Bab 3

1332 Words
"Masa cuma segini, Ma?" Airi mengangsurkan tangannya yang memegang uang ke hadapan Mama. Membuka genggaman tangannya dan memperlihatkan uang yang tadi diberikan Mama padanya. Dua lembar uang kertas berwarna ungu. "Nggak cukup."  "Ya dicukupin lah." Mama mengangkat bahu cuek. Airi cemberut. Tatapannya memelas. "Mama tega ihh, anak sendiri juga." "Yang bilang kamu anak orang siapa?" Pipi Airi makin menggembung. "Dua puluh ribu nggak cukup, Mama. Mana ongkos buat gojek lagi, terus ongkos buat makan mana? Emangnya Mama mau anaknya yang cantik ini kelaperan di sekolah nanti?" Mama berdecak. Akting putri satu-satunya dimulai. "Jangan terlalu mendramatisir deh, Ai. Kamu nggak naik gojek atau angkutan umum ya. Kamu tuh nebeng Papa!"  Airi lemas. Gagal sudah untuk mendapat tambahan uang saku. Bibir mungil Airi mengerucut. "Lagian kamu udah sarapan juga. s**u juga tinggal gelasnya aja tuh." Mama menunjuk gelas kosong bekas s**u yang tadi dihabiskan Airi. Gelas itu masih berdiri tegak di meja makan. Dia belum membersihkannya. "Mama pelit!" Airi menghentakkan kaki kesal. Sungguh, Mama keterlaluan baginya. Masa dia cuma diberi dua puluh ribu hari ini. Kan dia pulangnya sore. Apalagi sekarang serba mahal, uang dua puluh ribu bisa habis dalam sekali tenggak.  "Ayo, Ai!" seru Papa yang sedang memanasi mesin mobil satu-satunya. "Nanti telat lho kamu!"  Dengan malas Airi membawa kakinya melangkah menuju Papa. Mungkin dia akan meminta tambahan pada Papa-nya saja. Dengan pemikiran itu Airi kembali bersemangat. Dia harus bisa mengambil hati Papa agar bisa mendapatkan tambahan uang saku hari ini. "Papa." Airi memulai rencananya. Gadis itu memasang tampang manis. "Hm?" Papa tak menoleh. Tatapannya fokus pada jalanan yang sudah lumayan macet. Airi tersenyum dalam hati. Meskipun Papa tidak menoleh setidaknya Papa menjawabnya. Airi menghembuskan napas pelan. Lega. "Airi boleh minta tambahan uang saku nggak, Pa?" Airi menatap Papa dengan tatapan memelas. "Mama cuma ngasih dua puluh ribu, Pa." Airi merogoh saku seragamnya, memperlihatkan uang pemberian Mama pada Papa. Papa melirik telapak tangan putrinya yang terbuka sekilas. Bagaimanapun dia sedang menyetir, konsentrasinya tak boleh terganggu. Tapi meskipun hanya sekilas, matanya yang jeli dapat menangkap dua lembar uang dengan nominal sepuluh ribuan di telapak tangan putrinya yang terbuka.  Papa tersenyum simpul. "Masa minta lagi sih, Ai?" tanyanya. "Dua puluh ribu kan banyak." "Yaaahhhh Papa nggak asyik." Airi lemas, lagi. Gadis mungil itu menyenderkan punggung di jok mobil. Semangatnya yang tadi menggebu hilang seketika. "Uang segini nggak cukup, Papa sayang. Sekarang kan harga pada naik ya, makanya dua puluh ribu nggak cukup apa-apa, Pa. Sekarang duit dua puluh ribu cuman cukup buat beli permen doang." Papa menggeleng pelan, senyum terpatri di bibirnya.  "Masa sih ada permen harga segitu. Mahal amat." "Ada dong, Pa! Nih ya, di luar negeri sana malah ada yang harganya jutaan!" jelas Airi semangat. Mata cokelatnya berbinar membicarakan makanan manis itu. Airi memang pencinta permen dan cokelat.  "Makanya Papa nggak mau kita liburan keluar negeri. Biayanya mahal." Papa bergidik. "Mending uangnya ditabung buat ngelanjutin pendidikan kamu." Airi terdiam. Kata-kata Papa membuatnya terharu. Sungguh, Airi belum berpikir sampai kesana. Dia baru memasuki tujuh belas tahun, masih di tahap kedua sekolah menengah atas. Bahkan penambahan usianya yang tidak dirayakan itu baru beberapa hari yang lalu. Rasanya waktunya di SMU akan masih lama. Sekitar satu setengah tahun lagi, makanya Airi belum memikirkan jenjang pendidikan selanjutnya. Dia masih menikmati masa putih abu-abu yang tidak akan terulang. Airi menggigit bibir, mata cokelatnya berkaca-kaca. Gadis itu menunduk. "Makasih, Papa," ucapnya tanpa suara.  "Lho kok anak Papa sedih gitu sih." Papa mengusap pucuk kepala putri semata wayangnya lembut. "Airi jelek kalo manyun..." "Nggak manyun kok!" Airi mengangkat kepala cepat. Dengan cepat pula mengusap sudut matanya yang berair. Dia tak ingin Papa tahu kalau dia menangis. "Airi senyum nih!" Airi tersenyum lebar, sampai-sampai kedua mata bulatnya tampak mengecil. Tawa kecil terdengar dari mulut Papa. Pria yang masih terlihat tampan diusianya yang hampir menginjak kepala empat itu merogoh dompet dari saku celananya. Mengambil beberapa lembar uang kertas berwarna biru dari dompet dan memberikannya pada Airi. "Jangan kasih tau Mama ya," pesan Papa begitu Airi menerima uangnya. Mata Airi membulat. "Banyak banget, Pa," ucapnya dengan mulut yang tidak juga terkatup. Papa kembali terkekeh. "Mingkem, Ai," canda Papa. "Masa anak cewek mulutnya mangap." Airi segera menutup mulutnya menggunakan tangan kiri. Matanya kembali berkaca-kaca. Papa emang terbaik lah! Airi memeluk Papa erat. "Makasih, Pa." Kali ini dengan suara agak keras meski serak. Papa mengangguk, mengecup pucuk kepala bersurai legam putrinya. "Udah sana." Papa mengurai pelukan. "Nanti telat." Airi mengangguk sambil kembali mengusap sudut matanya yang lagi-lagi berair. "Airi janji nggak boros!" Dan Airi keluar mobil setelah mencium punggung tangan kanan Papa. *** Sudut mata Aiden sering terarah pada gadis yang duduk beberapa bangku dari tempat duduknya. Gadis itu terlihat kurang bersemangat hari ini. Bahkan tak terdengar suara melengkingnya sesiang ini. Dan entah kenapa rasanya ada yang kurang kalau sehari saja tak terdengar ocehan dari gadis mungil itu. Airi yang pendiam bukan Airi yang dikenalnya. Dia lebih suka teriakan atau suara tawa keras gadis itu, daripada tak terdengar apapun dari mulut Airi seperti sekarang. Aiden menghembuskan napas. Kembali fokus pada Bu Hilda yang menjelaskan teori ekonomi di depan sana. Tak lama, karena beberapa menit kemudian bel pertanda istirahat kedua memekik keras. Desahan dan hembusan napas lega langsung terdengar. Bu Hilda keluar kelas setelah membereskan barang-barangnya. Tak lupa guru ekonomi itu mengingatkan mereka tentang tugas yang harus dikerjakan. Tugas itu akan dikumpulkan dua hari lagi pada saat pelajaran Bu Hilda kembali. Aiden lagi-lagi melirik Airi. Gadis itu terlihat mengangguk tanpa suara. Entah apa yang ditanyakan temannya. Yang pasti kurang bersemangatnya Airi cukup berimbas pada teman-teman sekelas mereka. Termasuk Aiden. Pemuda itu segera membereskan barang-barangnya, dia harus segera meninggalkan kelas sebelum gadis-gadis 'gila' itu ke kelas mereka. Di depan pintu Aiden menoleh, menatap Airi yang juga menatapnya. Tapi hanya sekilas, dengan cepat gadis itu mengalihkan tatapannya pada gadis yang mengajaknya bicara. Aiden segera keluar, entah kemana tujuannya sekarang. Yang pasti bukan ke kantin, karena ke kantin sama saja dengan mencari mati. *** Airi membolak-balik buku tanpa semangat. Hari ini rasanya semua yang dikerjakannya salah. Kata-kata Papa tadi pagi selalu terngiang. Ternyata orangtuanya sudah memikirkan masa depannya sedari sekarang. Sementara dia masih berpikir untuk bersenang-senang. Airi membuang napas melalui mulut kuat, gadis itu memurukkan kepala di meja perpus, diantara dua tangannya yang terlipat. "Nih buat kamu!" Perkataan dari suara baritone itu sukses membuat Airi kembali menegakkan tubuh. Matanya membulat lucu, menatap pemuda yang duduk dengan tenang di depannya. Sepasang alis Airi berkerut, bingung dengan Aiden yang tiba-tiba sudah berada di depannya, duduk di seberang kursinya. Bukankah tadi dia sendiri di meja ini? Lalu sejak kapan pemuda ini di sini? "Minum tuh!" Airi menatap kaleng softdrink yang berdiri manis di dekat buku yang dibacanya. Alis Airi makin menekuk. Apa Aiden membelikan minuman ini untuknya? "Jangan khawatir, nggak beracun kok." Bibir Airi mengerucut. Gadis itu mengambil kaleng minuman yang sekarang dia yakin pemberian Aiden. "Nggak bilang beracun kok." Airi membuka penutup kaleng hati-hati. Beberapa kali dicobanya tapi kaleng tetap tak terbuka. Membuat gemas Aiden yang memperhatikan dari tadi. "Sinikan!" pinta Aiden dengan tangan kanan terulur, meminta kaleng minuman Airi. Dengan pipi menggembung Airi memberikan kaleng itu. Membiarkan Aiden membukakan penutup kaleng untuknya. Dan hanya dengan satu gerakan, penutup kaleng terbuka. Airi memandang kagum pada kaleng minuman itu.  "Nih!" Airi mengambil kaleng dari tangan Aiden. Meringis sebelum menenggak isinya beberapa tegukan.  "Makasih," ucap Airi nyaris tak terdengar. Pipinya memerah samar. "Hn." Hanya dua konsonan itu yang keluar dari mulut Aiden. Airi menatap pemuda itu bingung. Kerutan tampak di dahi putihnya. Aiden juga sedang menatapnya dengan tatapan yang sama bingungnya. "Kenapa?" tanya Airi akhirnya. Dia tak kuat penasaran. Dan tatapan bingung Aiden yang biasanya datar membuatnya sangat penasaran. "Harusnya aku yang nanya gitu sama kamu." Airi mengerjap. Gadis itu menunjuk hidungnya. Aiden mengangguk. "Iya." "Kenapa sama aku?" Aiden menghembuskan napas sebelum menjawab. Kedua tangannya memainkan kaleng minumannya yang isinya tinggal seperempat bagian.  "Kamu kenapa diam aja?" Airi mengerjap. Diam? Dia? "Di kelas tadi." "Oh itu..." Airi kembali meneguk minumannya. "Nggak pa-pa kok." Senyum manis terbit di bibir mungil tanpa pemulas itu. "Masa?" Aiden bersender di senderan kursi. Sepasang tangannya tersimpan di d**a. Airi mengangguk lucu. Senyum gadis itu semakin lebar, membuat matanya menyipit dengan pipi gembilnya yang semakin menggembung. Sungguh, ekspresi gadis itu membuat Aiden makin gemas saja. Aiden menggeleng pelan. Berdiri, pemuda itu mengacak pucuk kepala Airi. "Tetap senyum, Ai," ucapnya sebelum meninggalkan gadis itu.  Airi tertegun. Tatapannya menyapu punggung Aiden yang semakin mengecil.  "Makasih, Ai," bisiknya. Bibir mungil itu kembali mengulas senyum. Airi melanjutkan membaca bukunya. Kali ini dengan bersemangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD