLALUAN KAK!" seru Rayna dengan sorot mata tajam, Fiona menatap Rayna dengan tatapan sinis. Fiona mengambil es jeruk yang berada di meja dengan niat hati ingin mengguyur Rayna namun tangannya sudah keburu ditangan oleh Tia. "Lu boleh berlaku jahat sama gue, tapi jangan sekali-kali libatin sahabat-sahabat gue," ucap Tia dengan nada dinginnya, sorot matanya kini jelas menajam. Gadis tersebut mencengkram tangan Fiona hingga membuat gelas yang berada di tangannya jatuh dan pecah begitu saja. "Siyalan lu!" seru Fiona sambil satu tangannya mencengkram pipi Tia hingga membuat gadis tersebut sedikit meringis sakit. "Lepasin tangan lu dari tangan gue?!" seru Fiona dengan sinis, Tia perlahan melepas cengkramannya dari tangan lawan bicaranya tersebut, Fiona jelas tersenyum kemenangan ia tidak melepas cengkraman tangannya dari pipi gadis tersebut. "Ti.." Tia hanya mengkode melalui tangannya, kini ketiga sahabatnya sudah di halangi oleh beberapa kawanan Fiona. "Sekarang enggak akan ada yang ganggu buat gue habisin lu, Jamur!" seru Fiona. Gadis tersebut hanya tertawa terbahak yang membuat Fiona lantas mengerutkan keningnya, ia semakin mencengkram pipi Tia, namun beberapa detik kemudian tawanya hilang menjadi tatapan serius dan menajam, gadis tersebut kini juga mencengkram pipi Fiona bahkan ia mendorongnya hingga membentur meja disebrangnya. Fiona jelas kalah kuatnya, ia melepas cengkraman tangannya membuat Tia kini mengeluarkan smirknya. "Gue enggak pernah takut sama siapapun termasuk lu, gue tahu foto yang tersebar sebenarnya adalah foto lu," bisik Tia membuat Fiona lantas melotot tidak percaya, mereka semua hanya menyaksikan tidak mendengar. Mata Tia seperti elang yang seraya siap menerjang santapannya. "Gue peringatin sekali lagi, kalau mau lawan gue jangan disekolah," kata Tia, Fiona sontak terkejut ketika melihat raut wajah lawannya cepat sekali berubah. Tangan Tia kini menggenggam gelas kaca dengan niat hati ingin membalas siraman tadi namun laki-laki yang ia kenal berteriak, "TIA!" Gadis tersebut menoleh dengan tersenyum miring, membuat Alex terdiam sejenak melihatnya. Tanpa sadar gelas yang di genggam Tia kini pecah karena emosi yang tidak keluar sepenuhnya, membuat penghuni kantin terkejut terlebih darah yang mengalir dari tangan Tia. "Tia, lepas! Tangan lu berdarah itu," teriak Rayna. Siska menyela, "Ti udah Ti!" Tia melepas cengkraman tangan tersebut dari pipinya, ia melirik ke arah tangannya yang penuh darah sejenak lalu melangkah pergi begitu saja dari adapan Fiona. "Gue mau ke Uks, jangan ikutin gue," kata Tia ketika berpapasan dengan ketiga sahabatnya. "Fi, lu enggak papa?" "Ish darahnya banyak banget." Fiona berdiri tegak dibantu beberapa sahabatnya, ia memegang pipinya yang nyeri karena cengkaram Tia sangat kencang. Sedangkan di sisi lain, Alex kini mengejar Tia membuat keempat sahabatnya yang baru datanf menghampiri hanya mengerutkan keningnya. "Si Alex kenapa si?" tanya Riko. Bary menyela, "Lagi banyak masalah kali." "Atau mau lari maraton," sela Rega. Revan menatap ke arah area kantin yang masih ramai membuat ia mengerutkan keningnya. "Ramai banget? Ada apaan?" tanya Revan. "Ya mau makan lah," cetus Bary. "Iya gue tahu, cuman–" Perkataannya terhenti ketika ia melihat ketiga sahabat sang adik namun tidak terlihat adiknya, Revan lalu melangkahkan kakinya menghampiri ketiga wanita tersebut. Rega berkata, "Kamperet! Ninggal mulu." "Hadeuh, enggak Alex, enggak Revan, sahabat gue kenapa pada aneh-aneh banget si," eluh Bary membuat Riko hanya menggelengkan kepalanya, lalu merangkul sahabatnya untuk menyusul Revan dan Rega yang sudah lebih dulu melangkah. Ketiga wanita tersebut kembali duduk dengan raut wajah sedikit pucat dan khawatir. "Tia enggak papa kan ya?" tanya Siska. *Tapi tadi darahnya banyak banget," kata Rayna. "Darah? Siapa yang berdarah?" tanya Revan tiba-tiba, ketiga wanita tersbeut sontak terkejut dan saling menatap satu sama lain. Revan mengerutkan keningnya sambil menatap lekat ke arah ketiga wanita tersebut, namun yang di tatap masih saling menatapnseraya mengkode. "Siapa yang berdarah? Dan Tia mana?" tanya Revan. "Van ada apa si?" tanya Rega sambil menepuk bahu sahabatnya. Rega menatap ketiga wanita yang ada di hadapannya sambil mengerutkan keningnya. "Ada apa si? Kok muka lu pada pucat takut gitu?" tanya Rega. "Siapa yang berdarah?" tanya Revan kini tatapannya penuh selidik. "Tia." Revan jelas melotot tidak percaya ketika mendengaenya. Rega menyela, "HAH? TIA? KENAPA DIA?" Revan yang mendengar teriakan sahabatnya hanya menoleh dengan tatapan jengah. "Sorry, terkejut gue," kata Rega membuat Revan kini kembali menatap ketiga sahabat sang adik dengan penuh selidik. *** Alex kini berlari menyusuri koridor sekolah menuju uks tempat Tia kini berada, nafas ngos-ngosannya jelas terlihat ketika laki-laki tersebut sudah berada didepan pintu UKS. "Alex!" Gadis tersebut jelas terkejut ketika melihat sahabat sang abang. "Kenapa lu harus ngelukain diri lu sendiri si?!" seru Alex sambil menghampiri gadis yang kini tengah mengobati lukanya, Alex melihat luka di tangan gadis tersebut dan kini mengalihkan menatap wajah gadis tersebut. Tia berkata, "Gue enggak papa." Alex memegang tangan Tia yang membuat gadis tersebut meringis kesakitan. "Lu bilang ini enggak paap? Udah enggak waras emang lu!" seru Alex dengan kesal. "Kok anda kesal si," cetus Tia menbuat Alex menatap dengan jengah, kini ia duduk di samping gadis tersebut lalu mengambil alih obat merah dan kapas untuk mengobatinya. Tia berkata, "Gue bisa sendiri." "Bisa diam gak!" "Ish gue di bentak mulu," kata Tia dengan raut wajah cemberut membuat Alex kini berhenti mengobati luka gadis tersebut sejenak. Alex terdiam sejenak lalu berkata, "Maaf, gue cuman khawatir." Tia tidak menggubris sama sekali membuat Alex merasa bersalah, ia kembali melanjutkan mengobati luka di tangan gadis tersebut. "Jangan luka lagi, gue enggak bisa maafin diri gue sendiri kalau lu terusan luka kaya gini," kata Alex, Tia yang mendengar sontak menoleh ke arah laki-laki yang fokus mengobatinya. Tia menyela, "Kok jadi lu enggak bisa maafin diri lu?" Alex terdiam sejenak lalu menatap lekat ke arah gadis di sampingnya. "Karena lu calon istri gue, gue ngerasa enggak berguna kalau sampai lu terluka," kata Alex. "Queen!" Suara tersebut sontak membuat mereka berdua menoleh ke arah sumber suara, itu Revan ia lalu menghampiri kedua orang tersebut dengan raut wajah khawatir. Revan menatap sang adik dengan raut wajah bersalah. "Udah deh enggak usah merasa bersalah, gue enggak papa, cuman luka kecil, gue enggak akan bilang bang Rey juga," jelas Tia dengan pelan, tanpa membalas kata apapaun Revan langsung memeluk erat Tia yang membuat gadis tersebut sontak terkejut. "Maafin gue De, maafin gue enggak bisa jagain lu," kata Revan sambil mengelus pelan rambut sang adik. Tia terdiam sejenak sambil membalas pelukan abang keduanya. "Bang, gue enggak papa, lihat.. ini udah di obatin juga kok sama Alex," kata Tia dengan senyuman sambil melihat tangannta yang sudah di perban. "Siapa yang buat lu kaya gini?" tanya Revan. "Ini ulah gue sendiri bang," balas Tia, Revan kini mengerutkan keningnya curiga, tak lama kemudian ia menatap sahabatnya yang kini mengangguk seolah mengiyalan pertanyaan tanpa kata tersebut.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD