✍ PART 9 :| Nosy Guest — Tamu Usil

1741 Words
◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦ ⠀ ✒️ ❝ Kadang kita tidak pernah tahu  apa yang kita undang.  Apa yang begitu saja datang.  Waktu dan perjumpaan akan mengarah ke mana?  Akankah pergi atau tetap tinggal? ❞  ⠀ { Notes 10 - Roselva Walen — Thrilling calls (Panggilan mendebarkan) } ✒️  ⠀ ⠀ Berulang kali Selva membolak-balik tubuhnya. Menutup mukanya dengan selimut, tapi tetap saja rasa kantuk tak kunjung datang. Seperti telepon dari Wim. Juga SMS-nya. Mungkin dia takut mengganggu tidurku. Selva mencoba berpikir positif.  Nggak biasanya ada cowok yang aku kasih kartu nama tapi nggak langsung mencoba menghubungiku, pikirnya. Wim itu aneh!  Kembali pikirannya melayang pada pemilik mata emas itu. Tubuh atletis, wajah yang cakep, lalu senyumnya yang … hmm … menawan. Belum lagi suaranya, merdu.  Tapi ….  Dia mencium dancer itu! Di bibir pula!  Wim bahkan tidak memperhatikan siapa yang dia cium!  Apakah dia seorang playboy?  Atau jangan-jangan fuckboy?  Selva merengut jengkel ketika mengingat kejadian tadi.  Kenapa?!  Sebenarnya Wim itu bagaimana? Dia itu sopan atau nakal, sih?  Apa setiap kali manggung dia selalu berdansa seperti tadi? Segitu urakannya?  Selva mengingat kembali momen mereka berdansa tadi. Ia seakan masih bisa merasakan jejak tangan Wim yang hangat ketika memeluk pinggangnya.  Seandainya saja teman Wim tidak datang mengganggu ke romantisan mereka, apakah ia dan Wim sudah berciuman tadi?  Selva menjerit kecil, menepuk-nepuk pipinya. Hatinya sedikit terobati. Rasanya begitu romantis. Selva mendesah menatap langit-langit kamar.  Besok ia akan segera bertemu Wim lagi. Ia harus tampak fresh dan menarik. Selva tersenyum kecil. Jantungnya terasa berdebar kencang.  Hoaammm ….  Selva menguap. Sudah pukul setengah empat pagi. Matanya sudah terasa sepet. Mulai terpejam. Lalu akhirnya ia terlelap.  Masih sempat berharap mendengar dering telepon atau SMS dari Wim.  ⠀ ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦ ⠀ TILULILULIT .... TILULILULIT ....  Suara berisik membuat Selva tersentak dari alam bawah sadarnya.  Apa itu? pikirnya masih melayang-layang. Masih enggan membuka mata.  Bunyi weker, kah? Tapi ia tidak menyetel jam weker semalam. Bunyi weker juga lebih annoying (mengganggu) dari ini.  Huh! Selva mendesah kesal. Rasanya baru sekejap ia memejamkan mata. Sekarang suara berisik ini malah mengganggu bobo cantik nya! Selva menghentak-hentakkan kakinya ke permukaan ranjang saking kesalnya.  Namun, ponsel di atas nakas Selva terus berdering berkali-kali. Ini sudah keterlaluan! Siapa sih, menelepon pagi-pagi? rutuk Selva sambil menutup wajahnya dengan bantal.  Mungkin Bastyar nggak terima teleponnya aku tutup cepat-cepat semalam. Selva mendesah kesal karena dering itu tidak kunjung berhenti.  Baiklah, ia tidak bisa mengabaikan nada dering itu lagi.  “Hallo ...,” jawab Selva, masih dengan mata terkatup.  “Suara kamu serak. Baru bangun tidur, ya?”  Jantung Selva sontak berdegup kencang. Seketika matanya terbuka lebar, nyaris tak kuasa menopang bola mata yang ingin menghambur keluar.  Wim!  Oh, God (Oh, Tuhan) ...!  “Kamu ada di mana?” Selva bangkit dari ranjangnya.  “Lihat aja ke jendela.”  Selva makin kaget. Ia berlari panik menghampiri jendela kamar. Membuka tirai dan nyaris pingsan ketika melihat Wim sudah ada di depan gedung apartemennya. Mengenakan celana gunung hitam dan kaos putih dilapisi jaket hoodie motif army. Masih di atas motor dan sedang menggenggam ponselnya. Dia tersenyum melambaikan tangan pada Selva.  "Dari mana kamu tahu, posisi kamar aku?" tanya Selva penasaran.  "Aku punya sepupu yang pernah tinggal di apartemen ini. Dulu. Persis di jendela sebelah kamar kamu."  Masa iya?  "Bohong!" Selva tak percaya.  "Aku serius, Selva .... Dia seorang calon dokter bedah syaraf. Namanya Daniyal Rafan Alfaraz. Lagipula aku bukan pembohong. Trust me (Percayalah padaku)."  Selva mencibir.  “Boleh aku masuk?” desak Wim lagi.  Selva gelagapan. Pikirannya terasa berhamburan. Ia belum siap sama sekali! Kondisi kamar apartemennya, dirinya, semuanya berantakan! Kacau-balau!  "Tunggu 15 menit ...!" pintanya resah.  Aaarrgggghhhhh ...!!!  Ingin rasanya Selva menjerit!  "I can't wait (Aku tidak bisa menunggu) ...," balas Wim berirama sambil terkekeh.  “Aku belum mandi ...," tambahnya memelas, berharap Wim mau mengundur waktu kedatangannya.  “Aku nggak akan ngintip kamu walaupun kamu mandi dan aku sudah ada di dalam.” Mana mungkin berharap menatap barang yang sama, pikir Wim.  Selva mengerang panik.  "Kamu tinggal di kamar nomor 11, 'kan?"  “Ya. Aku di lantai tujuh nomor 11.”  "OK. I'll be there (OK. Aku akan ke sana)."  Selva menutup telepon cepat-cepat. Ia bergegas membereskan barang-barang yang tampak berceceran. Ia merutuk kesal. Harusnya kemarin ia memanggil orang yang biasanya membersihkan apartemennya. Tapi rencana pelarian dengan teman-temannya terlalu mendadak dan terlalu menggoda untuk diabaikan.  Bunyi bel apartemen membuat Selva semakin kaget dan belingsatan. Menyusul nada dering handphone-nya.  "I'm here. Let me in (Aku di sini. Biarkan aku masuk)," ujar suara di seberang sana, sambil memutus panggilan.  I'm done (Habislah aku)!  Selva mengusap keringat yang mengucur di dahinya. Dengan ligat ia menyambar lapisan gaun tidur sebelum membuka pintu apartemennya. Ia sempat menangkap bayangannya di cermin ketika berlari, sambil masih berusaha membenahi beberapa benda yang berceceran di lantai dengan terburu-buru. Berantakan sekali. Malu. Apa, yang akan dipikirkan Wim, ya? Ia kira Wim datang setidaknya pukul 10 atau 11 siang. Tapi ini masih jam 6.30 ... ya ampuuuun ...!  Belum sempat Selva mencoba membenahi penampilannya, intercom apartemennya sudah keburu memperdengarkan suara Wim lagi.  "Are you okay there (Apa kamu baik-baik saja di sana)?"  Selva mendengar suara kekehan terendam di ujung sana. Wim pasti sedang mengerjainya dengan datang pagi-pagi sekali.  Bibir selva mengerucut kesal. Ia memang sangat ingin Wim datang hari ini, tapi tidak dalam kondisi kacau balau begini. Ia bahkan tidak terlihat cantik sama sekali. Bagaiman Wim bisa suka padanya nanti?  "Hello lady (Halo, nona) ...?"  Ya ampuuunnn ... nggak sabaran banget .... Selva menghambur panik menuju pintu.  "Aku sedang dipelototi tetanggamu di sini. Help me (Tolong aku)," tambah Wim.  AKU YANG BUTUH PERTOLONGAN DI SINI ...! Jerit Selva dalam hati.  ⠀ Wim ternganga begitu Selva membuka pintu dengan napas terengah-engah. Keringat menetes dari dahi hingga ke leher jenjangnya yang putih. Rambutnya yang hitam panjang tergerai acak-acakan seperti habis kerja rodi.  Dia tidak mungkin senam Poco-poco sambil mengenakan lingerie begini 'kan? Bibir Wim berkedut.  Mata Wim melirik turun ke arah lingerie Selva yang amat sangat transparan. Potongan bagian lehernya juga begitu rendah. Bahkan dalamannya pun tercetak sedemikian jelas. Meskipun, sudah dilapisi jubah luar yang sebenarnya fungsinya hampir tidak ada karena sama tipisnya.  Wim mengernyit.  Matanya tanpa sadar mengikuti gerakan keringat di dagu Selva yang menetes dan mengalir turun ke dadanya.    Damn it! So sexy (Sial! Seksi banget)!  Wim menelan ludah. Apakah itu empuk? Haruskah ia iri pada gundukan itu, yang ia sendiri tidak punya?  Sialan! Gue mikir apa, sih?! Wim memarahi dirinya sendiri.  Apa begini cara anak zaman sekarang menyambut tamu?! Sekarang ia jadi marah sendiri.  Wim berdehem dengan wajah yang mulai membara, mencoba mengendalikan otaknya yang mulai berkelana ke mana-mana. Ia mengalihkan pandangannya ke samping. Ke arah penghuni apartemen sebelah yang sedang kerepotan menarik anaknya yang masih berumur lima tahun keluar dari kamar. Lalu mengomel menghadapi sikap si anak yang meraung karena takut diajak ke dokter gigi.  Wim tersenyum tipis, lalu kembali menoleh pada Selva yang balas tersenyum kaku melihatnya.  Selva memandunya menuju ruang tamu. Wim duduk di sofa santai itu.  “Maaf. Kamu nggak keberatan nunggu sebentar, 'kan?” tanya Selva gelisah. Ia merasa gerah, bau dan buruk rupa di hadapan Wim yang sudah rapi, wangi dan tampan sekali.  Wim menggangguk seraya mengamati ruangan di sekelilingnya. Apartemen ini bagus dan luas. Mungkin hanya agak sedikit berantakan saja.  “Mau minum apa?” Selva malu sekali. Tatapan Wim seakan mengatakan ia tidak pandai mengatur ruangan. Biasanya apartemennya selalu bersih. Hanya kali ini saja yang seperti kandang kuda.  “Kamu mandi aja. Aku bisa ambil di dapur. Nanti dapurnya aku cari sendiri,” ucapnya tanpa melirik Selva sama sekali.  “Tapi ….”  “Tenang aja …. Nggak bakalan ada yang hilang, kok.”  “Bukan begitu. Seharusnya aku melayani tamu,” namun Selva sadar, kalimatnya punya banyak makna, jadi ia segera menambahkan, “Uhm, maksudnya membuatkan minum.”  Wim menatap tajam mata Selva. Apa yang dipikirkan perempuan ini? Muka cewek itu memerah. Tiba-tiba saja urat jailnya tergelitik. Jangan-jangan cewek ini takut diperkosa, pikirnya.  Tapi …, sekalian saja … latihan akting!  Wim beranjak perlahan mendekati Selva dengan padangan menyipit. Untuk ukuran mata yang sudah seperti elang, mata Wim sudah cukup menggetarkan. Tapi kalau disipitkan lagi, bisa jadi mengerikan. Apalagi dengan irish amber itu. Siapa yang tidak akan tertawan ketika melihatnya?  Selva merasa gerah sendiri ditatap sedemikian rupa. Apa yang dilihat Wim? pikirnya. Ia menyilangkan tangannya di d**a. Menutup gaunnya yang amat transparan.  Semakin Wim maju, Selva makin melangkah mundur. Hingga akhirnya Selva tersudut ke dinding. Tiba-tiba rasa takut menyelimutinya. Wajahnya memerah dan jantungnya menabuh keras. Berdetak lebih cepat dari biasanya. Apalagi ketika tangan kiri Wim menyentuh dinding, menghalanginya dari koridor di sebelahnya. Tubuh mereka sudah berdekatan. Selva bisa merasakan napas Wim mendengus keras di wajahnya. Hangat, dan bikin bulu roma berdiri. Selva seakan mau pingsan rasanya.  Tubuh Selva bergetar manakala jemari Wim menyentuh lembut lehernya, mengangkat dagunya. Hidung mereka nyaris bersentuhan. Selva menelan ludah. Keringat dingin mengalir di alisnya. Ia ingin berteriak minta tolong. Tetapi jangankan begitu, mendorong tubuh Wim saja ia tak kuasa, bahkan menolak pun tak mampu.  Mata Wim serasa memiliki magnet yang menghipnotis dirinya. Dan mata itu semakin jelas warnanya. Irish amber Wim menggelap.  Wow ....  Sial, Selva! Ini bukan saatnya terpesona! Selva mengomeli dirinya sendiri.  Bibir Wim bergerak. Membuka dan mengatup.  “Lain kali,” desis Wim. Napasnya kembali menghangat. Wangi. “Kalau ada cowok yang datang ke apartemen kamu, jangan pernah biarkan dia berbuat begini,” gumamnya seraya menjauh. “Kamu bisa diperkosa, dear.”  Selva tercengang. Wajahnya memerah padam. Baru kali ini ada cowok yang berbuat seperti itu padanya. Membuat jantungnya berdetak kencang. Membuatnya berhayal yang bukan-bukan, kemudian memperingatkannya agar hati-hati. Apa maksudnya?!  Pelecehan!!!  “Maaf. Jangan tersinggung,” ucap Wim kembali menegakkan badannya dan mengacak-acak rambut Selva. “Lebih baik kamu mandi. Aku janji nggak ngintip.” Ia tersenyum, mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya sambil berkata tanpa suara ”I swear (Aku bersumpah).”  Mandi yang bersih, ya. Jangan pakai pakaian seksi lagi, tambah Wim dalam hati.  Selva melirik Wim sekilas, sebelum akhirnya masuk ke kamarnya. Ia beranjak bersama segudang pertanyaan. Kenapa bisa-bisanya ia tidak menolak saat Wim mendekatinya. Jangan-jangan Wim akan berpikir dia cewek gampangan. Jangan-jangan setelah ini Wim akan menjauhinya. Aku bodoh! Batin Selva sementara itu shower mengucur deras di atasnya.  Sungguh memalukan! Memalukan! ulangnya berkali-kali.  . . . ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD