✍ PART 18 :| Please ... Don't Go — Tolong ... Jangan Pergi

1712 Words
◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦ ⠀ ✒️ ❝ Aku tahu, ketika pintu itu tertutup, bayangmu akan semakin menjauh. Dan jarak akan menjadi pemisah di antara kita. Tunjukkan padaku, bagaimana caranya menggapaimu. Apa kamu tidak bisa menyisakan sedikit hati untukku? ❞ ⠀ { Notes 19 - Roselva Walen — Please ... Don't Go (Tolong ... Jangan Pergi) } ✒️ ⠀ ⠀ Hari sudah beranjak malam. Angin mulai mendesau kencang meniup anak-anak rambut Selva ke sana ke mari. Bukannya telihat berantakan, tapi malah pembuat gadis itu menjadi semakin tampak cantik saat ia mencoba menahan helaian rambutnya agar tetap rapi. Tapi percuma. Angin terlalu nakal malam ini. Selva menggosok kedua telapak tangannya, berharap akan sedikit lebih hangat. Wim yang sejak tadi terus memperhatikan Selva, langsung berdiri dan menyelimuti gadis itu dengan jaket yang ia pakai. “Dingin, ya?” tanyanya. “Kamu mau pulang sekarang?” Selva menatapnya sendu. Kalau aku pulang sekarang, maka perpisahan ini akan makin cepat. Kapan aku bisa melihat kamu lagi, Wim? keluh Selva pilu. Hatinya masih tidak rela jika semua ini berakhir begitu saja. Apa setelah ini Wim akan menjauhinya sama seperti cewek di club waktu itu? Begitu pekerjaannya selesai, Wim akan melupakannya. Lalu menghindarinya. Akan seperti itu, kah? “Aku antar,” tawar Wim lagi. Karena Selva masih diam saja, Wim langsung mengambil keputusan menarik Selva untuk berdiri. Ia akan mengantar Selva pulang. Mungkin akan ada kesempatan untuk menjelaskan semuanya pada Selva selama di jalan nanti. Mereka berdua berpamitan pada Ruli, Fathir, Deki dan Timothius yang masih ingin bersantai di sana. Lagi pula mereka semua membawa motor. Hanya Wim yang tadi nebeng naik mobil bersama Selva. “Wim, kita jalan-jalan dulu, yuk?” ujar Selva begitu Wim mendaratkan tubuhnya di depan kemudi. “Memang besok kamu nggak sekolah? Nggak akan ngantuk?” “Sudah mulai sekolah, sih … tapi aku bete kalau sendirian di rumah. Please … kita jalan-jalan, ya? Bentaaar … aja.” Wim jadi terenyuh juga mendengar suara Selva yang menghiba. Ia mengangguk lalu memutar kemudi, bergerak menyusuri pantai dengan perlahan. Banyak muda-mudi yang duduk di bebatuan tepi pantai. Ada yang sedang berkumpul sambil bakar ikan, ada yang tengah memetik gitar, juga banyak pasangan kekasih yang berjalan sambil saling berpelukan. Duduk sambil berdekapan dan berciuman. Jadi risi juga melihatnya. Wim berdecak memalingkan muka. Tapi Selva malah memandang ke luar jendela. Tatapannya tampak kosong. “Kita ke sana, yuk,” tunjuknya ke arah bebatuan yang agak sepi. “Aku mau lihat ombak,” ujar Selva lagi seraya menoleh pada Wim. Cuma perasaanku saja, atau memang mata Selva terlihat lebih sayu saat ini? "Mana bisa ombak kelihatan saat malam, Sel ...," Wim terkekeh kecil. Mencoba mencairkan kegugupannya. "Paling nggak, suaranya 'kan dengar." Dan ... entah kenapa, setiap kali melihat ekspresi Selva yang sendu, Wim menurut begitu saja. Mereka berhenti di sisi trotoar. Menyusuri bebatuan tepi pantai tanpa suara. Wim berjalan di belakang Selva. Mencoba mengurai kata-kata, tapi ia benar-benar buntu di kata pembuka. 'Sel, kamu tahu nggak, aku cewek juga loh sebenernya'. Ah ... terlalu to the point. Selva bisa langsung shock. 'Sel, aku cakep nggak? Tapi, sebenernya aku bukan cowok. Samaranku hebat, 'kan?' Pooh (Cih)! Apanya yang hebat? bantah Wim lagi dalam hati. Selva bisa saja menamparnya saat itu juga! Akhirnya mereka hanya duduk dalam diam di atas bebatuan. “Uhm ..., gimana kalau kita bakar kembang api?” usul Wim. Selva termangu. Tapi Wim sudah beranjak berdiri dan berlari ke dekat jalan dan membeli kembang api. Selva kembali memandang hamparan laut. Bulan terang membuat gambaran bayangan bundar di atas gelombang. Perasaannya semakin tertekan. Besok ia akan kembali menjalani hari-hari berat. Disibukkan oleh skenario, pemotretan, sekolah, jumpa fans dan lainnya. Besok ... entah ia bisa, entah tidak untuk bertemu Wim lagi. Huh … keluhnya. ⠀ Tes …! ⠀ Selva membelalak kaget ketika tiba-tiba saja ada cahaya memancar di depan matanya. Kembang api kecil. Wim sudah datang dengan senyum terkembang. “Kaget, ya. Makanya jangan ngelamun terus. Ntar kesambet, lho!” ujarnya seraya menyerahkan kembang api yang lain ke tangan Selva. Selva menerimanya. ”Wim ... apa nanti ini bakalan meledek?” tanyanya ketika Wim membakar kembang api di tangan Selva. Lalu belum sempat Wim menjawab, Selva sudah melempar kembang api itu ke pasir begitu cahayanya memercik kecil di kulit lembutnya. Wim terkekeh. ”Masa sih, kamu takut ngebakar kembang api kecil begini?” Selva cemberut. ”Habis ... aku pernah ditakut-takuti sama tetanggaku waktu kecil. Dia suka nyodok-nyodokin kembang api ke muka aku. Aku 'kan jadi takut, Wim.” Wim tersenyum kecil. ”Sini, deh. Kita pegang sama-sama. Lama-lama kamu pasti suka dengan kembang api ini,” kata Wim sambil menuntun tangan Selva, kemudian membakar ujung kembang api itu. Sejenak Selva sempat ingin menarik mundur tangannya dari percikan api, namun Wim menahan tangannya. Memberinya tatapan menentramkan. Selva mulai tenang. Mulai menikmati cahaya kembang api yang memancar. Menanggapi lelucon-lelucon Wim. Tertawa bersama Wim. Lalu melempar kebang api mereka bersamaan ke udara. Melihat cahaya kembang api yang saling bersilangan. Indah sekali. Apalagi dihibur dengan suara gitar anak-anak muda yang nongkrong di sekitar sana. Selva makin betah. Ia melirik lagi ke sampingnya. Wim …. HILAAAANG ...???!!! Selva celingukan panik, takut kalau ia ditinggal sendirian di sana. Tapi, ia mengernyit begitu melihat Wim sedang ngobrol bersama cowok-cowok yang lagi main gitar tadi. Cepat amat akrabnya? pikir Selva heran. Wim melambai ke arahnya. Mengajaknya ikut serta berkumpul bersama mereka di sana. Selva melangkah ragu-ragu. Ia merogoh kacamata dodo dari dalam tasnya. Takut jika ada di antara mereka yang mengenalinya. Selva menatap wajah-wajah itu. Kelihatannya ramah. Lagi pula cewek-ceweknya juga banyak. Ia menghembuskan napas pelan. “Hai ...,” sapa mereka begitu Selva ikut duduk bergabung bersama kerumunan itu. Selva balas ber-'hai' juga. Wim memperkenalkannya kepada mereka, kemudian duduk di sebelah Selva. Dari sana Selva tahu kalau mereka adalah remaja yang memang tinggal di sekitar pantai itu. Mereka hanya sedang refreshing saja. Duduk-duduk sambil bermain gitar dan bernyanyi. Selva ikut-ikutan terbawa suasana yang ceria itu. Apalagi waktu melihat Wim ikut-ikutan memetik gitar dan bersenandung plesetan lagu ‘cicak-cicak di dinding’ logat Arab. Entah kenapa Wim suka sekali lagu itu. Mereka pada ketawa ngakak. Wim juga menyanyikan lagu ciptaannya sendiri. Selva dan orang-orang itu jadi terpana setelah mendengarnya. ⠀ "Kulihat binar itu Kurasakan sesuatu Mungkinkah ada waktu Untuk kita kembali bertemu Ada satu kata Tak pernah kusangka Ingin kuucapkannya Tapi ku tak bisa." ⠀ “Tsssseeeeeeehhhhh!!!!!” sorak mereka. Dan mata orang-orang itu tidak lepas dari Wim dan Selva. Mungkin mereka beranggapan, Wim dan Selva pacaran. ⠀ Tanpa terasa hari sudah benar-benar hampir lewat tengah malam. “Ups ..., kayaknya kita udah kemalaman,” kaget Wim ketika melihat arloji di tangannya. “Kita pulang, karena besok kamu harus sekolah.” Selva menurut. Sementara itu Wim melambai, pamit pada teman-teman baru mereka. Walau pun, sebenarnya Selva agak sedih, karena ia masih ingin lama-lama di sini bersama Wim. Tapi, Selva juga sadar, selama apapun ia mencoba menunda waktu, mereka akan tetap berpisah. Selva juga harus istirahat. Matanya memang sudah agak mengantuk. Alhasil, baru berjalan beberapa menit, Selva sudah ketiduran di mobil. ⠀ Sampai di rumah, melihat Selva yang tertidur pulas, Wim jadi tidak tega membangunkannya. Wim memandang Selva lagi. Kalau sedang tidur, cewek ini semakin tampak mungil. Imut, polos tapi juga rapuh. Bibirnya kecil, pikir Wim ngelantur. Ia menggelengkan kepala kencang, seolah mengusir pikiran-pikiran anehnya yang tiba-tiba datang. Akhirnya … tak ada pilihan lain. Wim menggendong Selva ke dalam rumah. Badannya ringan sekali, pikir Wim lagi. Tentu saja, namanya juga cewek. Pasti jaga berat badan. Dulu, Tara saja kalau beratnya sudah naik satu kilo aja langsung histeris. Paniknya nyaris kayak ayam baru bertelor. Wim tersenyum mengingatnya. Ia terbayang lagi dengan Tara. Apa akan ada lagi gadis seaneh Tara? Kalau Tara dan Selva digandengkan, cantikan mana, ya? pikir Wim tambah ngelantur. Ia melirik wajah Selva yang mungil dalam gendongannya. Tanpa ia sadari, kakinya tersandung salah satu boneka beruang Selva yang terkapar di lantai. “UUUWWWWAAAAAAAA!!!!” GUBRAK!!! Wim kaget. Selva terbangun. Untung saja jatuhnya di atas tempat tidur! “Aduh … ada apa sih?” Wim tersenyum kagok. “Sorry, kaki aku kesandung,” jelas Wim. Ia jadi rada kikuk, karena tadi saat terjatuh, tidak sengaja ia mencium bibir Selva. Selva menguap. “Ya udah … kamu istirahat, deh. Aku pulang, ya ...,” tukas Wim seraya beranjak berdiri. “Wim! Tunggu ...!” panggil Selva lagi. “Kamu di sini aja ya. Ini pertama kalinya aku bobo di rumah baru. Aku masih takut. Besok baru datang asisten rumah tangganya. Please ... aku takut sendirian ...,” rengek Selva. Wim tercenung. "Please. Kamu bobo di kasur bawah. Di sini aja. Tapi jangan macem-macem ya ...." Hah? Apa yang harus dimacem-macemin? Wim mengerutkan alis. Ia sempat berpikir untuk mengatakan yang sebenarnya pada Selva. Wim ingin jujur bahwa ia sebenarnya CEWEK juga. Tapi bagaimana cara mengatakannya? Wim menatap Selva lagi. Baiklah, ia akan menemani Selva malam ini. Tapi sebelum perempuan itu bangun besok pagi, Wim harus sudah pergi dari sini, putusnya. Dan sudah jadi tradisi buat Wim, kalau selesai berbisnis dengan perempuan, khususnya yang ia tahu ada rasa terhadapnya, maka segala hubungan harus berakhir. Bahkan nomor handphone-nya pun langsung ia ganti. Tapi … Selva … rasanya ia tidak tega. Hatinya entah mengapa merasa berat. Tapi Wim harus tega! Kalau tidak, Selva akan luar biasa kecewa pada Wim, batin Wim. Mata sendu gadis itu masih menatapnya, mengharapkan jawaban. Wim mendesah pelan. "Okay." ⠀ Selva sepertinya sudah terlalu letih untuk beranjak ke kamar mandi. Begitu Wim mematikan lampu kamar dan hanya menyalakan lampu tidur yang temaram, Selva sudah membaringkan tubuhnya di ranjang. Bunyi detik jam di dinding berpacu bersama detak jantung Wim. Ia benar-benar gelisah. Ia ingin mengungkapkan jati dirinya pada Selva. Jangan sampai Selva membencinya ketika mereka bertemu kembali. "Sel ..., kamu udah tidur?" bisik Wim pelan. "Hm ...." "Kamu pernah benci sama orang nggak, Sel?" "Nggak ...," jawab gadis itu dengan suara serak. Wim berpikir lagi. "Kalau ada yang merahasiakan sesuatu dari kamu, kamu marah nggak?" Selva terdiam. "Aku ada rahasia yang pengen aku kasih tahu ke kamu." Wim menarik napas sejenak. "Sel ... aku ...." Wim mendengar helaan napas teratur dari Selva. Huff ...! Wim menghempaskan napas keras. Sepertinya Selva sudah tidur. Biarlah, nanti Selva juga akan menyadarinya. Wim memejamkan mata. . . . ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD