Pelet, part 3

1367 Words
Usaha Udin untuk menundukkan kepala dan tak melirik ke atas atau bahkan ke sekelilingnya ternyata tak berguna. Di pengulangan mantra yang ketiga kalinya, Udin kini benar-benar melihatnya, lebih tepatnya melihat mereka. Di dalam lubang kuburan yang berukuran tak seberapa besar ini, ada banyak sosok menakutkan yang menemani Udin sekarang. Mereka memiliki berbagai bentuk dan ukuran. Ada yang berbaring di bawah Udin. Ada yang berjongkok tepat di depan Udin. Ada yang berdiri di sebelah Udin. Mereka memenuhi lubang kuburan dan mengelilingi Udin. Tetapi, sekalipun sosok, bentuk tubuh, dan posisi mereka semua berbeda-beda, ada satu kesamaan yang mereka miliki. Mereka semua melihat ke arah Udin dengan tatapan tajam dan dingin. Mereka hanya diam, mengelilingi, dan menatap tajam ke arah Udin tanpa menyentuh, mengganggu atau melakukan apa pun untuk mengusik Udin, tapi itu lebih dari cukup untuk membuat tubuh Udin kaku membeku di tempatnya. Selain sosok-sosok yang mengelilinginya, Udin juga masih mendengar semua suara-suara aneh di telinganya. Bahkan, kini suara itu lebih jelas dan tak lagi sekedar bisikan lirih seperti tadi. Udin berusaha memejamkan matanya sekuat tenaga tapi tak bisa. Udin juga berharap kalau sosok-sosok mengerikan itu segera menghilang tiba-tiba. Bukankah biasanya mereka hanya muncul sekilas saja? Tapi harapan tinggal harapan. Mereka tetap di sana. “Ingat, Din!! Apa pun yang terjadi, kamu harus tetap lanjutkan ritual itu sampai selesai.” “Apa pun yang terjadi!!” Kata-kata Bapak kembali terngiang. Saat ini, barulah Udin menyadari kenapa dulu Bapak pernah meledek Udin saat dia bertanya tentang pelet ketika masih kecil dulu. “Kamu pikir, mengamalkan ilmu pelet semudah itu? Hanya dengan merapal mantra lalu menyebutkan nama gadis yang dituju? Atau mungkin dengan menggunakan foto mereka?” Tak ada yang mudah. Udin kembali menggigit bibirnya. Kali ini, lebih kuat dari yang pertama tadi. Udin bahkan bisa merasakan aliran deras cairan hangat dengan rasa asin dalam mulutnya. “Niat ingsun amatek aji, ajiku…" Dengan tubuh bergetar, dengan kalimat terbata-bata, dengan suara lirih, Udin kembali melafalkan mantra yang diajarkan oleh Bapak untuk yang ketiga kalinya. Udin butuh waktu dua kali lebih lama dibandingkan saat melafalkan mantra itu untuk yang kedua kalinya tadi. Dan akhirnya dia berhasil juga. Udin mengangkat botol mineral dengan tangan yang bergetar lalu meniup lubang di atasnya dengan mulut. Dia berhenti sejenak saat melirik ke arah beberapa helai rambut yang masih tergeletak di dasar botol mineral di tangannya. Sempat terbersit sebuah keraguan di hati Udin untuk melanjutkan ritual yang sedang dilakukannya. “Persetan! Ini tinggal langkah terakhir!!” teriak Udin dalam hati lalu dia mengangkat botol itu dan meminum air di dalamnya tanpa ragu lagi. Saat Udin menenggak air mineral berisi helaian rambut dari mayat Haji Imron di tangannya, suara teriakan, bisikan, tangisan, dan jeritan di telinganya semakin keras terdengar. Wajah-wajah dari sosok-sosok menyeramkan yang mengelilingi Udin di dalam liang kubur juga semakin mendekat dan menatap tajam ke arah Udin. Udin memejamkan mata dan dengan cepat mencoba menghabiskan semua air di botol yang ada di tangannya. Dia bahkan sempat merasakan sesuatu yang aneh melewati tenggorokannya beberapa saat kemudian. Tapi tanpa berpikir panjang, Udin menelannya. Setelah yakin tak ada lagi yang tersisa di dalam botol mineral di tangannya, Udin membuka mata. Udin terdiam tak bersuara. Tak ada lagi sosok-sosok menyeramkan mengelilinginya. Tak ada lagi suara-suara aneh yang memenuhi telinganya. Tak ada lagi puluhan pasang mata yang menatapnya tajam dari atas liang kubur sana. Sekarang hanya ada Udin yang duduk terjerembab di dalam liang kubur milik almarhum Haji Imron yang barusan dia gali lagi. Sesaat kemudian, seperti orang yang baru tersadar dari pingsannya, Udin bergegas meloncat keluar dari liang kubur dan segera menutup kembali galian tanah yang tadi dia bongkar. Dia juga melihat ke sekelilingnya untuk selalu memastikan bahwa semuanya aman terkendali. Setengah jam kemudian, sesosok laki-laki muda dengan pakaian yang kotor penuh tanah terlihat mengendap-ngendap di antara rumah warga di tengah kegelapan malam. ===== Haji Imron adalah salah satu orang terkaya di kampung Banyuanteng. Usahanya bermacam-macam, mulai dari toko kelontong, selep padi, tuan tanah, jual beli hewan ternak, dan berbagai usaha serabutan lainnya. Tapi, dari semua usaha yang dia geluti, pendapatan terbesar Haji Imron adalah dari toko kelontongnya. Bagaimana caranya? Itu karena Haji Imron suka ‘menolong’ orang. Di saat warga kampung Banyuanteng sedang membutuhkan uang atau sembako, Haji Imron akan selalu membantu tanpa pamrih. Dia bahkan tak pernah meminta jaminan sertifikat tanah atau semacamnya. Dia hanya membuat peraturan bahwa nanti ketika masa panen tiba, siapa pun yang berhutang ke Haji Imron hanya boleh menjual hasil panen mereka kepada Haji Imron. Tentunya dengan harga yang ditetapkan oleh Haji Imron. Bagi para petani, keberadaan toko kelontong Haji Imron yang bisa memberikan mereka pinjaman tanpa batas untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, adalah sebuah jalan keluar termudah dari masalah hidup mereka. Mereka hanya perlu datang ke toko, mengambil kebutuhan pokok yang mereka perlukan, lalu semua tagihan akan masuk ke dalam buku catatan milik Haji Imron. Di saat masa panen tiba. Haji Imron akan datang untuk membeli hasil panen mereka lalu terjadilah hitung-hitungan. Berapa rupiah hasil panen mereka dikurangi berapa rupiah pinjaman mereka. Terkadang, hasil panen mereka akan melebihi pinjaman mereka. Terkadang, hasil panen mereka akan sama dengan jumlah pinjaman yang mereka punya. Tapi tak jarang juga, hasil panen mereka tak bisa menutup pinjaman yang mereka miliki. Tapi orang-orang desa itu tak pernah ambil pusing. Toh setelah ini, mereka masih tetap bisa terus berutang ke Haji Imron. Mereka masih tetap bisa makan sampai masa panen berikutnya tiba. Bahkan ketika mereka butuh uang untuk kebutuhan dadakan seperti hajatan, syukuran, nikahan, mereka dapat dengan mudah meminjam ke Haji Imron. Semuanya bisa diselesaikan dengan hitung-hitungan saat masa panen tiba. Begitu seterusnya. Tanpa sadar, setelah bertahun-tahun, mereka akan terjerumus ke dalam lubang yang terlalu dalam. Dan pada akhirnya, tanah garapan milik keluarga mereka pun berpindah tangan untuk menutupi pinjaman. Para petani yang awalnya memiliki lahan sawahnya sendiri, kini tak lebih hanya sekedar buruh tani yang harus bekerja kepada Haji Imron, dan masih tetap harus melunasi hutang-hutang mereka yang entah kapan lunasnya. Secara kasat mata, tak ada yang salah dengan praktik yang dilakukan oleh Haji Imron. Tak ada bunga pinjaman sama sekali, berapa uang yang dipinjam, sejumlah itu juga yang harus dikembalikan. Tetapi, saat para petani itu berhutang ke toko Haji Imron dengan cara berhutang, harganya sudah dinaikkan di atas harga pasar. Selain itu, saat Haji Imron membeli hasil panen para petani, dia juga menggunakan harga di bawah harga pasar. Tanpa sadar, para petani itu pun terjerat dalam jebakan lingkaran setan yang susah untuk dihentikan. Ditambah lagi, tak setiap masa panen akan memberikan hasil bagi para petani. Terkadang, panen mereka gagal, terkadang tanaman mereka diserang hama, atau bisa juga, terjadi penurunan harga pasar yang membuat mereka menangis tanpa air mata. Di saat semua itu terjadi, kehidupan tetap harus berjalan, keluarga mereka tetap butuh makan, dan Haji Imron memberikan solusinya. Silahkan berhutang sebanyak apa pun yang kalian mau. Tentu saja, dari sekian banyak warga desa, bukan satu atau dua orang yang memiliki pikiran dewasa dan pandangan jauh ke depan. Mereka menyadari betapa berbahayanya jebakan lingkaran setan yang ditebar oleh Haji Imron. Sekalipun harus bertahan hidup seadanya, mereka memilih untuk tak terjebak dengan ketergantungan yang berkepanjangan tersebut. Haji Imron biasanya akan membiarkan saja para petani yang tak mau berurusan dengan usahanya. Tapi ketika mereka mulai mengusik dengan menceramahi atau mempengaruhi petani lain agar meninggalkan praktik hutang dulu bayar gampang milik Haji Imron, maka dia tak segan-segan mengambil tindakan. Karena itu juga, Haji Imron menebarkan pengaruhnya hampir di semua titik. Lurah Banyuanteng yang dipilih dengan sistem pilkades adalah adik kandung Haji Imron. Para pamong yang merupakan perangkat desa juga merupakan sanak famili Haji Imron. Dia menggunakan uang dan pengaruhnya untuk menempatkan semua kroninya hampir di setiap posisi strategis yang mungkin bisa menganggu kelangsungan usahanya. Banyuanteng adalah kerajaan kecil milik Haji Imron dan keluarganya. Tapi, sehebat-hebatnya manusia, sekaya-kayanya seseorang, tiap mahluk yang bernyawa pasti menemui ajal. Itu merupakan takdir Ilahi. Sama seperti Haji Imron. Dia meninggal beberapa hari lalu, sesuatu yang tidak disangka-sangka oleh hampir semua warga Banyuanteng. Haji Imron dikenal sebagai sosok yang berbadan sehat. Selain itu, dengan kemampuan finansial miliknya, dia tentu rutin melakukan medical check up yang mungkin terlalu mewah atau mahal bagi para tetangganya. Tak ada sama sekali tanda-tanda penyakit menahun atau kronis di tubuhnya, namun tetap saja, Haji Imron tak bisa melawan takdir. Ketika saatnya tiba, dia tetap meregang nyawa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD