13 : Bayang-Bayang Arsy yang Menghantui Daven

1815 Words
“Apa yang mas Yama lakukan sekarang membuktikan, dalamnya cintanya kepada sang istri mengalahkan dalamnya sebuah samudra. Dia rela mengangkat mesin jahit yang aku pastikan berat, bahkan sangat berat, seorang diri di bawah guyuran rintik hujan yang sampai dihiasi angin cukup kencang. Dia melakukan itu karena dia yakin, aku istrinya dan wajib ia pastikan dalam keadaan bahagia sekaligus keadaan paling nyaman.” “Jika seseorang bahkan mungkin juga dengan hewan selalu memiliki cara dalam mencintai sekaligus mengungkapkannya, daripada yang mas Daven lakukan kepada mbak Livy, dan itu dengan menarikku ke dalam hubungan mereka karena aku telah mau dijodohkan dengan mas Daven, tentu saja apa yang mas Yama lakukan jauh lebih tulus. Iya, mas Yama begitu tulus dalam mencintai istrinya ketimbang apa yang mas Daven lakukan kepada mbak Livy.” “Mungkin mas Daven berpikir, membuatku ada dalam kehidupannya dan mbak Livy, ibarat bukti nyata kebenciannya kepadaku karena dia bisa menyiksaku dengan leluasa dan langsung disaksikan oleh mbak Livy. Padahal, adanya aku di hubungan mereka dan aku diwajibkan untuk selalu bersama mereka, sudah sangat melukai mbak Livy. Mbak Livy bahkan menjadi menghalalkan segala cara hanya untuk menjadi yang utama sekaligus segalanya.” “Keadaan ini membuatku sulit membedakan, mana yang benar-benar waras, dan mana yang memang tidak waras. Mungkin, mas Yama menjadi kurang waras semenjak ditinggal istrinya, tetapi hati mas Yama makin tulus. Ada sebuah tekad kuat yang membuat mas Yama melakukan itu, menjadi lebih baik lagi.” “Sementara mas Daven, ... mungkin, iya mungkin. Mungkin mas Daven memang waras, tetapi kelakuannya jauh dari waras.” Setelah tertegun menatap tak percaya Yama dari teras rumah keluarga Daven, Arsy yang juga sampai sibuk berbicara dalam hati, buru-buru menghampiri Yama. “Umi, jangan hujan-hujanan lagi, nanti Umi sakit!” Yama berseru khawatir. Arsy tetap melangkah cepat dan membiarkan tubuhnya diguyur hujan. Air matanya yang luruh bersama hatinya yang teriris, telah menyatu dengan air hujan yang masih mengguyur. Arsy sungguh merasa miris dengan nasib Yama, dan juga nasibnya. Mereka sama-sama terluka karena kisah yang berbeda. Namun mereka akan makin terluka, jika mereka terus bersama. Daven dan orang tuanya pasti tidak terima dan tak akan membiarkan Arsy memiliki hubungan bahkan sekadar dekat dengan Yama. Akan tetapi Arsy juga penasaran, kenapa Sang Pemilik Kehidupan sampai menuliskan kisahnya dengan Yama? Bukan bermaksud jahat, Arsy memutuskan untuk jujur, ia tak mau Yama makin telanjur jauh berharap kepadanya dan itu bisa menjadi perkara untuk orang tuanya. “Umi ....” “Mas Yama.” “Umi ....” “Mas Yama, tolong biarkan saya bicara. Ini serius. Sangat serius.” Setelah menyimak Arsy yang bertutu sarat pengertian, Yama yang masih memanggul mesin jahit, mengangguk-angguk. “Iya, Umi.” “Itu mesin jahitnya, diturunin dulu.” Seperti biasa, Yama langsung patuh kepada Arsy. Pria yang kiranya berusia di akhir dua puluh tahun itu segera menurunkan mesin jahitnya. Yama melakukannya dengan hati-hati sekalipun tatapannya tidak bisa lama-lama berpaling dari wajah apalagi kedua mata Arsy. “Mas Yama, lihat. Saya bukan istri Mas. Saya Arsy, bukan istri Mas.” “Kalau begitu, ... kalau begitu, ayo kita menikah!” Yama yakin dengan keputusannya. Arsy terdiam bingung. “Mas bisa membedakan aku dan istri Mas, enggak, sih?” Kali ini giliran Yama yang diam. “Kamu istriku.” “Aku sudah menikah.” Mengatakan ini, hati Arsy merasa tak tega. Arsy merasa telah menjadi orang jahat. “Aku suami kamu.” Yama masih bertutur yakin, ia meraih jeruji besi gerbang dan tentu saja berusaha meraih tangan Arsy yang berpegangan di sana. Namun, Arsy sudah lebih dulu menarik tangannya hingga jangankan menggenggam, bersentuhan saja kembali tidak bisa ia lakukan. “Aku haram buat Mas!” Arsy masih meyakinkan. Kedua tangannya yang nyaris tersentuh oleh kedua tangan Yama, saling remas di depan perut. Kedua mata sendu Yama masih menatap wajah Arsy. Terus begitu hingga hujan makin reda dan ia bisa menyaksikan butiran bening yang kerap mengalir dari kedua ujung mata wanita itu. “Sebenarnya aku ingin minta tolong. Aku ... aku ingin cerai. Aku ingin bebas,” ucap Arsy sambil terus menunduk. Namun, ia berangsur menatap Yama di tengah air matanya yang kian deras. “Umi ....” Yama menatap pedih Arsy. Matanya ikut basah. “Mas jangan dekat-dekat aku, nanti Mas kena masalah.” Arsy meyakinkan dan tak mau banyak menjelaskan. Bergegas ia balik badan, membuatnya memunggungi Yama. Ia nyaris lari, tetapi Yama melayangkan pertanyaan yang cukup membuat pintu hatinya terketuk. Hati Arsy menjadi berharap. “Siapa yang jahat ke Umi?” Yama mengulangi pertanyaannya. Kini, di hadapannya, Arsy menoleh dan perlahan kembali menghadap kepadanya. “Suamiku jahat!” Arsy refleks mengucapkannya, berlinang air mata ia mengatakannya, seolah tengah mengadu agar ia segera terbebas dari sana. Namun, sungguh hanya itu yang mampu ia bagikan karena melakukannya saja, Arsy merasa berdosa. Arsy memang bukan wanita yang pandai baik dalam urusan agama, pelajaran dan juga semu ilmu dalam kehidupan. Namun Arsy paham, apa yang ia lakukan dan itu menceritakan kekurangan suaminya, tidak semestinya ia lakukan. Hanya saja, Arsy sungguh mendambakan kebebasan. Terlebih lagi, adanya dirinya dalam kehidupan Daven dan Livy, hanya akan membuat kedua sejoli itu makin melahirkan banyak dosa. “Maafkan Abi, Umi.” Yama tulus mengatakannya. Air matanya berlinang membasahi pipi. Arsy yang dimintai maaf juga makin berlinang air mata. Arsy sampai sesenggukan. “Saya bukan istri Mas.” Dalam hatinya Arsy berharap, andai Yama tidak kurang dan benar-benar peduli kepadanya, Arsy yakin kebebasan untuknya tak lagi mustahil. “Istri Mas sudah meninggal, sementara aku istri orang. Suamiku menikah lagi, suamiku tidak mencintaiku. Dan jika aku terus bertahan, aku akan semakin menjadi sumber luka sekaligus sumber dosanya.” Yama menunduk bingung sekaligus berat. Kedua tangannya masih mencengkeram jeruji gerbang kediaman orang tua Daven. Terpikir oleh Arsy, apakah alasan Yama begitu karena Yama sudah mulai sadar sekaligus ingat, ingatannya? Sementara itu, di tempat berbeda, di bibir pantai Kuta Bali yang tidak sampai hujan, Daven tengah menikmati sunset bersama Livy. Keduanya berdiri menghadap ke arah matahari terbenam layaknya pengunjung lainnya. Suasana di sana teramat ramai, baik dari segi pengunjung maupun suara yang dihasilkan berhias deburan ombak yang saling kejar. Daven yang memakai kemeja lengan panjang warna biru telur asin dan bagian lengannya disingsing hingga siku, merangkul mesra pinggang ramping Livy yang kali ini terbalut gaun pantai kemben selutut. Sepoi angin mengiringi senyum bebas dari Livy maupun Daven. Keduanya merasa sangat bahagia, terus bertukar tatapan, belaian penuh perhatian, ciuman bahkan itu ciuman bibir layaknya pengunjung lain yang beberapa di antaranya juga melakukannya. Dunia seolah hanya milik mereka berdua, sebelum seorang wanita berhijab dan penampilannya sangat mirip Arsy—di mata Daven, lewat di hadapan mereka. Hati seorang Daven Mahreja langsung bergejolak, pria itu menjadi kacau dan sungguh jauh dari baik-baik saja. Daven marah, tak terima Arsy ada di sana dan sampai digandeng laki-laki lain. Laki-laki tersebut juga memiliki perawakan mirip Yama. Bedanya, rambut pria tersebut lurus dan panjangnya melewati telinga. Tanpa pikir panjang, Daven menyusul si wanita yang ia yakini Arsy. Ia mencekal sebelah pergelangan si wanita dengan kasar hingga si wanita tersebut berhenti kemudian menoleh dan menatapnya. Tentu saja itu bukan Arsy karena mana mungkin juga Arsy ada di sana apalagi dengan laki-laki yang memiliki garis wajah khas laki-laki Timur Tengah lengkap dengan berewok tipis yang mempertegas ketampanannya. Si Daven kenapa? Masa iya, lihat wanita muda berhijab, dia langsung ingat Arsy. Dia kelihatan cemburu parah gitu, pikir Livy, yang kali ini sampai memakai topi khas pantai warna putih selaras dengan gaun yang dipakai. Kenapa aku jadi kepikiran Arsy? Dan kenapa juga begitu cemburu? Pikir Daven yang kemudian meminta maaf pada si wanita dan juga si pria yang tak lain suami si wanita. “Maaf, ternyata saya salah orang. Saya benar-benar minta maaf.” Salah orang? Sepertinya dugaanku memang benar, Daven terlalu terbawa suasana. Dia mengira wanita itu Arsy, pikir Livy yang tak sampai menanyakannya. Tak hanya karena ia tak mau merusak momen bulan madu mereka, melainkan Livy terlalu takut menerima kenyataan, bahwa diam-diam, Daven telah mencintai Arsy. Diam-diam hati Daven telah membiarkan Arsy masuk menjadi bagiannya. Semenjak insiden salah orang di pantai, Daven menjadi tidak tenang. Ketenangan yang langsung terenggut karena ia terlalu takut. Namun, Daven juga bingung, kenapa ia sampai takut Arsy bersama pria lain? Gelisah, di tengah suasana temaram yang menghiasi kamar, Daven melirik Livy. Di sebelahnya, di tempat tidur bernuansa putih keberadaannya, Livy sudah lelap. Kenyataan itu ditegaskan dengan dengkuran lembut yang turut menyertai tidur Livy. Daven : Mah, Arsy gimana kabarnya? Itulah hal yang langsung Daven lakukan. Diam-diam mengirimi sang mamah pesan dan langsung menanyakan keadaan Arsy. Arsy tidak memiliki ponsel, dan sampai detik ini, Daven belum mengetahui bahwa istri pertamanya itu telah memiliki ponsel, hingga Daven tidak bisa menghubungi Arsy secara langsung. Tak semata karena telanjur malas berurusan dengan Arsy, tetapi Daven juga gengsi. Waktu sudah menunjukkan setengah dua dini hari WITA di layar ponsel Daven. Yang dengan kata lain, kini di Jakarta satu jam lebih lambat dari waktunya di Bali. Tentu saja, pukul setengah satu dini hari menjadi hal mustahil untuknya mendapatkan balasan cepat dari sang mamah. Daven berniat tak jadi menunggu dan meletakan ponselnya di nakas sebelah. Namun, dugaannya salah karena ponselnya mendapat pesan WA masuk dan itu dari sang mamah. Ibu Daryati sampai mengirimi Daven foto. Mamah : Mamah sedang dibikinin gamis sama Arsy. Di bawah pesan tersebut, ada foto Arsy yang diambil dari samping. Di tengah penerangan kamar yang terang benderang dan juga penerangan dari mesin jahit sendiri, Arsy tengah fokus menjahit bahan warna pink salem. Dua hari tak bertemu, Arsy sudah punya mesin jahit, dan ternyata, Arsy juga bisa menjahit? Arsy sampai bisa membuatkan gamis untuk ibu Daryati? Pikir Daven. Daven : Arsy beli mesin jahit? Mamah : Bukan, ini katanya dikirimi. Daven : Dikirimi? Sama siapa? Mamah : Ya mungkin sama ibunya karena mana mungkin dari kamu, kan? Kan Arsy pintar jahit, makanya ibunya kirim, biar Arsy enggak kesepian. Eh kamu jadi pulang besok? Pagi apa sore? Daven berpikir keras, kenapa ibu Arsy sampai mengirimi Arsy mesin jahit? Mengirim dari kampung ke kota dirasanya cukup aneh sekalipun jika melihat dari sisi yang lain lagi, wajar-wajar saja seorang ibu melakukannya. Hanya saja, Daven tetap tidak bisa mempercayainya begitu saja. Kok aku jadi enggak betah, ya? Ada hubungannya sama salah sasaran tadi enggak, sih? Ah, sudahlah. Lebih baik sekarang aku tidur. Ngapain juga aku mikirin Arsy! Tanpa lagi membalas pesan sang mamah dan memang karena sudah tidak peduli karena baginya tidak penting, Daven memutuskan untuk tidur. Ia meletakan ponselnya di nakas, kemudian membenarkan posisi tubuh berikut selimutnya. Ia meringkuk dan mendekap tubuh Livy yang membelakanginya. Malam ini, Livy memakai lingire putih transparan hingga warnanya seolah menyatu dengan selimut maupun bed cover di sana. Jika Arsy sampai berani berhubungan dengan laki-laki lain, pikir Daven. Ia bahkan belum genap lima detik terpejam, tetapi kini, hanya karena pemikiran barusan, kedua matanya terbuka sempurna. Ia terjaga dan sungguh tidak bisa tidur hanya karena ketakutannya Arsy sampai berani memiliki hubungan dengan pria lain. Lalu, apa yang kiranya terjadi jika Daven mengetahui kedekatan Yama dan Arsy?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD