Bab 37

1027 Words
Gadis tersebut memasuki gerbang rumahnya, keempat laki-laki tersebut kembali melaju setelah memastikan gadis tersebut sudah berada di dalam perkarangan rumahnya. Tia menghentikan laju motornya tepat digarasi rumahnya, ia melepas helm fullface-nya. "Aishh siyal! Keduluan Bang Rey sama Ayah," cetus Tia ketika melihat kedua mobil yang tadi di pakai sudah terparkir rapih di garasi. Tia menarik nafasnya dalam-dalam sebelum akhirnya ia memberanikan diri melangkah perlahan menuju pintu masuk rumahnya. "Bismillah," ucap Tia ketika membuka pintu, ia menampilkan wajah senyumnya dan berjalan memasuki rumahnya. "Assalamualaikum, Tia pulang." "Dari mana kamu?" tanya Rey to the point yang membuat gadis tersebut sontak terkejut dan menoleh ke arah sumber suara. Gadis tersebut memegang dadanya lalu berkata, "Abang ish! Kalau Tia jantungan gimana, bikin kaget saja si." Laki-laki tersebut beranjak berdiri menghampiri adiknya tersebut, wanita paruh baya yang berada disana pun hanya terdiam saja. "Bubu enggak bisa bantu apa-apa loh," kata Caca. "Dari mana kamu?" tanya Rey kembali dengan sorot mata yang melihat dari atas hingga bawah memastikan kalau tidak ada yang terluka dari adik bontotnya tersebut. "Main bang," jawab Tia sambil menunduk, seolah ia tidak berani untuk melihat sorot mata abang pertamanya yang menatap penuh dengan curiga. Rey memicingkan matanya. "Kenapa telepon enggak dijawab?" tanya Rey yang membuat gadis tersebut kini terdiam lalu mendongak ke arah abangnya. "Telepon?" Gadis tersebut sontak mengerutkan keningnya, ia lalu merogoh setiap kantong yang ada di pakaiannya. "Nyari apa si kamu Queen?" tanya Caca dengan bingung. Pria paruh baya keluar dari kamarnya dan melihat sang istri dan kedua anaknya sedang berdiri di ruang keluarga. "Queen, kamu dari mana?" tanya Rifan namun gadis tersebut tidak menjawabnya, ia mendongak lalu menatap dengan penuh salah lalu berkata, "Kayanya handphone aku ketinggalan deh." Pria paruh baya tersebut menghampiri anak gadisnya lalu merangkul sang istri dengan mesra. "Kamu ke kamar sana, istirahat," ucap Rifan yang membuat gadis tersebut menatap sang Ayah dengan sorot mata yang sendu. Tia menoleh ke arah abang pertamanya yang kini menghela nafasnya berat lalu membalikkan badannya dan melangkah menaiki anak tangga membuat gadis tersebut menatap dengan sendu. "Abang kamu khawatir sama kamu, ditelepon enggak di angkat," ucap Caca seolah menenangkan. "Lain kali jangan pulang malam-malam ya sayang," kata Rifan sambil mengelus pucuk rambut anak gadisnya. Wanita paruh baya tersebut lalu berkata, "Kamu istirahat sana, besok kan sekolah." Tia tersenyum tipis lalu membalas, "Yaudah Tia ke kamar ya Bu, Yah. Selamat malam." Gadis tersebut lalu mengecup singkat kedua pipi orangtuanya sebelum akhirnya melangkahkan kakinya menaiki anak tangga menuju kamarnya. Tia menghentikan langkah kakinya ketika berada di depan pintu kamarnya, ia menatap ke arah kamar abang pertamanya. Yaps, gadis tersebut memutuskan untuk menuju kamar abang pertamanya, ia mengetuk perlahan pintu putih tersebut. "Bang, ini Queen. Abang belum tidurkan?" tanya Tia dengan lembut. Laki-laki tersebut yang berada di dalam kamar hanya menatap datar saja ke arah pintu, ia seolah tidak menggubris dan melanjutkan menonton televisi sambil menyenderkan tubuhnya di sandaran kasur kingnya. "Abang, maafin Queen ya sudah buat abang khawatir, Queen janji enggak akan bikin khawatir lagi," ucap Tia sambil sesekali menempelkna telinganya di pintu seolah memastikan bahwa abang pertamanya ada dikamar. Gadis tersebut menghela nafasnya, ia menatap lurus ke arah pintu kamar abangnya. "Apa Bang Rey sudah tidur ya," gumam Tia sambil mengerutkan keningnya, ia memutuskan untuk melangkah ke arah kamarnya. Gadis tersebut masuk ke kamarnya dengan perasaan bersalah dan gundah gulana karena abang pertamanya sepertinya benar-benar marah kepdanya. "Bodoh emang lu Ti! Kenapa coba ngurusin tuh gerombolan!" seru Tia seolah merutuki dirinya sendiri yang bodohh. *** Sinar mentari kini meyerbakkan sinarnya menggantikan gelapnya malam yang dingin, gadis tersebut sudah terbangun dari tidurnya ia juga telah memakai seragam sekolahnya. "Let's goo!" seru Tia dengan senyum manis dibibirnya, ia melangkah keluar kamar lalu menuruni anak tangga dengan mood yang baik pagi itu. "Selamat pag–" Gadis tersebut menghentikan ucapannya ketika melihat Bang Rey beranjak berdiri lalu melangkahkan kakinya menjauh dari ruang makan tersebut, seolah ia menghindari adik bontotnya tersebut. "Rey, sarapan kamu belum habis loh," kata Caca sedikit berteriak. Rey menyahut, "Sudah enggak nafsuu." Tia terdiam sejenak merasakan sesak ketika abang pertamanya pergi begitu saja. "Bang Rey kenapa si Bu? Tumben banget kaya gitu," kata Revan yang seolah tidak mengerti. "Tia, ayuk sarapan dulu," kata Rifan seolah menyadarkan anak gadisnya dari diam sendunya. Revan bertanya, "Lu ngapain bengong aja bajigur?" Caca yang mengerti bagaimana perasaan anak gadisnya hanya terdiam saja memandang sendu, Tia tersenyum tipis lalu melangkah ke ruang makan. "Queen, Bang Rey marah sama lu ya?" tanya Revan berbisik ketika gadis tersebut duduk. Caca menegur, "Revan, habiskan sarapan kamu." Revan mengerucutkan bibirnya menatap sang Ibu sebelum melanjutln aktifitas sarapannya kembali. "Jangan dipikirin, nanti juga abang kamu reda sendiri," ucap Rifan menenangkan anak gadisnya, Tia mendongak menatap pria paruh baya tersebut dengan senyum getir yang tercetak dibibirnya. Caca berkata, "Sebaiknya kamu bareng Revan, Queen." Revan yang mendengar ingin sekali protes namun baru membuka mulut tatapan tajam sudah disuguhi oleh sang Ibu yang membuatnya mengurungkan niatnya. "Enggak usah Bu, aku naik motor sendiri saja," balas Tia yang membuat Revan tersenyum lega sambil menaikkan kedua alisnya, Caca hanya menatap sengit seolah memberi kode agar Revan membujuk adiknya untuk ikut bersamanya. "Sudsh Queen lu bareng gue saja, naik mobil tapi," kata Revan yang membuat wanita paruh baya tersebut tersenyum lalu mengangguk-angguk. "Tuh, abang kamu saja mau bareng," kata Caca yang membuat Revan hanya memutar bola matanya dengan malas. Rifan berkata, "Kamu berangkat sama Revan ya, Ayah khawatir." Gadis tersebut terdian lalu menatap lekat ke arah sang Ayah sebelum akhirnya menjawab, "Iya Tia bareng bang Revan." Dengan nada yang lesu, Revan yang mendengar sontak mengeryintkan dahinya bertanya-tanya. 10 menit berselang mereka berdua pamitan dan melangkah keluar menuju garasi rumahnya, Revan dan Tia kini sudah berada di dalam mobil. Laki-laki tersebut melajukan mobilnya keluar dari perkarangan rumahnya setelah memastikan seatbelt sudah terpasang. "Lu kenapa De?" tanya Revan. "Hah? Kenapa apanya? Gue enggak kenapa-napa kok," jawab Tia yang membuat Revan malah semakin curiga akan jawaban adiknya tersebut. Laki-laki tersebut kembali fokus menyetir walau sesekali ia melihat ke arah adiknya yang tidak seperti biasanya, gadis tersebut bersandari di bangku mobil dengan sorot mata yang menatap ke jalanan. "Gue enggak suka sama mode wajah lu yang kaya gini," kata Revan yang membuat Tia perlahan menoleh ke abang keduanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD