✍ PART 8 :| Future Scenarios — Skenario Masa Depan

1641 Words
◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦  ⠀ ✒️ ❝ Jika hidup adalah panggung sandiwara,  maka kita semua adalah artisnya.  Hanya saja alur kehidupan ini tidak ada skenarionya. ❞  ⠀ { Notes 9 - Roselva Walen — Talking about lifestyle (Bicara tentang gaya hidup) } ✒️  ⠀ ⠀ Malam ini Selva tidak jadi menginap di rumah Elga. Katanya ia ingin istirahat dulu karena besok harus bersiap-siap mengatur rumah baru. Nabel, Yadine dan Elga terpaksa mengizinkan, apalagi setelah Selva bilang ia cuma diberi libur lima hari oleh managernya. Cukup untuk beres-beres pindah ke rumah yang baru.  Jadi, malam ini Selva sudah berada di apartemennya kembali. Telepon dari Bastyar, manajernya sudah lebih dari dua puluh kali, pesannya terdengar galak. Mau dengar?  ⠀ Yang pertama, tengah hari.         12:25 => Rosel, kamu di mana sekarang? Jawab kalau kamu ada di rumah!  ⠀ Lalu pukul setengah lima sore.  ⠀        16:30 => ROSEL, JANGAN BERCANDA! KAMU ADA DI MANA?! SAYA CAPEK NYARI KAMU SAMPAI KE LUBANG KELINCI!         KENAPA HANDPHONE-NYA DIMATIKAN????!!!!!!!!!  ⠀ Maksudnya ke kebun binatang, tempat favorit Selva saat merasa suntuk.  ⠀        19.00 => Saya sudah di depan apartemen kamu. Kenapa kamarnya gelap? Benar kamu nggak di rumah, Rosel? Nggak di culik, 'kan? Jangan coba berani kabur! Kita UDAH tekan KONTRAK!  ⠀ Jam makan malam.  ⠀        20:00 =>SIAL, ROSEL! KAMU DI MANA???!         Kamu lupa ada pertemuan apa malam ini, hah?!         Saya terpaksa buat alasan bohong tadi sama produser?!  ⠀ Mid night (Tengah malam).  ⠀        00:07 => Rosel, kalau sampai besok pagi handphone kamu tidak aktif dan kamu tidak kasih kabar juga, SAYA AKAN LAPOR POLISI!  ⠀ Kelihatannya sudah benar-benar panik.  Selva akhirnya menghubungi Bastyar sebelum pria itu membuat kerusuhan publik.  Bastyar bukan manajer biasa. Usianya pun masih muda. Masih sekitar 26 tahun. Kadang banyak gosip yang mengatakan mereka pacaran, tetapi keduanya segera menampik isu tersebut. Selva juga tidak peduli kalau Bastyar punya pacar atau tidak. Ia murni hanya menganggap Bastyar sebagai manajernya.  “Sorry, Yar. Tadi aku lagi bareng temen-temen,” katanya ketika teleponnya dijawab dengan cepat. Sepertinya managernya itu belum tidur.  “Tapi seharusnya kamu ngomong dulu.”  “Kalau ngomong, nggak bakalan diizinin.”  “Tentu! Seharusnya malam ini kamu ada pertemuan dengan produser. Trus kamu harus buka acara di Gedung Kebuyaan. Saya terpaksa men-delete itu semua!” marahnya. “Dan saya disindir sama pak Bram!”  Pria itu terdengar menarik napas.  “Entah apa kata publik nanti, apalagi wartawan. Acara di Gedung Kebudayaan itu juga penting. Banyak fans kamu di sana. Pamor kamu bisa jatuh, Rosel ...! Kamu tidak mau di cap dalam jejeran seleb sombong, 'kan?” tekannya.  “Maaf,” ujar Selva sesak.  Sebetul ia ingin sekali menghajar mulut bawel Bastyar. Tapi, seperti biasa, Selva tidak pernah bisa mengatakan apa yang ia mau. Hanya pasrah menerima keadaan. Ditambah lagi Bastyar adalah anak sahabat Papa, yang pernah sangat berjasa memberi modal saat perusahaan Papa Selva bangkrut. Bagaimana caranya ..., kalau hidup ditekan oleh hutang budi dan balas jasa?  “Gimana dengan rencana pindah dari apartemen itu? Saya sudah dapat orang buat mengatur rumah baru kamu.”  Selva ternganga. “Jangan! Aku sudah punya teman yang akan mendekornya.”  Diam.  “Siapa? Jangan pernah membawa masuk sembarang orang ....”  “Dia bukan sembarang orang, Tyar,” bantah Selva cepat. “Dia temanku.” Seolah mendapat ide agar tidak membuat Bastyar curiga, Selva langsung menambahkan, “Siapa tahu kalau sama dia, harganya bisa sedikit miring.”  Terdengar gumaman. “Apa perlu saya ikut membantu, bes ...?”  “Nggak usah!” potong Selva segera. Cenderung keberatan. “Begini, lebih baik kamu istirahat saja. Jalan-jalan, kek.” Yang penting pergi jauh-jauh, batinnya menambahkan.  Diam lagi.  “Oke.”  “Bye,” Selva cepat-cepat mematikan panggilannya. Ia takut, Bastyar akan memperpanjang pidatonya. Kalau itu terjadi, maka matilah. Bisa-bisa telepon dari Wim nggak masuk!  Seperti terkena sengatan listrik, Selva tersadar. Ia segera mengaduk-aduk tasnya. Mencari charger handphone lalu segera mencasnya, biar nanti jika telepon Wim masuk, mereka bisa mengobrol lama.  Sayang sekali, pikirnya. Lagi-lagi aku nggak nanya nomor handphone Wim. Sebenernya sih, aku ingat untuk nanya. Coba kalau di sana nggak ada anak-anak, pasti aku nggak bakalan gengsi nanyain nomor handphone Wim.  Aduh … kok nggak ngantuk-ngantuk juga, ya?  Selva melirik jam weker nyala dalam gelap di nakas. Sudah pukul tiga malam. Lampu kamar sudah dimatikan, tetapi pikirannya masih melayang-layang. Ia masih menunggu telepon dari Wim. Kenapa nggak dateng-dateng juga?  Selva mendesah. Ia mengingat lagi obrolannya dengan teman-temannya di Club setelah Wim pergi.  ⠀ ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦ ⠀ “Loe serius mau main film begituan, Sel?” tanya Nabel mencela.  Selva mengalihkan pandangan pada sahabatnya itu.  “Sebenernya gue nggak mau. Tapi mau gimana lagi. Manager gue bilang, film itu bagus dan menantang. Apalagi di produseri rumah produksi terkenal. Itu bisa mengangkat popularitas gue juga nantinya. Gitu katanya,” ujar Selva perlahan. Nyaris tidak terdengar diantara berisiknya suara dentuman musik.  Nabel mendesah, saling pandang dengan yang lain.  “Loe emang bakalan makin populer. Tapi apa itu jaminan buat loe bahagia? Loe malah makin kayak mayat hidup kalo gue lihat sekarang!”  “Bener tuh! Ganti aja manager loe, Sel,” celetuk Elga ikut kesal. “Itu sama kayak pemerasan tenaga terhadap anak di bawah umur! Loe dibuat sibuk sampai jadi mayat.”  Nabel berjengit menoyor kepala Elga. Siapa yang jadi mayat? Kok artinya jadi beda jauh begini?  Selva terkekeh melihat mimik wajah Elga. Di antara mereka berempat memang Elga yang paling muda usianya.  “Gue belom jadi mayat Elga. Kenapa loe malah nyumpahin gue?" Selva tergelak. "Lagian Gue udah 17, El. Bukan di bawah umur lagi ....”  “Oh, iya ya ....”  Yadine menoyor kepala Elga. “Oon!” ucapnya sadis.  ”By the way (Omong-omong), loe nyadar nggak, Sel. Gue aja yang baru bolak-balik baca sedikit script loe ....” Yadine menghentikan kata-katanya sambil menggigit bibir. “Okelah temanya bagus, tapi gue rada risi karena ada adegan yang ‘ehem’ itu. Gue nggak percaya loe bisa beradegan aneh kayak gitu.”  “Iya, mana sama cewek pula!” timpal Elga.  “Loe nggak jijik apa, adegan begituan sama cewek nggak jelas, di depan kamera. Ditonton para kru. Haduuh ... nggak kebayang gue ....” Nabel menepuk-nepuk jidatnya dengan frustrasi.  “Itu 'kan ciuman pertama loe, Sel. Masa direbut cewek?” Yadine berdecak.  “Iya bener, tuh. Mending frist kiss loe dikasih buat cowok seksi tadi,” ceplos Elga dengan mata berbinar lugu. Pikirannya merujuk pada Wim.  Mereka saling memutar bola mata melihat Elga.  Tapi benar juga, batin Selva. Bagus buat Wim. Selva membayangkan. Kalau seandainya ia bertingkah agresif seperti cewek yang mencoba mencuri ciuman Wim tadi, apa Wim juga akan menolaknya? Atau malah ketagihan? Selva tersenyum-senyum sendiri.  “Kenapa muka loe merah? Mesem-mesem lagi! Loe ngayal apa, Sel?” sindir Nabel. Ia sudah sangat paham melihat raut wajah Selva setiap kali berada di alam lain. Dunia khayal.  “Paling ngimpi ciuman sama Wim.”  Gosh (Wah)!  Yadine! Kok, tahu sih? Selva mengerucutkan bibirnya.  “Gue 'kan belom ada hubungan apa-apa sama Wim. Udahlah nggak usah bahas yang nggak ada hubungannya.”  "Belom ...," kekeh Yadine.  Selva berdecak.  “Trus gimana?” cecar Nabel lagi. “Loe tetep main di film itu?”  Selva mendesah berat. “Kalian 'kan tahu, gue udah tekan kontrak. Jadi sekarang mau nggak mau gue harus ngejalaninnya. Nggak mungkin gue batalin.”  “Tapi, loe nggak takut sama reaksi masyarakat? Bisa-bisa loe dihujat. Tema film ini kan sensitif banget di Indonesia.  Loe nggak lihat, film tentang keperawanan. Belum lagi film yang mirip temanya dengan loe, tentang lesbo juga? Banyak menuai protes, loh. Malahan disuruh tarik dari peredaran,” keluh Yadine.  “Tapi 'kan itu nggak berpengaruh ke artisnya, guys,” bantah Selva, lalu melanjutkan, “Gue tahu Indonesia memang masih mempertahankan ke-timur-annya. Pandangan masyarakat, agama, adat, moral ..., gue tahu. Tapi banyak yang menutup mata dengan segala fenomena yang banyak terjadi saat ini. Khususnya di kalangan remaja.  Narkoba, miras, pekat (penyakit masyarakat) – penyimpangan seks atau bahkan MBA (Married by Accident) di usia remaja. Seharusnya masyarakat khususnya orang tua peduli dengan itu semua. Tapi yang ada, lebih banyak orang yang lebih care sama harta, uang, karier, jabatan, daripada harus mendidik anak-anak mereka sendiri. Malah menganggap menyekolahkan anak di sekolah terkenal setinggi mungkin, itu sudah cukup.”  Selva menarik napas kemudian melanjutkan.  “Kadang gue nggak habis pikir. Kenapa banyak orang lebih senang memberi limpahan kekayaan daripada kasih sayang pada anak-anak mereka. Pantas kalau si anak yang kesepian mencoba mencari kesenangan dan kasih sayang dari orang lain. Gitu juga dengan film yang bakal gue peranin, mencintai perempuan juga. Sosok yang dia percaya bisa melindunginya, yang dia kagumi juga. Orang tua bukannya menyalahkan cara mereka mendidik, malah menghujat pergaulan, lingkungan dan pengajar anaknya! Anak itu 'kan dibangun mentalnya dari dalam keluarga,” ucapnya panjang lebar.  Wajah-wajah di depannya nampak terpekur.  “Coba loe lihat di sekitar kita.” Selva mengedarkan pandangan ke sekeliling Club yang remang-remang. Menunjuk salah satu meja yang paling dekat dengan lantai dansa. “Loe pernah lihat cewek itu, nggak?”  Teman-temannya ikut memperhatikan cewek berpakaian seksi dengan fishnet stocking (stoking jala).  Ya, ampuun ...! Itu teman sekelas mereka!  “Loh, bukannya dia cupu ya?” Yadine berbisik kecil.  “Dia cupu di sekolah,” jawab Selva. “Gue tahu tentang dia dari gosip yang beredar dikalangan temen-temen artis, bahwa ayahnya, yang seorang CEO itu, punya simpanan artis yang umurnya sebaya dengan kita. Lalu anaknya jadi begitu ....”  Mereka saling berpandangan ketika cewek yang tadinya cupu itu, ditarik oleh seorang laki-laki paruh baya. Mereka berjalan berpelukan, lalu menghilang di balik ruangan lain.  Nabel menggelengkan kepala.  “Kasihan .... Bapaknya cari daun muda. Anaknya dilahap daun tua ...,” Elga ternganga. "Karma instan."  . . . ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD