Satu

1837 Words
Senin (16.12), 22 Maret 2021 ----------------------- Farrel mencengkeram kemudi mobilnya dengan kuat. Rahangnya berkedut menunjukkan lelaki dua puluh tujuh tahun itu sedang menahan amarah. “b******k!” umpat Farrel sambil melepas earphone dari telinga lalu mencampakkannya secara asal ke dashboard mobil. Sedari tadi Farrel mencoba menghubungi Fachmi, kakak kembarnya. Tapi selalu saja ponsel Fachmi tidak aktif. Ah, bukan hanya sedari tadi, melainkan sejak dua hari lalu setelah Farrel menerima berita yang sama sekali tidak ia sangka. Fachmi sudah bertunangan. Mengingat itu membuat d**a Farrel panas. Dia memukul setir mobil dengan kepalan tangannya untuk melampiaskan amarah. Dua hari lalu Farrel masih menikmati udara segar di salah satu pulau eksotis. Namun berita itu merusak acara bersantainya. Farrel sungguh tidak menyangka Fachmi bertunangan tanpa memberitahunya. Lebih buruk lagi, yang menyampaikan berita itu pada Farrel juga bukan Fachmi melainkan sepupunya, Juan Keegan. Tega sekali Fachmi melakukan ini. Farrel tidak akan menyalahkan orang tuanya. Dia yakin betul Fachmi telah mengatakan sesuatu pada mereka hingga mereka pun tidak memberitahu Farrel. Baiklah, dirinya memang keterlaluan. Tiap Fachmi akan bertunangan, pasti Farrel berusaha menggagalkan rencana tersebut. Tapi sebagai saudara kembar harusnya Fachmi mengerti bahwa Farrel tidak ingin kehilangan sang Kakak. Bagi Farrel, Fachmi adalah belahan jiwanya, miliknya. Dia tidak rela sang Kakak menikah lalu mencurahkan seluruh perhatian pada istrinya kelak. Ya, Farrel akui itu semua. Dirinya salah. Tapi tetap saja, tega sekali Fachmi sampai bertunangan tanpa memberitahunya. Tak terasa Farrel sudah sampai di area parkir apartemen Fachmi. Segera ia turun lalu  bergegas masuk. Satpam yang menyapa pun hanya mendapat balasan senyum kecil yang tampak tidak tulus padahal biasanya Farrel suka berbincang lebih lama dengan si satpam tiap berkunjung ke apartemen Fachmi. Tak lama kemudian Farrel sudah berkutat dengan kode keamanan di pintu apartemen. Keningnya berkerut kesal ketika kode yang ia masukkan salah. Sejenak Farrel memejamkan mata. Aksi menggagalkan rencana pertunangan Fachmi yang terakhir Farrel lakukan berhasil membuat Fachmi menolak bertemu dengannya hampir tiga minggu lamanya. Beruntung setelah membujuk selama berhari-hari, akhirnya Fachmi mau memaafkan Farrel. Dan Farrel pikir masalah itu sudah selesai. Tapi ternyata belum. Buktinya setengah tahun kemudian Fachmi tidak mau Farrel datang ke acara pertunangannya dan juga dengan sengaja mengganti kode keamanan apartemen agar Farrel tidak bisa leluasa masuk. Belum lagi kenyataan bahwa Fachmi sengaja membuat Farrel tidak bisa menghubunginya. Farrel mendesah lalu membuka mata kembali. Tidak ada pilihan selain membunyikan bel. Akhirnya dia pun melakukannya. KLEK. Pintu terbuka namun bukan orang yang Farrel cari yang membukakan pintu. Kening Farrel berkerut menatap wanita dengan rambut lurus tergerai dan mata cokelat sedang menatapnya. Bibirnya tersenyum lembut menunjukkan kesan ramah. “Kenapa menekan bel? Kau lupa kode keamanannya?” tanya wanita itu dengan suara merdu. Jika mereka bertemu dalam situasi berbeda, pastilah Farrel tergoda untuk merayu wanita itu lalu membuatnya menghangati ranjangnya. Tapi sayang pikiran Farrel sekarang masih fokus untuk menemukan keberadaan sang kakak lalu menuntut penjelasan. “Aku mencari—” “Oh, aku lupa!” seru wanita itu sambil menjauh dari pintu. “Aku masih masak. Kebetulan kau pulang jadi kita bisa makan malam bersama,” lanjutnya dengan suara lebih keras. Tidak perlu berpikir lama. Farrel langsung menebak bahwa wanita itu mengira dirinya adalah Fachmi. Tapi siapa wanita itu? Tidak pernah sebelumnya Fachmi membawa wanita ke apartemennya, bahkan calon tunangannya sekalipun. Apa jangan-jangan wanita itu adalah tunangan Fachmi? Kalau benar, pastilah dia sangat spesial hingga Fachmi membiarkannya berada dalam kediamannya. Seketika kekesalan Farrel semakin memuncak. Dan kali ini ditujukan pada wanita yang sebenarnya tak bersalah itu. Segera Farrel masuk lalu menutup pintu kembali. Langkahnya cepat menuju kamar Fachmi yang ternyata kosong. Yah, tentu saja Fachmi tidak ada di rumah. Kalau ada tidak mungkin wanita pembawa masalah itu menduga dirinya adalah Fachmi. Farrel berkacak pinggang dengan tatapan nyalang ke arah ranjang Fachmi yang tampak rapi. Otaknya berputar memikirkan bagaimana cara menyingkirkan wanita yang telah masuk ke dalam kehidupan Fachmi itu. Apa dirinya harus menggunakan cara yang sama seperti wanita setengah tahun yang lalu? Meniduri wanita itu lalu membuat Fachmi melihatnya? Sial! Farrel mengacak rambutnya gemas. Dia ragu cara itu akan berhasil. Tapi otaknya sedang buntu sekarang. “Fachmi! Ayo, makan malam!” Farrel menatap ambang pintu kamar sekilas lalu beralih kembali ke ranjang seolah ranjang itu bisa memberi jawaban. Hmm, mungkin dirinya bisa berpura-pura menjadi Fachmi sambil mencari celah untuk menendang wanita itu. Ya, itu ide bagus. Kali ini senyum licik tersungging di sudut bibir Farrel. Dia keluar kamar seraya menyingsing lengan sweaternya lalu bergabung dengan wanita itu—yang belum Farrel ketahui namanya—di meja makan. “Untung saja aku masak agak banyak.” Wanita itu berkata seraya menyendokkan nasi ke piring Farrel. “Aku tidak menyangka kau akan pulang padahal kau bilang masih mengurus pekerjaan di luar kota sampai akhir bulan ini.” Dalam hati Farrel menghitung berapa hari lagi sampai akhir bulan ini. Ah, kira-kira empat hari lagi. “Hei, kau lebih pendiam dari biasanya. Apa ada masalah?” Wanita itu menatap Farrel dalam seolah hendak membaca isi hati Farrel. Entah mengapa itu membuat Farrel gelisah. Padahal dia adalah tipe lelaki penakluk wanita yang tidak akan takut hanya karena ditatap intens oleh lawan jenis. Sejenak Farrel berdehem. “Ehm, tidak. Aku hanya sedikit tidak enak badan.” Mendadak wanita itu mengulurkan tangan lalu meletakkan punggung tangannya di kening Farrel. “Tidak panas.” Farrel mundur, melepas kontak fisik yang terasa mengganggu itu lalu berujar, “Aku tidak demam. Hanya merasa agak pusing. Tidak perlu dipikirkan.” Wanita itu tersenyum. “Kalau begitu habiskan makananmu lalu istirahat. Pasti kau kelelahan. Tidak heran juga mengingat kau sering pulang larut malam dan melupakan waktu makan.” Mata Farrel menyipit kesal. Dia tidak suka kalimat wanita itu yang seolah menunjukkan hubungannya dan Fachmi sudah sangat dekat. “Tidak perlu berlebihan memperhatikanku. Kau belum jadi istriku jadi tidak perlu bersikap seolah kau istriku.” Farrel mengutarakan kalimat itu dengan nada permusuhan yang kental. Biar saja. Lagipula lebih bagus kalau wanita itu jadi tersinggung akan sikapnya hingga membatalkan pertunangan. Bukannya marah atau tersinggung sesuai harapan Farrel, wanita itu malah kembali tersenyum lembut. “Maaf kalau menurutmu aku berlebihan.” Lah, kenapa dirinya yang jadi merasa bersalah setelah mendengar kata ‘maaf’ dari wanita itu? Farrel tidak menanggapi ucapan wanita di depannya dan memilih menyibukkan diri dengan makanan. Ternyata wanita itu pintar memasak. Dan dari sikapnya sekilas jelas menunjukkan dia seorang calon istri yang baik. Pantas saja Fachmi memilihnya. Namun meski Farrel mengakui bahwa wanita itu memang pilihan yang tepat untuk dijadikan istri, dirinya tetap tidak setuju Fachmi menikah. Selesai makan Farrel langsung meninggalkan wanita itu membersihkan meja makan sendirian lalu memilih menonton tv. Dia duduk santai di sofa dengan kaki naik ke atas meja. Chika Kanza, wanita yang belum genap satu minggu resmi menjadi tunangan Fachmi datang sambil membawa puding. Sejenak dia tertegun melihat Fachmi duduk di sofa depan tv dengan kaki ditumpangkan di atas meja. Memang dirinya belum begitu mengenal sosok Fachmi. Tapi setahu Kanza, lelaki itu selalu bersikap layaknya orang kalangan atas. Memperhatikan penampilan dan tingkah laku. Tidak pernah bersikap urakan apalagi seperti berandal. Tapi sekarang, Kanza merasa ada yang berbeda dari Fachmi. “Itu makanan atau hanya hiasan?” tanya Farrel tiba-tiba. Kanza tersentak kaget. Dia segera menguasai diri lalu mengulas sebuah senyum. “Tentu saja makanan. Aku membawakannya untukmu.” Dia duduk di samping Farrel seraya menyerahkan piring kecil berisi puding. “Kau tunanganku, kan?” Kanza tampak bingung. “Tentu saja.” “Kalau begitu suapi aku.” Sejenak Kanza terdiam. Sungguh dia merasa aneh dengan sikap Fachmi hari ini. Memang biasanya Fachmi cenderung bersikap dingin dan menjaga jarak. Kanza memaklumi itu karena dia pikir sifat Fachmi memang demikian. Tapi Fachmi pernah dengan tegas meminta Kanza belajar untuk menjadi istri dan mengurus lelaki itu. Pernyataan yang bertolak belakang dengan ucapan lelaki itu tadi, saat ia meminta Kanza untuk tidak perlu bersikap layaknya seorang istri. Lagi-lagi Kanza berusaha maklum. Mungkin Fachmi memang kelelahan dan sedikit tidak enak badan hingga menjadi sensitif. Tapi kini, kembali dirinya dibuat bingung saat lelaki itu minta disuapi. “Kenapa diam?” Farrel menatap kesal pada Kanza. Mendadak Kanza tertawa. Dia terus tertawa sampai sudut matanya berair. Farrel kaget mendengar tawa tiba-tiba wanita itu. Raut wajahnya tampak ngeri. “Kau kenapa? Kalau berubah jadi gila jangan di sini.” Mendengar ucapan Farrel malah membuat tawa Kanza semakin pecah. Farrel menggaruk pelipisnya bingung. Memangnya tadi dia melawak, ya? “Heh, perlu aku panggil dokter jiwa?” Kanza masih tertawa. “Kau lucu sekali.” “Lucu? Kau pikir aku badut?” dengus Farrel. Tawa Kanza kembali berderai. Farrel semakin meringis ngeri lalu perlahan mundur menjauh dari Kanza hingga duduknya mencapai sudut sofa. “Kenapa menjauh?” tanya Kanza di antara tawa. Farrel tidak menjawab dan hanya menatap Kanza masih dengan ekspresi ngeri. “Kau tidak hanya lucu tapi juga menggemaskan,” ujar Kanza dengan tawa tertahan. Kemudian ia menunduk, menyendok puding lalu hendak menyuapi Farrel. “Ayo, buka mulutmu. Aaaa…” “Heh, Nenek Sihir! Kenapa kau berbicara seolah aku anak kecil?” nada Farrel terdengar tersinggung. “Nenek Sihir?” Kanza merengut. “Jangan bilang kau lupa namaku.” “Jangankan namamu, aku bahkan lupa kalau aku sudah bertunangan.” “Kali ini tidak lucu.” “Dari awal aku memang tidak melawak. Kau saja yang bilang aku lucu. Dasar aneh!” Kanza masih merengut layaknya anak kecil. “Katakan siapa namaku!” Farrel berdecak malas. “Kan sudah kubilang bahwa aku lupa.” “Fachmi!” “Apa, Nenek Sihir?” balas Farrel dengan senyum geli. Lucu juga wajah wanita di hadapannya saat sedang kesal. “Kau benar-benar lupa namaku?” Kanza memastikan dengan nada tak percaya “Astaga, berapa kali aku harus bilang?” “Kau menyebalkan!” “Baru sadar?” “Terserahlah!” Kanza menjauh dari Farrel lalu mengalihkan perhatian pada acara tv. Tanpa kata dia makan dengan lahap puding yang tidak sempat dinikmati Farrel. “Hei, bukankah itu punyaku?” protes Farrel. “Siapa bilang? Aku membuatnya untuk dinikmati sendiri.” Ujar Kanza ketus. “Tadi kau memberikannya padaku, lalu sekarang kau ambil lagi. Jangan menangis kalau nanti tumbuh bintil di kelopak matamu.” “Hoax.” Mata Farrel melebar melihat puding sudah nyaris tandas. “Kau benar-benar akan menghabiskan puding itu?” “Iya.” Kanza menyahut singkat tanpa melihat Farrel dan tangan masih bergerak menyendok puding lalu memakannya dengan tak acuh. Mendadak Farrel menarik piring di tangan Kanza. Tapi Kanza sigap menahan. Akhirnya terjadi aksi saling tarik layaknya anak kecil. “Ini milikku! Kalau kau mau, buat saja sendiri,” ujar Kanza sambil menarik piring. “Kau tadi sudah memberikannya padaku.” Farrel tidak mau kalah. “Iya, sebelum kau memanggilku ‘Nenek Sihir’. Sekarang aku berubah pikiran.” Yakin dirinya pasti kalah tenaga dari Farrel, Kanza menunduk di atas piring lalu melahap puding tanpa sendok. Bisa dipastikan di sekitar bibirnya belepotan puding seperti anak kecil. Farrel tidak mau kalah. Dia mencengkeram rahang Kanza kuat lalu menunduk, merebut puding di mulut Kanza dengan bibirnya. Seketika tubuh Kanza mematung. Dia terlalu kaget hingga tidak berkutik saat Farrel menyelusupkan lidahnya ke mulut Kanza. --------------------- ♥ Aya Emily ♥
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD