PROLOG

883 Words
Megi menempelkan kedua telapak tangannya, memposisikan di depan d**a. Napasnya ia atur, berusaha mengendalikan detak jantungnya yang menggila. Lalu, ia mendengus keras lagi. “Mati gue! Mati! Anjirlah betingkah aja ini jantung!” monolog Megi untuk yang kesekian kali. Ia sengaja datang satu jam sebelum janji temu. Niatnya agar ia tak panik nanti. Namun mau bagaimana, sepetakilan apapun dirinya, ia tetap seorang wanita. Berusaha mengungkapkan perasaannya pada pria pujaannya sungguh bukanlah hal yang mudah. “Gi?” Megi membuka kedua matanya. Mencengir. Tak mungkin kan ia melanjutkan meditasinya kala sang pria tampan bertubuh kekar itu sudah berdiri di depannya. “Gary,” lirih Megi, cengengesan. Gary mengernyit, bingung. Ia lalu duduk tepat di samping Megi. “Mana Isla?” “Mmm... kita berdua doang kok.” Gary menatap Megi lekat. Ia bahkan mengikis jarak wajah mereka, menelisik paras Megi dengan seksama dari jarak yang sangat dekat. “Lo dandan?” “Emang ga boleh?” ketus Megi, mendorong d**a Gary. “Baru ngeh aja gue. Remang-remang soalnya di sini.” “Lo ga suka?” “Cantik kok,” ujar Gary, santai. “Jadi ga kayak monyet!” ‘PLAK!’ “Aduuuh. Sakit, Gi,” lirih Gary seraya mengelus lengannya yang ditampar keras oleh Megi. “Dasar gorila!” Gary terkekeh pelan. “Gitu aja ngambek.” “Jadi, Isla ga datang?” tanyanya kemudian. “Iya, Ger. Gue udah ngerayain sama Isla tadi pagi.” “Tapi Isla tau? Rempong lho Gi kalau dia ngambek. Bikin pening!” “Iya, Isla tau kok. Udah ngijinin juga.” “Serius? Kok bisa ya?” “Emang kenapa sih? Lo suka sama Isla?” “Hah?” “Ya lagian lo kayak ga happy gitu dinner sama gue.” “Perempuan dan asumsinya!” “Ya kalau udah tau harusnya jangan gitu dong. Gue kan jadi menduga-duga kemana-mana.” Gary diam saja, tak lagi menanggapi gerutuan Megi. Megi menguatkan hati. Ia tak ingin mundur lagi. Setahun bersahabat dengan Gary sudah cukup membuat jantungnya berdebar kencang. Megi takut jika ia tak mengungkapkan perasaannya, justru suatu hari nanti akan ada perempuan lain yang menyadari betapa istimewanya pria itu. Tak berselang lama, menu-menu pesanan Megi pun terhidang lengkap. “Gue perlu nyanyi dulu ga nih?” tanya Gary. “Ga usah.” “Ya udah, gue langsung ke tahap selanjutnya aja.” “Apa tuh?” Gary mengulurkan kedua tangannya, menarik Megi dalam pelukannya begitu saja. “Selamat hari lahir Monyet Kecil. Sehat terus. Ceria terus. Kalau mau sedih panggil gue aja, nanti gue temenin. Semoga masa depan lo indah dan membahagiakan. Dan semoga, gue jadi bagian di dalamnya.” Saat Gary akan mengurai pelukannya, Megi bergumam, “Sebentar lagi.” “Apa?” “Sebentar lagi, Ger. Peluk gue sebentar lagi.” Gary menurut. Mengeratkan pelukannya di tubuh Megi. Entah bagimana mengatakan pada gadis mungil itu jika ia mencintainya. “Makasih, Ger.” “Hmm. Kapan mau ke makam Ibu dan Ayah?” “Weekend ini aja. Lo temenin gue ya?” “Pasti.” Pelukan itu pun terurai. Lalu, keduanya mulai menikmati hidangan di hadapan mereka. Tak ada suara selain denting alat makan yang saling beradu. Begitu semua makanan tandas, Megi memberanikan diri mengutarakan isi hatinya. “Ger?” “Ya?” “Ada yang mau gue kasih tau sama lo?” Gary terdiam. Ia mengangkat pandangannya, tenggelam dalam hangatnya tatapan Megi. ‘Jangan bilang lo udah punya cowok, Gi.’ Gary menunduk kembali, menyesap minuman dalam gelas yang ia genggam. Kelu. “Gue.... Gue cinta sama lo, Ger.” Pernyataan itu membuat Gary luar biasa terkejut. Mulutnya menganga, hingga fruit punch yang tengah ia tenggak mengalir keluar kembali. Megi mengatupkan bibir, menahan tawa. Serbet berwarna merah pun ia genggam, membantu membersihkan mulut Gary yang belum juga menutup. “Astaghfirullah,” lirih Gary akhirnya. “Kok malah istighfar? Emang lo pikir gue tuyul?” “Kecilnya sih mirip, Gi!” “Gary!” “Gi, yuk kita ke psikiater. Gue temenin lo konsul.” “Kenapa gue harus konsul?” “Gini ya monyet kecil! Lo itu cewek normal. Di balik sikap lo yang petakilan ga kenal waktu itu tetap aja lo cewek normal! Ga masuk akal lo cinta sama cowok belok macam gue, Megumi Fayola!” “Tapi buktinya terjadi. Gue cinta sama lo. Dan gue tau kenapa lo begini. Gue bisa ngerti, Ger.” “Kok lo gampang banget sih ngomong cinta?” “Kata siapa gampang? Setahun gue bolak balik mikir buat bilang sama lo!” “Lo ga akan bisa ngerti, Gi. Lo ga tau apa-apa tentang gue!” “Apa yang gue ga tau? Coba lo ceritain ke gue. Gue pasti bisa mengerti.” “Duh Gi, apa kita ke Kiayi pinter aja ya?” “Ngapain?” “Kali aja lo kerasukan!” “Gary... gue serius. I've been in love with you since we first met.” “Gue ga bisa, Megi!” “Ga bisa apa?” “Pokoknya gue ga bisa!” “Lo nolak gue?” “Ya iyalah! Lo pikir gue gila apa nerima lo?” “Gue ga pantes buat lo?” “Gue yang ga pantes buat lo, Gi! Lo ga jijik apa sama gue?” “Gary....” “Udah ya, jangan lagi ngomongin ini. Gue ga mau persahabatan kita ancur.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD