Hutan Kesunyian

2050 Words
Wanda mengangkat panggilan dari Velia, belum juga dia bersuara untuk menyapa sudah terdengar suara isak tangis. “Hiks ... hiks ... hiks.... Kamu harus bantuin aku, Wan. Aku tahu kamu nggak suka dekat-dekat sama Harlan tapi apa kamu rela dia jatuh dalam genggaman Lory yang licik itu? Pikirkan ini semua demi Harlan.” “Kamu harus tahu apa yang sudah kutemukan. Berkemaslah, kita berangkat malam ini!” perintah Wanda. “Tunggu sebentar, apa yang sedang kamu bicarakan?” Velia mengerutkan dahi mendengar perintah tanpa basa-basi, tangisnya berhenti seketika. “Aku sudah mendapatkan buku ramuan kuno. Kita harus bergegas agar tidak terlambat.” Wanda memutuskan telfon secara sepihak membuat Velia menggerutu akan sikap sok bossy milik Wanda. Wanda sendiri bergerak cepat, tanpa membuang waktu dia mulai berkemas. Dia membuka lemari untuk mencari barang-barang yang bisa menunjang perjalanan panjang mereka. Dia berlari menuju dapur, mengambil beberapa bahan makanan bahkan beberapa peralatan memasak ikut dikemasi. “Apa yang sedang anda lakukan, Nona?” Sarti menahan tangan Wanda yang hendak mengambil panci. “Eh, Bi Sarti. Wanda mau kemping nih, jadi butuh peralatan masak.” “Bilang dong, Non. Lebih baik Non Wanda memakai peralatan masak yang lebih kecil.” Sarti membuka lemari penyimpanan untuk mengeluarkan panci yang jarang dipakai, menukarnya dengan yang ada di tangan Wanda. “Butuh bantuan nggak, Non?” tanya Sarti karena melihat tumpukan di atas meja makan. “Terima kasih,” ucap Wanda saat Bi Sarti dengan sigap mengemasi keperluannya. Satu jam kemudian Wanda tersenyum puas dengan apa yang disiapkannya. Walaupun dia belum begitu jelas dengan maksud yang ada di buku ramuan kuno-tentang ramuan Hearteak itu, tapi paling tidak dia sudah mengetahui tempat yang harus dituju olehnya.  Suara pintu diketuk membuyarkan konsentrasinya. Ternyata itu Bi Sarti yang mengabarkan kedatangan Velia. Wanda meminta Bi Sarti untuk langsung mengajak Velia menuju kamarnya. “Ya ampun, Vel,” pekik Wanda saat melihat koper besar yang diseret Velia. “Hanya ini yang bisa aku bawa.” Velia cepat-cepat memberikan penjelasan sebelum Wanda makin panjang menceramahi. Dia meletakkan koper di dekat meja belajar Wanda. Wanda menutup pintu dan menguncinya, misi ini tidak boleh diketahui orang tuanya karena mereka pasti melarang tindakan berbahaya ini. Apapun akan ditempuh jika ini demi kebaikan sahabat dekatnya termasuk resiko kehilangan nyawa. “Kamu yakin mau membawa koper? Berat dan ribet,” ejek Wanda. “Nggak yakin sebenarnya, tapi gimana lagi.” Velia merebahkan diri kelelahan, dia sudah tahu kalau ujung-ujungnya bakalan dinyinyirin oleh Wanda. “Mana bawaanmu? Pasti banyak juga kan?” ejek Velia. Wanda tersenyum sinis, tangannya menjangkau ransel mungil warna coklat tua. Mereka berdua masih musuhan, walau pun sekarang terlihat bersama tapi aura persaingan masih terlihat. “Kok cuma bawa sedikit? Jangan menyusahkan aku nanti kalau butuh apa-apa.” “Jangan kuatir, semua sudah siap.” Wanda mengacungkan jempol. Velia mendesah putus asa, membayangkan harus membawa koper sebesar itu sendirian. Dia bahkan tidak tahu mau Wanda mau membawanya kemana, bagaimana medan yang akan dilalui mereka pun dia sama sekali tidak bisa menerkanya. “Lebih baik kamu berkemas lagi, masukkan barang-barangmu ke dalam ransel hitam ini.” Wanda melemparkannya hingga mendarat di muka Velia. “Mana muat?” Velia menyingkirkan ransel hingga jatuh ke lantai. Wanda mendegus saat memungutnya, tanpa permisi membuka koper Velia membuat si empunya melotot tidak suka. Wanda memasukkan barang-barang ke dalam ransel, Velia memincingkan mata lalu terlonjak bangun karena terkejut. “Kok bisa? Kenapa bisa muat?” “Mantra Penyimpan.” Wanda hampir selesai berkemas. “Seperti kantung Doraemon saja.” Velia berdecak kagum. “Jadi kita akan menuju kemana?” Velia mendekati Wanda yang sudah menyelesaikan mengemasi barang miliknya. “Hutan kesunyian. Aku bisa menggunakan portal untuk menuju ke tepi hutan tapi aku kuatir perjalanan yang kita tempuh akan memakan waktu sebulan,” desah Wanda. “Kalau itu aku punya solusinya.” Velia mengeluarkan sebuah kotak kecil seperti timer. “Ini adalah buatan kakakku, kita bisa melakukan perjalanan waktu dan kembali lagi ke waktu semula seperti saat kita berangkat.” “Kakakmu jenius,” puji Wanda dengan mata berbinar-binar dan senyum merekah. “Siapa dulu dong adiknya.” Velia tersenyum sombong. “Sayang adiknya tidak sepintar kakaknya,” ejek Wanda membuat Velia mengerucutkan bibirnya, itu adalah kenyataan yang tidak bisa dibantah. Wanda membuka portal dengan bantuan mantra penghubung, sedang Velia mengeset timer dalam waktu 5 menit. Saat semua selesai dia hanya tinggal menyalakan timer dan mereka akan kembali 5 menit setelah pergi. Terbentuk titik kecil yang lama kelamaan menjadi setinggi Wanda, lubang hitam itu berhenti membesar menandakan portal telah siap dilewati. Wanda memasuki lubang diikuti oleh Velia. ... “Gelap sekali,” cicit Velia ketakutan, tangannya terus menggenggam tangan Wanda. “Cahaya Lampu,” ucap Wanda. “Apa kita akan masuk sekarang?” Velia semakin ketakutan, sejauh mata memandang dia hanya dapat melihat kegelapan yang mencekam. Mereka bahkan tidak bisa melihat lebih jauh dari 1 meter, Velia tidak mau membayangkan apa yang ada di balik kegelapan. “Kita akan berkemah, besok pagi baru kita memasuki hutan.” Wanda mengeluarkan tenda yang terlipat rapi dari dalam ransel, mengimbaskannya ke udara diikuti oleh bisikan mantra sehingga tenda itu terbuka sempurna membuat Velia berdecak kagum. “Apa kita juga harus membuat mantra pelindung agar tidak dilihat orang seperti dalam Harry Porter?” tanya Velia dengan nada bercanda. “Aku rasa itu sangat diperlukan tapi masalahnya aku tidak tahu mantra untuk itu.” Ucapan Wanda membuat Velia tertawa terbahak-bahak, “Aku kira kamu jenius seperti Hermione tapi ternyata tidak sejenius itu.” Wanda memutar mata, kesal dengan ejekan Velia. Wanda memang pintar tapi dia selalu kesusahan membuat pelindung, apa pun bentuknya. Velia mendecih untuk mengejek Wanda. “Kalau begitu biar aku yang melakukannya.” Velia menghalau Wanda ke belakangnya. “Kubus pelindung.” Velia menggerakkan tongkat sihirnya membentuk persegi lalu melemparkan cahaya yang muncul menuju ke atas, terbentuklah kubus transparan yang membungkus mereka beserta tenda. Mereka berdua memasuki tenda, dalamnya terasa lapang seperti berada di rumah kecil yang nyaman. Kamar mandi, wastafel bahkan perlengkapan memasak juga tersedia di situ. Wanda benar-benar mempersiapkan segala sesuatu dengan cermat membuat Velia mulai terbiasa dengan kondisi ini. Wanda merebahkan tubuhnya, menggunakan kedua tangan untuk sebagai pengganti bantal. Kakinya berayun-ayun karena dia hanya menyandarkan sebagian tubuh di atas tempat tidur. “Apa yang kamu pikirkan?” “Aku memikirkan petunjuk untuk mendapatkan benda pertama dalam ramuan Hearteak.” Wanda memperbaiki tidurnya, sekarang seluruh badannya berada di tempat tidur. Mata terpejam, mulut menggumam pelan membuat Velia tidur miring menghadapnya. “Benda apa itu?” “Mata kesabaran, itu adalah sehelai bulu merak bermata keunguan,” kata Wanda. “Kenapa bisa disebut mata kesabaran?” “Entahlah, itu tertulis di lembaran pertama. Di hutan kesunyian temukan mata kesabaran. Sunyi sepi mengiringi langkahmu. Pandanglah keujung mata berkilauan. Tangan menjangkau menghalau tubuhmu mendekati merak berpendar keunguan. Ambil sehelai bulunya untuk ramuan pertama.” Wanda mengatakan petunjuk tentang mata kesabaran.” “Hoam ... sebaiknya kita tidur dulu malam ini,” ujar Velia. “Heem,” gumam Wanda sebelum terlelap. ... Pagi harinya setelah membereskan tenda, mereka berdua berdiri menatap kedalaman hutan. Hutan itu terasa janggal buat mereka, Velia menggandeng lengan Wanda. “Ternyata kamu selain ceroboh juga pengecut,” ejek Wanda. “Aku bukan pengecut, hanya saja hutan ini membuatku merinding,” ujar Velia membela diri, dia malah makin mengeratkan pegangan. “Apa kamu tidak pernah mendengar cerita tentang hutan kesunyian? Ini adalah salah satu tempat terangker di negeri Gimozelona. Aku tidak pernah memimpikan untuk memasukinya,” ujar Velia. Wanda mendecih pelan, sekali lagi menatap ke dalam hutan sebelum melangkahkan kaki memasukinya. Denyut jantungnya terasa lebih cepat, keringat mulai muncul membasahi dahi. Benar kata Velia, suasana ini membuat merinding karena terlalu sunyi. Cewek itu bersikap seolah-olah berani agar tidak diejek balik, lagipula kalau bukan dia siapa yang akan bersikap berani untuk melangkah. “Bilang saja kalau kamu memang penakut!” cemooh Wanda sekali lagi saat tubuh Velia semakin menempel padanya. Velia melayangkan pandang menatap langit tapi pandangannya terhalang dedaunan, hanya sedikit sinar matahari yang bisa menembus dedaunana yang lebat. Pohon-pohonnya tinggi menjulang tapi tak tampak seekor burung yang terbang melintas, bahkan deretan semut yang berbaris rapi juga tidak tampak. Velia menarik pelan lengan Wanda hingga cewek itu menoleh. “Tidak terlihat ada hewan di sini, ini terlalu sunyi,” bisik Velia, takut-takut. “Benar ini terlalu aneh.” Suasana hutan mendadak bising, Wanda dan Velia mengedarkan pandangan dengan ngeri karena pepohonan yang bergerak seolah-olah hendak mengejar mereka. Velia merapatkan tubuh sedekat mungkin dengan Wanda. “Awas di belakangmu!” pekik Velia. Wanda mengayunkan tongkat sihirnya, mengucapkan mantra untuk membekukan sulur yang menjulur ke arahnya. Velia mengubah tongkat sihir menjadi pedang untuk menebas sulur-sulur yang meliuk-liuk entah dari mana datangnya. “Ini terlalu banyak,” teriak Wanda yang terpisah dari Velia. Beberapa kali dia terpaksa berkelit dan bersalto kebelakang, dia tidak sadar sudah berada di luar hutan. Sulur yang tadi mengejarnya tiba-tiba berhenti sejenak lalu berubah arah mulai berbelok mengejar Velia. “Tolong aku, Wan. Sulur ini menggila,” teriak Velia sambil mengayunkan pedang kesegala arah. “Velia,mundur!” Wanda berteriak sekencang mungkin untuk memperingatkan Velia. Cewek itu mulai menyadari sesuatu. Wanda mengirimkan mantra pembeku agar Velia terlepas dari sulur yang membelit tangan kanannya. Velia mulai berjalan mundur sambil mengayunkan pedang untuk membebaskannya dari sulur yang mengejarnya. Wanda membantu dari kejauhan saat sudah mendekati tepi hutan Velia sudah semakin kepayahan hingga jatuh terduduk. Wanda berlari mendekatinya untuk menarik keluar hutan. “Aku rasa kita aman di sini,” ujar Velia saat melihat sulur-sulur yang tadinya mengejar sekarang beringsut menghilang. Wanda terpaku menatap tempat menghilang sulur, “Aku rasa mereka tidak berani melintasi batas hutan. Bagaimana cara kita masuk?” “Itu sungguh mengerikan. Bagaimana ini? Kita pasti celaka kalau masuk.” Velia mulai gemetaran lagi. “Tarik napas, keluarkan. Kita harus tenang menghadapinya.” “Itu tadi apa, Wan?” tanya Velia saat sudah tenang,dia memang gampang panik. “Tanaman pemakan daging, itu tadi sulurnya.” “Maksudmu, kita akan dimakan kalau tertangkap? Sulur itu bertugas menarik menuju tanaman induk?” Velia bergidik ngeri membayangkan ucapannya. “Tepat sekali, Vel.” “Pasti ada petunjuk di buku itu,” cetus Velia. “Benar, mengapa aku tidak memikirkannya?” Wanda mulai berpikir, tangannya mengetuk-ngetuk dagu. “Di hutan kesunyian temukan mata kesabaran. Sunyi sepi mengiringi langkahmu. Pandanglah keujung mata berkilauan. Tangan menjangkau menghalau tubuhmu mendekati merak berpendar keunguan. Ambil sehelai bulunya untuk ramuan pertama.” Kembali Wanda mengucapkan petunjuk, beberapa kali dia mengulang dan mengatakan kemungkinan arti dari kata-kata itu. Wanda masih belum bisa mengartikannya, semua terasa sulit dalam kondisi panik seperti ini. “Bagaimana kalau kita berlari kencang menerobosnya? Aku bahkan tidak yakin ada merak yang tinggal di dalam sana. Hutan terasa sunyi, tidak ada satupun hewan melintas saat kita masuk.” Velia duduk di atas batu besar sambil memandang Wanda yang mondar mandir sambil bergumam tidak jelas. “Sunyi, kosong. Mengapa tidak ada hewan?” tutur Wanda heran, menggelengkan kepala untuk mengusir beberapa kemungkinan yang melintas di kepalanya. “Sunyi sepi mengiringi langkahmu. Apa mungkin kita harus berjalan tanpa suara? Benar-benar sunyi?” “Cerdas sekali. Ayo kita coba,” kata Velia sambil melompat bangun. Tubuhnya meliuk-liuk seperti sedang melakukan pemanasan sebelum senam. “Baiklah mari kita coba,” ajak Wanda setengah tidak yakin. Ragu-ragu Wanda menginjakkan kaki memasuki batas hutan, Velia menarik tangan Wanda agar bergerak lebih cepat. Wanda mengelap keringat yang kembali muncul, hatinya tidak tenang karena cemas. Beberapa meter mereka berjalan dan tidak ada sulur yang menghambat langkah mereka membuat mereka sedikit tenang tapi tetap waspada. “Aku tahu maksud dari tangan menjangkau menghalau tubuhmu,” kata Wanda melalui telepati. “Apa itu sulur tanaman?” tanya Velia membalas telepati Wanda. Mereka bercakap-cakap melalui telepati agar tidak menimbulkan suara. “Betul, tapi kita masih belum bisa tenang. Kita tidak tahu ancaman apa yang akan menghadang nanti. Lebih baik kita tetap waspada,” kata Wanda memperingatkan, dia sudah mengubah tongkat sihir menjadi pedang yang diposisikan di depan d**a. Velia ikut menggegam pedang dengan kedua tangan, matanya mengawasi sekeliling. “Wah indahnya.” Mulut Velia membuka melihat pemandangan di depannya. “Velia, fokus!” “Kita tinggal mencabut sehelai bulunya dan semua beres, ini mudah.” Velia mengendap-endap mendekati gerombolan merak. “Lihatlah bulunya, kita hanya akan mencabut yang ujung bulu bergambar mata berwarna keunguan.” Wanda berpencar ke sisi satunya, memperhatikan bulu-bulu merak yang mengembang seperti kipas. “Lihat yang paling tengah, bulu-bulunya berwarna ungu.” Velia memberitahu Wanda tapi Wanda menggeleng. “Lihat kanannya, ujung bulunya bergambar mata berwarna ungu dan itu berpendar.” Kembali Velia memberi tanda. Wanda mengangguk mengiyakan, dia berusaha menghalau merak yang lain sementara Velia mendekati merak bermata ungu. Velia melompat menerjang merak, berguling sambil memeluk erat buruannya. Ada yang menyambar merak yang ada dalam dekapan Velia, sekelebat terlihat bayangan orang memakai jubah berwarna merah sedang menenteng merak berbulu ungu. “Vel, kejar.” Wanda mengingatkan Velia yang masih terbengong karena kaget. Velia bangkit mengejar pencuri merak, dia mengulurkan tongkat sihir dan mengucap mantra hingga muncullah cemeti. Velia melecutkan cemeti itu dengan sasaran kaki pencuri bertudung merah. Beberapa kali dia mencoba tapi selalu gagal, gerakan laki-laki itu terlalu lincah membuatnya tahu kalau yang ada dibalik tudung itu adalah sesosok laki-laki walaupun belum melihat wajahnya. Wanda membuat tembok es untuk menghadang lari orang itu dan berhasil karena laki-laki itu terpental setelah menabrak tembok es. Laki-laki itu tidak menyangka kalau ada serangan mendadak yang muncul di depan, matanya terus menatap Velia yang dari tadi mengejar. Dia lupa kalau cewek itu tidak sendirian, dia lengah hingga mudah dikalahkan. Wanda dan Velia berlari mengejar merak yang terlepas dari dekapan pencuri itu, sama sekali tidak menaruh perhatian pada sosok yang masih terbaring tak bergerak. Merak itu bergerak lincah melompati pria yang mencoba untuk duduk, tangan pria itu mencoba menggapai namun hanya menangkap angin. Dia juga ikut bangkit mengejar merak. Akibat terlalu fokus memperhatikan lari merak, laki-laki itu hampir bertabrakan dengan Velia. “Ah, sakit,” ucap Velia saat dirinya tersandung akar tanaman. Dia tidak menyadari bahaya apa yang tengah mengintainya.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD