✍ PART 10 :| Remembering Adolescence — Mengenang Masa Remaja

2119 Words
◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦  ⠀ ✒️ ❝ Apa benar waktu bisa mengubah semua?  Manusianya?  Cita-citanya?  Pola pikirnya? ❞  ⠀ { Notes 11 - Wim — Remembering adolescence (Mengenang masa remaja) } ✒️  ⠀ ⠀ Wim berjalan-jalan mengitari ruang tamu. Apartemen ini benar-benar sepi, pikirnya sambil mendekati bufet TV dan VCD Player. Mencari VCD (Vidio Compact Disc) di rak bawah. Lalu tersenyum dengan mata berbinar saat menemukan CD Case (tempat penyimpanan CD/DVD). Agak berat. Sepertinya isinya cukup banyak.  Hey … what is this (Apa ini)?  Ia memutar-mutar CD itu, mengamati label gambar DVD-nya.  Wow … wow … wow ….  Anak sepolos itu, bisa juga nonton beginian. Blue Film. Kalau dia jadi adikku, takkan kuizinkan nonton ini. Nggak cuma satu. Komplit. Kolektor film b**ep ternyata. Pantes di rak banyak majalah ... hmm ... majalah playboy semua. Dasar ABG! batin Wim.  Anehnya ia tidak pernah merasa berdosa menyentuh barang-barang seperti itu saat seusia Selva. Padahal yang menemaninya nonton adalah personel band-nya, cowok semua dan mereka sama sekali tidak tahu kalau dia perempuan. Kecuali Rodeo tentunya. Biasanya kalau Wim ikut ngumpul, Rodeo pasti akan mematikan film itu atau mengusir Wim biar Wim tidak ikutan menonton bersama mereka.  Sangat ke-Babang-an!  Yiachk ...!  Sambil menggeleng-gelengkan kepala, Wim menyingkirkan CD Case tadi dan beralih ke CD Case yang lain. Ia tersenyum saat menemukan yang ia cari.  Wim memutar CD Blue. Bukan BF tentunya!  Seketika melodi ’U Make Me Wanna’ memenuhi ruangan itu. Mungkin juga terdengar sampai ke dalam kamar Selva. Lalu karena sudah bosan, matanya tertumbuk pada satu CD paling belakang. Kelihatannya asyik dan lucu kalau muter lagu ini pagi-pagi, pikirnya. Dan Wim benar-benar memutarnya.  Lagu berganti. Wim ikut bernyanyi.  ⠀        "Lirikan matamu, menarik hati ...         Oh senyumanmu, manis sekali         Sehingga membuat?         Aku tergoda ...."  ⠀ Wim ikut bernyanyi sambil menggoyang-goyang tubuhnya mengikuti irama lagu Pengalaman Pertama-nya Chrisye. Olah raga pagi, kalau nggak bisa joging, yea ... joget nggak ada yang larang, 'kan, pikirnya sambil berjalan – atau bergoyang – menuju dapur.  Ia tidak sadar, Selva yang sedang mandi langsung tertawa ngakak mendengar selera Wim yang lebih memilih pop-dangdut ketimbang musik Blue yang remaja banget!  Sementara itu Wim tidak mau tahu. Yang penting ia sudah ada di dapur dan tujuan pertama adalah memasak air di kompor gas, kemudian melihat-lihat isi kulkas. Bahannya cukup. Bisa buat nasi goreng, pikirnya seraya mengambil pisau dan mulai mengiris bawang.  Namun, sebelum itu ia sempat mencolek kue di kulkas dan mencomot sekotak es krim. Lebih baik diperiksa dulu. Siapa tahu kadaluarsa.  Satu sendok, masih kurang terasa. Di coba lagi, lumayan.  Lagi ah …, hm … enak, enak banget. Ups, hampir habis, nih.  Udah nggak apa-apa, Selva 'kan bisa beli lagi. Anggap saja rumah sendiri!  ⠀ Sebenarnya Wim sengaja datang pagi-pagi ke rumah Selva dengan tiga alasan. Pertama, di rumah Yudi nggak ada sarapan. Kalau mau makan, tunggu warung di depan buka. Bisa-bisa sebelum itu terjadi, Wim sudah semaput duluan.  Alasan ke dua, Wim ingin membuktikan penelitiannya tentang cewek-cewek zaman now yang nggak biasa bangun pagi dan masak. Kecuali masak air atau mie instan. Paling top bikin telur dadar, beserta cuilan cangkangnya. Itu pun kalau nggak gosong! Haha!  Selanjutnya alasan ke tiga, kalau cewek yang punya inner beauty biasanya akan kelihatan tetap cantik meski baru bangun tidur.  Namun sebenarnya, alasan yang paling utama dan terberat polling-nya, memang alasan yang pertama. Penelitian tentang cewek hanya sekedar kedengeran lebih intelek dan nggak menjelaskan sifat asli yang kemaruk. Weahahahaha ...!  Prediksinya selama memasak, Selva mandi kira-kira satu jam. Kurang sedikit atau lebih sedikit. Biasanya 'kan, cewek mandinya suka lama. Tara saja mandinya satu setengah jam.  Pikiran Wim kembali melayang pada Tara. Cewek aneh yang sempat menyatakan cinta padanya ketika ia bekerja sebagai pengantar bunga. Cewek yang kemarin bertemu kembali dengannya di Festival Layangan. ⠀ ◦•●◉✿❁ FLASHBACK ❁✿◉●•◦  ⠀ Tara termasuk salah seorang cewek terpopuler di sekolah. Ia punya banyak penggemar dan selalu saja Wim yang mengantarkan kiriman buket bunga ke rumahnya. Saat itu Wim bekerja part time (paruh waktu) di toko bunga.  Bukannya jatuh cinta pada orang yang mengiriminya buket, Tara malah suka pada si pengantar bunganya. Lalu ketika Tara tahu bahwa Wim satu sekolahan dengannya, ia langsung menyatakan perasaannya. Saat itu mereka masih kelas tiga SMA.  Namun Wim menolaknya dengan alasan yang membuatnya luar biasa shock.  Tara tidak mengira kalau orang yang tampilannya laki-laki ini adalah cewek sepertinya. Ia sama sekali tidak percaya awalnya. Ia pikir Wim mengatakan hal itu hanya karena ingin menolak Tara.  Saat di sekolah, saking penasarannya dengan Wim, Tara berusaha mencari data diri Wim. Wim ternyata laki-laki. Lalu kenapa Wim mengatakan padanya kalau dirinya cewek juga?  Tara protes pada Wim dan Wim menjelaskan beberapa hal padanya dengan bukti juga tentunya. Sungguh diluar dugaan, ternyata ada alasan aneh yang membuat Wim harus mengenakan seragam seperti lelaki, bergaul dengan lelaki, berolahraga, bercanda seperti kebanyakan lelaki lainnya. Bahkan di sekolah tidak ada seorang pun yang tahu kalau Wim itu perempuan. Apalagi dilihat dari sudut manapun Wim memang manly (jantan) banget. Belum lagi wajahnya yang tampan. Siapa yang akan percaya kalau dia cewek?  Wim most wanted (paling populer) di sekolah mereka. Prestasinya sangat luar biasa, khususnya di bidang olahraga. Dia kapten tim basket putra, jago bermain musik dan bernyanyi, jago ilmu beladiri, dia juga cerdas dalam hal akademik.  Memangnya siapa yang bisa tahan dengan pesonanya? Apalagi Tara hanya murid pindahan di sekolah itu. Pendiam dan kuper. Hanya karena cantik makanya Tara populer. Semakin populer karena ia satu-satunya teman wanita yang berhasil dekat dengan Wim.  Wim King (Raja) di sekolahnya. Entah dari mana  sebutannya itu, mereka semua memanggil Wim 'Alpha'.  Wim meminta Tara untuk menyimpan rahasia ini. Ia tahu Tara berbeda dengan yang lain. Bukan perempuan yang suka bicara banyak dan bergosip. Syukurnya Tara benar-benar menjaga kepercayaannya.  Tara sempat menjauh saat itu. Ia mencoba memahami keadaan Wim yang tidak dapat menerimanya karena mereka sama-sama cewek.  Namun, sepertinya panah cupid bicara lain. Ketika acara Pensi (Pentas Seni) usai, Tara sesenggukan di pelukan Wim. Katanya ia tidak bisa melupakan Wim. Dia belum pernah begitu. Meski tak pernah tertarik sesama perempuan sebelumnya, tapi kepada Wim, ia menganggap Wim lebih dari cowok biasa. Meskipun Wim sama dengannya. Cewek juga.  “Aku nggak bisa ngelupain kamu, Wim,” ucapnya kala itu. “Udah aku coba. Aku udah pacaran sama Reo. Tapi … tetap saja. Aku … sayang kamu.”  Wim membelai lembut rambut Tara.  “Udah malem," ucap Wim menghindar.  “Masih jam sepuluh.”  “Kamu harus pulang. Aku anter?”  “Aku nggak mau pulang, Wim,” tukas Tara tegas. Kepalanya yang cantik, dan rambut panjangnya yang ditata apik, ikut bergoyang ketika menggeleng tadi. Ia menatap Wim dengan sendu. Kalau ia pulang, pasti tidak ada kesempatan lagi untuk bertemu Wim.  “Nggak enak kalau ada yang lihat kita ada di sini. Di tempat sepi ini berdua. Kamu bisa digosipin dan Reo bisa marah.”  “Biar saja. Aku putus dengan Reo juga nggak rugi apa-apa, kok. Malah aku seneng. Reo orangnya cemburuan!”  Wim tertawa. “Itu tandanya dia sayang sama kamu. Dia nggak mau kamu digodain cowok lain.”  “Dia nggak cemburu sama cowok, kok.”  Wim mengangkat sebelah alisnya.  “Dia cemburu sama kamu,” lanjut Tara.  Wim melongo.  “Kenapa bisa?”  “Karena kamu kalau jadi cowok cakep banget.”  “Itu kata kamu atau kata dia?”  “Aku yang bilang, sih. Tapi … aku cuma suka kamu,” jawab Tara pelan. Menunduk.  Wim diam. Ia membawa Tara ke parkiran motornya yang sengaja ditempatkan jauh dari gedung tempat acara diadakan. Tara mengikutinya dengan langkah lunglai dari belakang. Wim kemudian menyerahkan helm nya untuk dipakai Tara.  Mereka melaju dalam bisu. Tara juga sudah kehabisan kata-kata. Bagaimana bisa ia mengatakan akan menerima Wim apa adanya meskipun tahu mereka sama-sama cewek.  Ini gila! Masa aku tertarik sama cewek? pikirnya. Tapi Wim benar-benar laki banget. Baik, lucu, jago olah raga. Kalau benar-benar cowok, pasti mereka sudah pacaran atau menikah. Ah … seandainya … saja.  Berbeda dengan pikiran Tara, Wim merasa menyesal. Inilah yang membuat ia terus menghindar berteman dengan cewek. Mereka dengan mudah jatuh cinta pada Wim. Mengejarnya secara terang-terangan maupun lewat surat. Wim benci pernyataan cinta mereka. Mereka tidak mengenal Wim dengan baik, tapi semudah itu mengatakan suka. Apa yang disuka dari dirinya? Semua yang ditunjukkan Wim hanyalah kamuflase (topeng). Ia bahkan membenci dirinya sendiri!  Lima belas menit dalam perjalanan, mereka telah sampai di depan rumah Tara. Meski Tara berharap mereka sempat nyasar dan berputar-putar semalam suntuk mencari alamat rumahnya. Atau mungkin seharusnya Tara tinggal di kutub utara saja, biar ia bisa lebih lama bersama Wim. Memeluk pinggangnya. Bersandar di punggungnya yang lebar seperti punggung cowok sungguhan. Mencium wangi sabun di tubuhnya dan hangat punggung Wim atau juga wangi minyak rambutnya.  ⠀ “Selamat tidur. Mimpi yang indah,” ucap Wim ketika mereka sampai di teras kontrakan Tara.  Tara merengut, menatap Wim sebal. Masa cuma segitu. ‘Mimpi yang indah!’ apanya! Mana bisa tidur!  “Boleh aku minta sesuatu, Wim?” ujarnya dengan suara bergetar.  “Kalau soal kamu jadi pacar aku, sekali lagi nggak bisa.”  Tara menghempaskan napas keras.  Ternyata memang benar begitu, pikir Wim.  “Besok ulang tahunku.”  Ups, lupa!  “Uhm ... kamu mau aku kasih kado, apa?”  Tara membelalak. Pasti dia lupa, deh! pikirnya sebal.  “Kamu! Dibungkus sama kertas kado warna-warni! Pakai pita juga!”  Wim tergelak. Anak itu memang jadi lucu kalau sedang marah.  “Aku lagi marah! Jangan ketawa! Pasti kamu lupa, 'kan, hari ulang tahunku?!”  Wim makin cekakakan. Satu hal yang ia paham, kalau menghadapi orang yang sedang marah, jangan balas mengamuk. Tertawa saja, maka yang sedang marah pasti akan bingung dan tidak jadi marah atau lebih tepatnya diam sekejap. Kalau gagal, maka siap-siap saja ditabok atau di pelintir perutnya.  “Aku nggak lupa, kok,” gumam Wim ketahuan bohongnya.  “Aku mau minta kado!”  Minta kado maksa, batin Wim.  “Kamu mau apa ...?” tanyanya masih sedikit tersenyum. Nggak jadi. Tampang Tara benar-benar angker! “Kecuali jadi pacarku,” tambahnya agak tercekat.  “JUSTRU ITU!!! Besok ulang tahunku. Aku mau kamu sehari itu jadi pacarku dan nemenin aku jalan-jalan!” ujarnya manja sambil menghentakkan kaki ke teras.  Hening.  Wim berpikir keras. Bagaimana bisa ia jadi pacar Tara, sementara ia sama sekali tidak merasakan apapun pada Tara. Walau pun sehari, rasanya ia tidak sanggup.  Wim menatap mata Tara yang mulai berkaca-kaca.  Apa ini senjata perempuan selagi ada maunya?  Air mata?  Really (Sungguh)?  Rasanya Wim tidak pernah melakukan hal memalukan seperti ini pada siapa pun. Kalau mau sesuatu, namun dihalangi orang lain, ia langsung main geplak saja. Buat apa mengeluarkan air mata. Trik cucuran air mata ini mungkin kalau untuk laki-laki bisa manjur, tapi aku 'kan, bukan! Sudut bibir Wim terangkat, menatap Tara yang masih mempertahankan pose melankolis tadi.  ⠀ “Kabulkan saja,” ujar sebuah suara memecah keheningan.  Bukan suara Wim. Bukan juga Tara. Bukan juga suara perut mereka berdua. Tapi suara Ibu tetangga yang tiba-tiba saja muncul dari tembok sebelah. Ternyata keluar karena mendengar jeritan Tara yang dahsyat.  “Masa nggak mau mengabulkan permintaan pacar sendiri. Besok mau ulang tahun, lagi.”  Ternyata si Ibu nguping!!!  Tara tersenyum dan mengedipkan matanya pada Wim yang masih berdiri terpaku. Ia beralih pada Ibu tetangga yang tidak tahu apa-apa, tapi langsung menjatuhkan vonis pada Wim.  Tara menangis tersedu-sedu. Wim tahu itu cuma akting. Pengalaman ditipu berkali-kali membuatnya sangat paham, Tara sedang mencari pendukung. Dasar ratu drama, Wim membatin.  “Tuh, lihat! Nangis, 'kan!” ujar si Ibu galak, “Kabulkan permintaannya, apa susahnya?”  Wim menghela napas. Dasar air mata buaya! omel Wim dalam hati.  Si ibu menggosok-gosok puncak kepala Tara. Mata nakal Tara mengintip di sela-sela tangan si Ibu. Ibu itu masih memelototi Wim dengan sadis.  Wim memutar bola matanya. Mungkin ini yang dinamakan the power of  (kekuatan dari) Emak-Emak. Huff!  “Okay, okay .... Besok, jam berapa?” cetus Wim mengalah.  Tara terlonjak senang. “Jam tujuh pagi!” katanya berbinar-binar.  “Nggak kepagian?” Wim tercengang. Jam tujuh dia masih ngorok.  “Hiks … waktu satu hari harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Ya, 'kan Bu?” ujar Tara menghiba. Sekali lagi! Ratu drama ini benar-benar diberkahi otak licik diluar batas kewajaran.  “All right! You win (Baiklah! Kamu menang)! Jam tujuh!” Wim menyerah. "Happy now (Senang sekarang)?"  Tara tersenyum girang. Nggak cukup pernyataan itu, Tara langsung bikin kesepakatan.  “Ibu denger, 'kan, Bu? Dia janji. Saksinya Ibu. Kalau besok dia nggak dateng, itu berarti Ibu boleh nyambit si bule ini di mana pun dan kapan pun kalau suatu saat Ibu ketemu sama dia lagi!”  . . . ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD