11. Mengalah Tapi Bahagia

1714 Words
Mengalah, itulah yang ibu Daryati minta kepada Arsy. Arsy diminta untuk diam atau malah pergi jika memang Arsy tidak tahan ketika Daven sedang emosi. Kenyataan yang membuat Arsy menyadari, tak ada yang bisa mengalahkan kekentalan darah. Sebab sebaik apa pun ibu Daryati kepadanya, seberapa pun keras wanita itu mencoba mengubah Daven untuk seadil mungkin kepada Arsy, pada kenyataannya, Daven merupakan anak ibu Daryati yang tentu saja akan tetap menjadi prioritas. Bukankah semuanya juga sudah terlihat semenjak Daven nekat menikahi Livy setelah pria itu menyelesaikan ijab kabulnya dan Arsy? Bahkan baru saja, Arsy juga kembali membuktikannya. Daven dan Livy pamit pada ibu Daryati. Keduanya akan bulan madu ke Bali, tetapi ibu Daryati yang tahu Arsy tidak diajak, menyarankan agar Daven dan Arsy mengatakan kepergian keduanya untuk urusan kerja. Tak bisa Arsy pungkiri, rasa nyeri tetap menikam ulu hatinya hanya karena kenyataan kini. Entah untuk alasan apa, yang jelas rasanya teramat campur aduk dan benar-benar sakit, selain Arsy yang telanjur kecewa. Semua rasa itu sungguh terasa kuat, Arsy yang tak tahan, memilih undur dari depan kamar ibu Daryati sambil membawa nampan berisi sarapan untuk ibu Daryati yang sampai kini masih terbaring lemah di tempat tidur. Arsy membawanya ke dapur tanpa mengizinkan air matanya berlinang karena baginya, air matanya terlalu berharga untuk Daven sekeluarga. Malah, Arsy merasa sangat bersyukur karena dirinya tak sampai diajak bulan madu ke Bali. Iya, aku merasa bersyukur banget. Alhamdullilah, batin Arsy berusaha bersikap baik-baik saja. Arsy mengumpulkan segenap tenaganya karena berpura-pura baik-baik saja apalagi bahagia tak hanya menguras emosi, tetapi juga sangat menguras tenaga. “Wah, Livy pergi, nanti enggak ada lagi yang masih pagi sudah bikin rumah bersih dan rapi. Bakalan ada yang kurang kalau gini caranya,” ucap pak Teguh kala di meja makan di acara sarapan mereka. Daven dan Livy pamit kepada mereka di acara sarapan bersama yang tengah mereka jalani. Dari semuanya termasuk ibu Daryati yang kini ikut serta, hanya Daven yang diam padahal istri kesayangannya tengah dipuji-puji. Lihatlah, betapa bahagianya Livy yang sampai detik ini masih menjadi tukang sabotase pekerjaan Arsy. “Sy, hari ini kamu puasa?” tanya ibu Daryati karena Arsy yang duduk di sebelahnya, hanya diam sesaat setelah menantunya itu menyiapkan sekaligus menyajikan sarapan untuknya. Arsy segera menoleh dan menatap ibu Daryati sambil mengulas senyum, kemudian mengangguk. “Iya, Bu. Alhamdullilah.” Aku rasa semenjak tinggal di sini, aku enggak pernah lihat dia makan atau sekadar minum, batin Daven yang diam-diam memperhatikan Arsy melalui lirikan. Di meja makan berbentuk persegi panjang tersebut, pak Teguh yang memimpin jalannya sarapan memang duduk di posisi meja paling ujung. Sementara ibu Daryati dan Arsy duduk di sebelah kanan berhadapan dengan Livy dan Daven. Daven duduk tepat berhadapan dengan Arsy hingga ia bisa mengamati gadis berhijab itu dengan leluasa. Sepanjang kebersamaan, Arsy tak hanya diam, tetapi juga menunduk dan seolah sengaja menghindari tatapan Daven. Tanpa Daven sadari, ulahnya yang masih memperhatikan Arsy justru kepergok Livy. Senyum yang sedari awal mengembang di wajah cantik Livy seketika surut digantikan dengan raut kesedihan. Belum pernah Livy melihat Daven menatap wanita lain selain dirinya, dengan tatapan dalam layaknya apa yang tengah Daven lakukan pada Arsy sekarang. Bahkan, roti bakar dan juga cokelat panas selaku menu sarapan Daven, seolah belum disentuh karena memang masih utuh. Kenyataan tersebut membuat Livy makin yakin, dari tadi Daven terlalu sibuk memandangi Arsy karena ia saja sudah hampir menghabiskan sarapan miliknya. “Uhuk!” pak Teguh terbatuk-batuk. Apa yang menimpa pak Teguh langsung mengusik kebersamaan. Pak Teguh batuk parah. Livy yang duduk di sebelahnya dan memang jauh lebih sehat dari ibu Daryati sekalipun keduanya sama-sama duduk di sebelah pak Teguh, segera mengambil segelas air minum untuk pak Teguh. Sebagai menantu dan selalu ingin menjadi yang terbaik, Livy sampai membantu pak Teguh minum. “Kok hari ini supnya rasanya aneh banget, Vy? Pedasnya menyentak banget,” ucap pak Teguh yang langsung terengah-engah. Livy kebingungan dan tak kuasa menjawab seiring tatapannya yang refleks melirik bahkan menatap Arsy. Arsy sengaja balas dendam apa bagaimana? Pikirnya. “Memangnya sup hari ini, kenapa?” ibu Daryati yang penasaran, juga langsung mencoba sup miliknya. Benar saja, kejadian yang sang suami alami, juga langsung ia alami. Ia terbatuk-batuk karena tak tahan dengan rasa sup. Sup hari ini terasa sangat pedas. Perpaduan semua rasa pedas dari jahe, lada, dan juga cabai bersatu di sana hingga rasa pedasnya benar-benar menyentak. “Kamu yakin sudah cicipi rasanya, Vy?” ucap ibu Daryati masih kepedasan dan juga masih kerap batuk-batuk. “T-terakhir sebelum aku tinggal sih enak, Mah!” balas Livy yang jujur saja merasa tersudut. Bahkan, ia mulai merasa takut. Ingin jujur jika itu bukan masakannya, ia juga tak mungkin melakukannya karena hasilnya pasti lebih fatal. Jadi, memang tidak ada pilihan lain selain melampiaskan kesalahan kepada orang lain agar dirinya tetap berada di posisi aman. Acara sarapan pagi ini mendadak kacau akibat sup iga sapi yang rasanya benar-benar pedas. Bumbu pedas seolah tengah reuni di dalamnya, hingga hanya penyuka pedas level dewa saja yang bisa mengonsumsinya. Daven yang tahu sup dan semua masakan yang Livy akui merupakan masakan Arsy, langsung mendengkus kesal. Ia kembali menatap Arsy dengan tatapan penuh kebencian. Si Daven kenapa? Dia seolah tahu, aku yang membuat kehebohan ini, pikir Arsy yang juga langsung tercengang karena Livy menuduhnya telah menaruh bumbu aneh di supnya. “Tadi kamu yang bilang supnya masih kurang rasa, dan kamu mau kasih garam sama bumbu lain, kan?” tuding Livy. “Kapan aku bilang begitu? Perasaan dari tadi aku sibuk urus taman depan karena beberapa pohon memang ditebang oleh warga demi menghindari kejadian yang tidak diinginkan akibat musim hujan.” Arsy menatap heran Livy. Livy makin tersudut karena dari tadi pagi, Arsy memang sibuk di taman bersama pak Teguh dan juga warga. “Sudah ... sudah. Sy, tolong bikinkan sayur bening buat Papah sama Mamah. Soalnya tenggorokan Mamah langsung sakit,” tegur ibu Daryati. Tanpa pikir panjang apalagi menolak, Arsy langsung pergi dan menjalankan perintah ibu Daryati. Kepergian Arsy juga disusul oleh pak Teguh. “Papah mau bikin liang teh, Sy karena sepertinya Papah langsung radang tenggorokan,” ucap pak Teguh yang bernapas saja masih sesak. Arsy yang baru saja mengeluarkan satu ikat bayam dan satu jagung manis, langsung mengambil alih. “Ajari bikinnya biar aku bisa, Pah. Ini semacam teh herbal gitu, ya? Aromanya mirip minuman kaleng yang suka dibeli bapak pas bapak radang tenggorokan,” ucap Arsy. Gini loh, Sy. Andai kamu pengin bisa masak dan semua pekerjaanku yang kamu akui dengan sangat bangga, ya belajar. Bukan malah sibuk menyabotase, langsung kacau kan hanya karena aku aduk-aduk rasa supnya! Batin Arsy. “Sy, supnya ini dibuang saja, ya. Takutnya kalau tetap dimakan, bukannya sehat malah sakit!” sergah ibu Daryati yang detik itu juga memilih pergi ke kamar tanpa sedikit pun melirik Livy. Membuat meja makan hanya dihuni oleh Livy dan Daven. “Iya, Mah!” Dari dapur, Arsy berseru. Mendengar itu, Livy dan Daven refleks saling lirik. “Bikin liang tehnya dulu, Sy. Sayurnya nanti saja. Ini, di tenggorokan Papah berasa ada reuni rasa pedas dadakan. Muter-muter gitu, di sini.” Baru saja, itu suara pak Teguh. Livy merasa tertampar dan tak lagi berani melirik apalagi menatap sang suami yang masih bertahan duduk. Hanya saja, kini Daven duduk dengan gusar dan tampak sangat tidak nyaman. “Bahkan sampai sekarang aku masih sulit percaya, bahwa kamu pinter masak. Kamu bisa melakukan semua pekerjaan rumah, padahal di rumah kamu, kamu selalu terima beres,” ucap Daven tanpa sedikit pun melirik Livy. Ia fokus menghabiskan roti bakar dan juga secangkir cokelat panas yang kini sudah dingin. “Roti bakar dan cokelatnya enak banget. Mirip yang ada di restoran mahal!” ucapnya sengaja memuji. Arsy pinter juga, ya, batinnya. Menelan ludah kemudian menghela napas pelan, Arsy memilih duduk di sebelah Daven. “Ke depannya, aku akan lebih belajar lagi.” “Iya. Belajar. Namun andai memang enggak bisa, aku juga enggak memaksa karena dari awal pun, alasanku mencintai kamu bukan karena kamu jago masak,” ucap Daven yang kemudian memberikan senyum hangatnya kepada Livy. Livy tersenyum ciut kemudian mencoba bersikap setenang mungkin karena biar bagaimanapun, ucapan Daven barusan membuatnya merasa seperti dikukiti. Ia menghabiskan roti bakar berselai kacangnya kemudian meminum cokelat di cangkirnya. Seperti yang Daven katakan, semua itu terasa sangat lezat bak sajian di restoran mahal. Tentu saja semua itu buatan Arsy yang juga kasih ia akui sebagai buatannya. Pergilah, ... tanpa kalian, aku pasti akan jauh lebih bahagia, batin Arsy yang refleks tersenyum kala melepas kepergian Daven dan Livy. Ia melepas kedua sejoli tersebut bersama pak Teguh hingga depan gerbang. Ibu Daryati tak ikut serta karena masih istirahat di kamar. “Oh iya, kamu sudah dapat kerjaan?” tanya Livy sengaja memastikan. Arsy mengulas senyum sambil menggeleng. “Belum. Hari ini mau coba cari lagi, Mbak.” “Oh, ... semangat, ya! Memangnya kamu ingin kerja di tempat seperti apa, nanti aku coba bantu carikan buat kamu?” tanya Livy berusaha memberikan perhatiannya. “Ya sudah kalian hati-hati. Sy, masuk. Hujan, nanti kamu sakit tiap hari hujan-hujanan!” seru pak Teguh yang telah lebih dulu masuk sambil menggunakan kedua tangannya untuk menutupi kepala sebagai pengganti payung. Setelah sempat kebingungan karena Livy dan Daven masih di depan pintu, Arsy berkata, “Hati-hati. Selamat bersenang-senang!” Segera ia berlari menyusul kepergian pak Teguh yang sudah masuk. Selamat bersenang-senang? Dia tahu jika kami akan bersenang-senang? Batin Daven. Daven segera berlari ke pintu keberadaan kemudi, layaknya Livy yang sudah langsung duduk di kemudi. Dari teras, melalui ekor lirikannya, Arsy menyaksikan semua itu. Sekalipun keberadaan Yama yang kali ini berlindung di bawah payung hitam, jauh lebih mengusik Arsy ketimbang madu dan suaminya yang akan berbulan madu tapi berdusta untuk urusan kerja. Di depan rumah sebelah dan memang rumah Yama, pria itu memandanginya. Pemandangan berbeda dan tampak mencolok, terlihat dari gaya rambut Yama. Pria itu sungguh memangkas rapi rambutnya seperti nasihat yang Arsy berikan kemarin ketika Yama mengikutinya ke mana pun Arsy pergi selama Arsy mencari pekerjaan di luar dan sampai sekarang belum mendapatkan hasil. “Nah, gitu, Mas. Kamu jadi enggak kelihatan serem. Yang ada kamu jadi kelihatan ganteng! Semangat buat sembuh, ya! Jangan terpuruk terus karena kamu wajib bangkit biar almarhum istri Mas juga enggak sedih di akhirat sana!” lirih Arsy yang sampai menunjukkan dua jempol tangannya pada Yama. Di bawah sana, Yama langsung tersenyum cerah di tengah hujan angin yang masih berlangsung.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD