Chapter 2

1954 Words
Diki yang sudah pulang ke rumah, ia pun lalu mengerjakan buku yang diberikan oleh Dinda kepadanya. "Paman. Nenek menunggumu untuk makan." Teriak Rafan keponakan Diki. Rafan adalah keponakan Diki dan anak dari Intan yaitu kakanya Diki, ia masuk ke kamar Diki untuk mengajaknya makan. Saat melihat Pamannya sedang belajar Rafan pun lalu memberitahu Ibu dan Neneknya jika Pamannya bertingkah aneh. Saat belajar, Diki masih mengingat kejadiannya dengan Dinda pada saat di sekolah. Ibu Engkes yaitu Ibunya Diki. Ia yang diberitahu oleh cucunya bahwa Diki bertingkah aneh, Ibunya pun lalu masuk ke kamar Diki. "Diki, apa kau sakit? Kenapa kau tiba-tiba bertingkah aneh?" tanya Ibunya sambil memegang kening Diki. Di sekolah, Diki yang berpakaian seragam dengan menggunakan sweater. Ia berdiri dan melihat kepada Dinda yang sedang belajar. Diki lalu memberikan buku yang sudah ia kerjakan kepada Dinda, dan mereka pun saling bertatapan. Setelah Diki memberikan buku itu kepada Dinda ia pun lalu kembali lagi ke bangkunya. "Kenapa dia membuatmu mendesah seperti ini. Dia bicara apa?" tanya Wildan. "Tidak bicara apa-apa." Jawab Diki. "Kau kenapa? Apa dia menekanmu dengan matanya? Dia sangat luar biasa, bahkan terlihat cantik dari belakang." Ucap Wildan yang kagum. "Dia... Dia itu bermuka dua, Dia bahkan pintar memaki." Ucap Diki sambil menunjuk Dinda dengan buku yang ia pegang. Mendengar perkataan Diki, Wildan pun langasung tertawa kerena tidak percaya. Dinda yang sedang di gedung lantai tiga sekolah, ia sedang memeriksa hasil pekerjaan Diki sambil meminum okky jelly drink. "Dunia ini sangat adil. Bisa saja Diki tampan dari lahir, tapi otaknya tidak memadai." Ucap Dinda. Dinda yang sedang santai meminum okky jelly drink ia melihat ada satu murid yang sedang dibully oleh tiga orang murid. "Kenapa kau membawakan makanan seperti ini kepadaku? Dasar kau gendut." Ucap Rangga sambil mendorong perut Dimas. "Maaf, tolong hentikan." Ucap Dimas dengan wajah panik. "Dasar kau gendut. Aku tidak menyuruhmu untuk membawakan makanan ini kepadaku, dasar otakmu t***l." Ucap Rangga yang marah dan langsung menampar wajah Dimas. "Plak..." "Plak..." "Plak..." Dimas yang ditampar ia pun memberontak dan mencoba untuk melawan. Namun Dimas dengan mudahnya ditendang oleh Patrik. Saat terjatuh karena ditendang, Dimas lalu injak-injak oleh tiga murid itu. "Ahh...ahhh...ahhh tolong hentikan." Teriak Dimas yang memohon karena kesakitan. Diki yang sedang membuang sampah. Ia melihat di tong daur ulang malah ada sampah plastik, seharusnya itu tong untuk sampah kertas. Diki yang mendengar ada orang berteriak dia pun langsung tahu siapa yang membuang sampah sembarangan itu. "Kalian tidak tahu ya cara mendaur ulang sampah." Teriak Diki yang sangat kesal. Mereka yang sedang menyiksa Dimas tiba-tiba berhenti karena mendengar Diki. Diki yang kesal ia lalu melempar kertas berwarna yang ia bawa kepada mereka, yang membuat kertas berwarna itu bertaburan. Saat kertas berwarna itu bertaburan Diki pun lalu berlari dan melompat di udara, dan berhasil mendaratkan kakinya di kepala Yogi hingga Yogi pun terpental. Rangga yang menyerang Diki, namun hal itu sia-sia saja, karena Diki dengan mudahnya mendaratkan pukulannya tepat di wajah Rangga, hingga Rangga juga terpental. Patrik yang berlari menuju Diki ia juga dengan mudahnya dikalahkan dengan satu kali lompatan berputar oleh Diki, yang mendaratkan sendal swallow Diki di wajah Patrik yang sedang ketakutan. Diki yang mendaratkan kakinya dengan salah, kakinya pun akhirnya terkilir. Diki berusaha menahan kakinya yang sakit supaya tidak ketahuan oleh mereka bertiga. Mereka bertiga yang sudah dikalahkan oleh Diki, akhirnya berlutut di hadapan Diki. "Sebenarnya aku tidak suka kekerasan. Prof Ladusing pernah berkata, jika kau memaafkan kesalahan orang lain maka kau akan dianggap sebagai seorang pahlawan. Aku memaafkan kalian jadi kalian boleh pergi." Ucap Diki sambil menahan sakit. Setelah mereka bertiga pergi, Diki pun lalu memegang kakinya dan melompat-lompat kecil karena kesakitan. "Kanapa kau suka berkelahi dasar anak nakal." Ucap Pak Asep yang datang sambil memukul Diki dari belakang. "Apakah kau tidak apa-apa Diki?" tanya Dimas dengan wajah khawatir. "Tidak apa-apa." Jawab Diki sambil kesakitan. "Siapa yang berkelahi Pak, kenapa Bapak muncul setelah perkelahian selesai? Harusnya Bapak cepat datang tadi." Ucap Diki yang kesal. "Haaahhh." Teriak Diki sambil melompat-lompat. "Kau terluka?" tanya Pak Asep. "Siapa? Aku? Aku ini Diki Pak." Jawab Diki dengan santainya. "Plak plak plak..." Pak Asep yang memukuli Diki lagi. "Ahh sakit Pak." Ucap Diki sambil menahan pukulan Pak Asep dengan tangannya. Dinda yang sedang di atas gedung, ia menyaksikan semua kejadian tadi. "Dia tidak bisa meyakinkan orang lain. Dia cuma tau cara untuk bertindak saja." Ucap Dinda sambil meminum Okky jelly drink. Di lapangan, guru olahraga yaitu Pak Indra menyuruh para murid untuk bergabung dengan teman sekelompoknya, karena olahraga akan berkelompok dua orang-dua orang, dan setiap kelompok akan diikat kakinya dengan teman sekelompoknya untuk bersiap balapan lari. Diki yang santai dia tidak mencari Dinda, tapi Dinda sendiri yang mendekati Diki dan jongkok untuk mengikat kaki mereka. "Apa kau tidak apa-apa? Kaki mana yang harus diikat?" tanya Dinda yang tahu kalau kaki Diki sedang cedera. "Yang mana saja terserah." Ucap Diki sambil melihat Dinda. "Ikat dengan benar." Ucap Diki. "Ahhhh ahhh." Teriak Diki yang kesakitan saat Dinda memasangkan tali di kakinya. "Lakukan dengan benar. Jika kau membuat nilaiku turun awas kau." Ucap Dinda yang mengancam Diki karena kesal. "Dasar kau bermuka dua, tapi untungnya orang lain..." Ucap Diki yang belum selesai berkata namun dipotong oleh Dinda. "Diam." Ucap Dinda. Pak Indra menyuruh para murid untuk bersiap, dan saat aba-aba diberikan mereka semua pun langsung berlari. Diki dan Dinda sudah sedikit jauh dari para murid lainnya. Namun, karena Dinda terlalu cepat kaki Diki akhirnya terasa sakit lagi. "Haaahhh ahhhh." Teriak Diki dengan ekspresi kesakitan. Diki yang sudah tidak kuat akhirnya mereka berdua pun terjatuh. Semua orang kaget karena melihat Diki dan Dinda terjatuh. Dinda yang tidak mau nilainya turun, ia pun lalu melepas ikatannya dan menggendong Diki hingga garis finis. Sesampainya di garis finis Dinda langsung melempar Diki ke sebelah kiri, dan Pak Indra pun menghampiri mereka. "Kau tidak apa-apa Dinda?" tanya Pak Indra dengan muka cemas. "Kau tidak apa-apa Diki?" tanya Pak Indra kepada Diki yang sedang pingsan. Diki lalu dibawa ke UKS, dan Dinda pun merasa sangat senang karena mereka juara pertama. "Hei, apakah kau sudah gila? Apa yang sudah kau lakukan kepadaku?" tanya Diki yang langsung beranjak dari tempat tidurnya. "Diki, seharusnya kau senang kita sudah juara pertama." Ucap Dinda sambil tersenyum. "Bukan itu masalahnya. Kau sudah mempermalukanku dan kau telah membuatku terlihat bodoh." Ucap Diki sambil menggaruk-garuk rambutnya sampai berantakan. "Kau memang bodoh." Ucap Dinda dengan polosnya. Saat Dinda menggerakan tangannya ke arah Diki. Diki langsung refleks mencoba melindungi kepanya. Namun ternyata Diki salah paham karena mengira Dinda akan menamparnya padahal dia cuma ingin memegang bahu Diki. "Hei hei bermuka dua mau kemana kau, meskipun kau wanita aku tidak akan bersikap lembek kepadamu." Teriak Diki yang melihat Dinda pergi dan ingin mengejar Dinda. Namun kakinya masih terasa sakit. "Orang India yang kau katakan saat itu bukan Prof Ladusing tapi Prof Shiva." Ucap Dinda sebelum pergi. Diki pun lalu mengingat kejadian saat ia menolong Dimas. "Ohh kalo masalah itukan mereka sama-sama orang India." Ucap Diki sambil menggaruk kepalanya. "Aku tidak tahu, apa benar kau itu tidak suka kekerasan, tapi kau keren tadi." Ucap Dinda yang memuji Diki sambil menutup pintu ruangan UKS perlahan-lahan. Mendengar perkataan Dinda, Diki pun melamun hingga beberapa menit. Wildan dan Sarah yang khawatir mereka pun lalu menjenguk Diki ke ruang UKS dan mereka lalu mengajak Diki untuk turun ke bawah. Diki yang masih terdiam dan melamun sama sekali tidak mendengar perkataan mereka berdua. "Apakah kau patah tulang?" tanya Wildan sambil melihat kaki Diki. "Tidak, tapi hatiku... remuk." Ucap Diki dengan pandangan kosong ke lantai. Sepulangnya sekolah Diki menunggu Dinda luar gerbang. "Dinda, Dinda tunggu." Teriak Diki sambil mengejar Dinda. "Kakimu sudah baikan?" tanya Dinda yang melihat Diki berlari menghampirinya. "Ya, itu karena cinta." Ucap Diki yang keceplosan lalu menutup mulutnya. "Dinda... Ehem ehem ayo kita berkencan." Ucap Diki yang sedikit gugup. "Aku tidak berkencan dengan orang bodoh." Ucap Dinda sambil tertawa. Dinda yang akan pergi lalu dicegah oleh Diki. "Aku akan belajar dengan giat dan tidak akan mengecewakanmu, tapi aku tidak tahu bagaimana caranya." Ucap Diki. Dinda yang mendengar perkataan Diki ia lalu tersenyum saat sedang membelakangi Diki. "Aku tidak akan kecewa karena aku tidak menyimpan harapan kepadamu. Kalau begitu ayo kita buat nilai bahasa Indonesiamu lebih bagus lagi." Ucap Dinda yang langsung melihat ke Diki dan sedikit gugup mengatakannya. Diki yang mendengar perkataan Dinda hatinya sangat senang sekali karena sebelum kenal dengan Dinda ia tidak pernah memikirkan sesuatu hal untuk belajar. Di rumahnya Diki belajar dengan giat. Bahkan saat di jalan pulang sampai berangkat ke sekolah pun Diki membawa buku dan terus membacanya. Di kelas Diki terus berusaha untuk belajar karena jika dirinya sudah menjadi pintar maka Diki akan bisa berkencan dengan Dinda. Diki yang sudah belajar giat. Dinda pun lalu memberikan tugas pilihan ganda kepada Diki. Namun setelah Dinda memeriksa semua jawaban yang Diki kerjakan ternyata jawabanya salah semua. Dinda tidak putus asa. Dia terus mengajarkan Diki hingga perutnya berbunyi karena lapar. Diki yang mendengar perut Dinda berbunyi ia lalu mengajak Dinda ke warteg Ibunya. Diki yang melihat Dinda makan sangat banyak dan lahap. Diki pun lalu berhenti mengunyah makanannya dan pokus melihat Dinda makan. "Apakah kau mau nasi goreng juga?" tanya Diki yang melihat Dinda makan banyak. "Benarkah?" tanya Dinda sambil makan mie goreng. "Tapi kau tahu kan mie goreng itu sudah porsi besar?" tanya Diki yang penasaran. "Ehemmm." Jawab Dinda sambil memakan makanannya dengan lahap. "Oke." Ucap Diki. "Pamanku normal ternyata. Dia sudah berani membawa seorang gadis." Ucap Rafan yang melihat Diki dan Dinda bersama Ibu dan Neneknya. Di sekolah para murid memulai untuk ulangan harian. Diki yang sudah belajar giat ia dengan mudahnya mengerjakan soal-soal tersebut. Sedangkan Wildan murid yang terbodoh nomor dua ia hanya bisa mengocok dadu yang dibuat dari penghapus dan ditulis ABCD. Sarah juga murid yang terbodoh nomor tiga dia langsung tidur saat soal ujian dibagikan. Diki yang sudah mendapatkan hasil ujiannya ia langsung mencari Dinda yang berada di gedung lantai tiga. Saat Diki memanggil-manggil. Dinda ternyata sedang tertidur di sebuah meja dengan disinari oleh cahaya sang matahari sore. Diki yang melihat Dinda tidur ia pun menggunakan tangannya untuk memutupi matahari yang menyinari wajah Dinda. Dinda lalu terbangun dari tidurnya dan melihat Diki yang sedang berada di depannya dengan membelakangi sinar matahari. Diki lalu mengajak Dinda untuk berkencan meskipun nilai ujiannya belum diketahui oleh Dinda. Diki dan Dinda berkeliling kota menggunakan motor honda CB250T milik Diki. Karena malam hari cuacanya sangat dingin, Dinda pun lalu memeluk perut Diki dan bersandar di belakang punggung Diki sambil tersenyum. Diki yang melihat Dinda bersandar dan memeluknya Diki pun juga ikut tersenyum. Diki dan Dinda lalu berhenti di atas sebuah cafe yang sudah lama tutup. Jika melihat lurus ke depan mereka bisa langsung melihat kota dan jalan raya dengan jelas. "Bagaimana menurutmu, bukankah kau merasa lebih baik?" tanya Diki yang tersenyum sambil menatap Dinda. "Lebih baik." Jawab Dinda yang membalas senyum Diki. "Kau telah melawati sesi belajar mandirimu lagi dan kau tidak pernah belajar dan selalu membuat masalah. Jadi untuk apa kau datang ke sekolah?" tanya Dinda dengan serius. "Kenapa apanya? Ini menyenangkan. Aku ada teman di sekolah, ada makanan dan aku juga bisa tidur di kelas. Ini seperti surga." Jawab Diki sambil memandang ke Dinda. "Mana nilai ujianmu?" tanya Dinda sambil mengulurkan tangannya. "Maaf, ternyata aku malah semakin bodoh saja." Ucap Diki sambil mengeluarkan kertas ujian di kantung jasnya. "Kau salah semua? Baiklah setidaknya kau sudah berusaha dengan baik." Ucap Dinda yang sudah pasrah. "Tadaaa lihat! Aku mendapatkan nilai 65." Ucap Diki dengan senangnya dan memperlihatkan kertas ujiannya kepada Dinda. Karena sebelumnya Diki selalu mendapatkan nilai 15. Dinda sedikit kaget karena sebelumnya nilai Diki selalu 15 tapi dia sekarang senang dengan perubahan nilai yang Diki capai. "Berapa nilaimu? 80, 90, nilai sempurna?" tanya Diki yang penasaran. Saat Diki mengatakan nilai sempurna Dinda pun langsung mengangguk. "Kau memang bukan munusia." Ucap Diki sambil menggelengkan kepalanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD