Harvest

1309 Words
  “Jangan bicara sembarangan, dia seorang cewek. Aku sudah lama mengenalnya,” sembur Wanda emosi karena termakan omongan Qee. “Tolong beritahu kami, dimana sarangnya?” Xonxo memegang bahu Qee untuk menumpu berat tubuhnya. “Kami tidak tahu pasti dimana sarangnya, tapi kabut menghilang ke arah barat menuju puncak gunung.” Pemilik penginapan menunjuk gunung yang ada di ujung desa. “Lebih baik kita bergegas.” Xonxo hendak lari menuju ke luar desa, tapi Qee mencekal untuk menghentikan dia. “Kami harus cepat-cepat pergi.” Xonxo menepis tangan Qee, tapi malah jatuh tersungkur karena kehabisan tenaga hingga harus dipapah oleh dua orang pemuda desa. “Pulihkan tenaga dulu agar kalian mampu menghadapi Harvest.” Qee menuntun Xonxo memasuki penginapan. Wanda dipapah oleh dua orang pelayan wanita, mereka membawanya ke ruang makan. Beberapa pelayan menyiapkan makanan dan beberapa lagi mengambil obat untuk menyembuhkan luka yang ditimbulkan akibat saling berkelahi. “Kami harus bergegas,” tolak Xonxo saat pelayan menyuruh untuk makan. “Kalian harus memakai strategi, jangan hanya mengandalkan emosi,” tegur Qee. “Qee benar, kita harus memikirkan strategi. Ceritakan mengenai Harvest,” pinta Wanda. “Harvest mulai muncul sekitar tiga tahun yang lalu, kami tidak tahu dari mana datangnya. Suatu malam saat kami sedang terlelap, datanglah kabut tebal menyelimuti desa dan udara menjadi sangat dingin. Kami mendengar kegaduhan dari luar rumah yang paling dekat dengan pintu masuk desa. Beberapa dari kami keluar dan dalam remang-remang kami melihat musuh atau orang yang kami benci berdiri mengelilingi siap untuk menyerang. Tanpa pikir panjang kami saling menyerang hingga fajar menyingsing.” Pemilik penginapan mulai bercerita. “Saat itulah kami melihat bahwa yang kami serang tak lain adalah tetangga dan juga sahabat kami, ditengah kebingungan kami mendengar teriakan Bu Gladis karena tidak bisa menemukan putra semata wayangnya yang saat itu sudah berumur tujuh belas tahun. Sebulan setelah anak Bu Gladis menghilang tiba-tiba muncul seorang kakek yang terlihat sudah berumur 70 tahun mengaku sebagai anak Bu Gladis. Harvest sengaja melepasnya agar dia dapat menyampaikan pesan pada penduduk desa tentang Harvest yang meminta tumbal seorang cowok setiap  bulan purnama. Kalau tidak dipenuhi maka Harvest akan mengambil seluruh anak laki-laki yang ada di desa.” Qee menyambung ucapan pemilik Jasmine. “Ketua desa pergi mengunjungi penyihir yang paling di segani untuk meminta petunjuk, beliau memberi kami mantra untuk mengunci pintu hingga Harvest tidak bisa seenaknya masuk untuk mengambil anak kami. Kami sendiri juga tidak tahu mantra untuk membukanya jadi setiap malam menjelang kami berdiam diri di rumah agar tidak terkunci di luar dan menjadi sasaran Harvest. Semenjak saat itu kami aman, kecuali kalau ada pengunjung yang tidak mau menuruti perintah kami seperti kalian.” Pemilik penginapan melirik Wanda dan Xonxo seolah menyalahkan ketidak patuhan mereka. “Ini aneh, aku yakin sudahmengantar mereka masuk kamar kemudian mengunci pintu kamar mereka. Bagaimana bisa mereka keluar?” ujar Qee karena merasa sudah melakukan tugasnya. “Aku rasa Velia yang sudah membuka pintu itu karena saat aku terbangun, pintu dalam keadaan terbuka dan Velia menghilang. Karena panik aku melacak mantra yang digunakan untuk membuka pintu kamarku dan menggunakan mantra itu untuk membuka kamar Xonxo.” “Lalu Wanda bertanya pada hantu yang melintas dan mendapatkan petunjuk kalau Velia susah keluar dari penginapan maka kami menyusul Velia. Saat mengikuti Wanda, aku melihat musuh keluarga sedang mengacungkan tongkat sihir,” ujar Xonxo. “Dan kami saling serang tanpa sadar kalau yang kami hadapi adalah teman,” tambah Wanda. “Dengan kondisi kalian yang seperti ini, rasanya mustahil kalau mendaki gunung dan bertarung dengan Harvest. Kalian hanya penyihir remaja yang sedang terluka. Sebaiknya kalian mengikhlaskan teman kalian kemudian memulihkan diri.” “Kami akan tetap mengejar Harvest untuk menyelamatkan Velia,” tutur Wanda yang mengeluarkan obat pemulih yang sekarang selalu berada di dalam saku bajunya. Di tempat lain,Velia membuka mata saat seberkas cahaya matahari mengenai mata kemudian menatap langit-langit dengan heran. Hal terakhir yang diingatnya adalah sedang tidur di penginapan tapi yang dilihat sekarang adalah sebuah sel tahanan. Dia merasakan kalau dinding sel lembab dan dingin dengan pencahayaan yang minim seperti berada di dalam gua. “Halo, apa ada orang di situ?” Velia berteriak di dekat jeruji sel dan terus menerus melakukan hal itu berulang kali namun jawaban yang di dengar adalah gema dari suaranya sendiri. Akhirnya Velia duduk di sudut ruangan dan mulai merasa lapar dan haus setelah berteriak-teriak. Beberapa saat kemudian, dia kedatangan tamu wanita cantik yang lemah gemulai membawa nampan berisi semangkuk bubur dan segelas air putih. Wajah wanita itu menyiratkan kemarahan dan kekejaman, sungguh tidak sesuai dengan penampilannya yang anggun dan cantik. “Jangan berisik! Ini makananmu.” Wanita itu setengah membanting nampan yang dimasukkan melalui lubang kecil di bawah pintu sel. “Tunggu, ini tempat apa? Bagaimana aku bisa di sini?” Velia menangkap tangan wanita itu dari balik jeruji. Wanita itu tersenyum sinis kemudian menepis tangan Velia, “Sebentar lagi kamu juga akan tahu.” Velia melirik bubur dengan tidak bersemangat, tapi perutnya terasa melilit hingga akhirnya ditariknya nampan itu kemudian mengendus bubur yang berwarna hijau kental. “Baunya sungguh busuk. Ini sebenarnya terbuat dari apa?” Velia mendorong nampan menjauh dan berharap mendapat makanan yang lebih layak untuk dimakan. Beberapa saat kemudian Velia akhirnya tertidur setelah lelah menunggu kalau-kalau ada yang datang lagi. Entah berapa lama sudah tertidur, dia terbangun karena mendengar suara beberapa wanita di dekatnya. Suara itu lirih karena berasal dari ruangan yang berbeda tapi terdengar lebih jelas saat Velia menempatkan telinga diantara jeruji sel. “Untuk apa kita menangkap cewek ini? Kita hanya bisa merasukinya tanpa mendapatkan jiwa.” “Tentu saja cewek ini berguna, aku akan merasukinya dan kembali ke penginapan, orang-orang pasti tidak akan curiga. Lalu aku akan mengajak seorang pemuda keluar dan kita bisa menangkap pemuda itu untuk diambil jiwanya. Aku akan menghirup jiwanya dalam-dalam hingga tak bersisa. Senangnya bisa makan lagi setelah sekian lama kita berpuasa. Ini semua gara-gara penyihir tua yang memantrai pintu rumah para penduduk. Kalau tidak ada dia, kita pasti mendapatkan jiwa setiap bulan purnama,” ujar pemimpin Harvest dengan nada marah. “Kita beruntung sekali karena menemukan cewek ini sedang berjalan sambil tidur, tapi dia cerdas juga karena bisa membuka mantra pengunci.” Salah seorang Harvest menertawakan kecerobohan Velia. Velia memukul kepala dengan pelan, dia pasti kembali berjalan sambil tidur karena sudah merasa nyaman beristirahat di penginapan. Kalau di rumah dia hanya akan berjalan berputar-putar kamar sampai lelah karena ayahnya memberikan mantra pelindung yang kuat. Tunggu dulu, kalau mantra pelindung bisa ditembus olehnya itu berarti pintu hanya dimantrai oleh mantra sederhana dan kalau Harvest merasukinya pasti mereka akan lebih mudah membawa pergi pemuda desa. “Kita hanya harus bersabar menunggu saat malam tiba, lebih baik kita tidur lagi agar tubuh kita lebih kuat nanti malam,” saran pemimpin Harvest. Setelah mendapatkan informasi yang cukup tentang siluman rubah, Wanda dan Xonxo mulai mendaki gunung agar bisa sampai tempat tujuan sebelum malam menjelang. Jangan sampai Velia celaka karena Harvest apalagi mereka tidak tahu tujuan rubah-rubah Harvest yang sebenarnya. “Kapan temanmu itu berhenti bersikap ceroboh dan membahayakan dirinya sendiri?” Xonxo bersungut-sungut. “Kamu kuatir ya?” tanya Wanda. “Tentu saja, dia salah satu dari kita jadi kita harus saling menjaga satu sama lain.” “Apa kamu mencintainya?” tanya Wanda. “Cinta? Omong kosong apa ini?” elak Xonxo. “Jawab saja dengan jujur,” pinta Wanda. “Aku hanya menganggapnya sebagai teman, sama sepertimu. Lihat kita sudah hampir sampai di puncak, aku lihat ada gua di sebelah kirimu.” Xonxo berusaha mengalihkan perhatian. Mereka berjalan mengendap-endap mendekati mulut gua, tidak terlihat ada aktifitas ataupun penjaga membuat mereka meragukan kalau gua itu adalah sarang rubah. Menurut perkataan ketua desa, rubah itu menyukai gua yang dekat dengan aliran sungai dan ditumbuhi banyak ilalang. “Velia, Vel.” Wanda mencoba bertelepati, semoga saja kali ini dia mendapatkan balasan. “Wanda, tolong aku. Aku dikurung dalam gua oleh beberapa wanita cantik.” “Tenangkan dirimu, aku dan Xonxo akan menolongmu. Bagaimana cara agar kami tahu lokasimu?” “Aku juga tidak tahu, aku dibawa kesini saat sedang berjalan dalam tidur.” “Pantas saja kamu bisa keluar, pasti pikiran bawah sadarmu yang menemukan cara membuka pintu. Mengingat kamu selalu tidur dalam kamar yang diberi mantra pelindung. Tenda kita waktu itu juga kamu mantrai agar tidak ada orang yang bisa memasuki sekaligus keluar dari dalamnya.” “Aku terkejut kamu baru menyadari hal itu sekarang, musuh macam apa yang tidak tahu kelemahan fatal lawannya. Cepat bebaskan aku dari sini. Para wanita akan merasukiku sebagai umpan saat malam menjelang untuk memikat pemuda di desa agar mereka bisa mengambil jiwanya.” “Xon, kita harus bergegas. Malam hampir tiba, Velia ada di dalam gua ini.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD