✍ PART 7 :| Prayer — Doa

2046 Words
◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦  ⠀ ✒️ ❝ Sampai kapan pun, seseorang tidak akan pernah bisa menjadi seperti yang diinginkan orang lain.  Kalau pun mampu ...,  mungkin dia sudah kehilangan jati dirinya. ❞  ⠀ { Notes 8 - Wim — Feeling disappointed (Merasa Kecewa) } ✒️  ⠀ ⠀ Wim memutar motornya melalui gang sempit di sekitar jalan Bagindo Sulaiman. Gang itu sebenarnya sulit dimasuki motor. Kalau pun masih bisa masuk, maka si pengendara harus bersorak agar tidak ada pengendara lain yang berselisih jalan dari ujung gang. Masalahnya, ukurannya cuma satu meter lebih sedikit.  Paling parah kalau saling berselisih dan tidak ada yang mau mengalah mundur ke belakang. Ini sering terjadi pada pagi atau sore hari. Pada saat-saat seperti itu, lebih banyak yang memilih jalan besar ketimbang gang sempit ini. Meskipun harus berputar-putar terlebih dahulu. Tapi kalau di gang sempit bertemu pengendara lain yang judesnya minta ampun, berantem, makan waktu lebih lama lagi, 'kan?  Untungnya sekarang sudah pukul dua malam. Tidak ada lagi orang-orang yang berseliweran. Wim dapat dengan mulus membawa motornya di gang sempit. Kecuali mungkin ada tetangga yang merasa terganggu dengan suara motornya, lalu memberi bonus sambitan sendal atau siraman air comberan, sambil teriak “BERISIK!!!”  Pernah satu kali itu terjadi pada Wim. Saat itu ia habis mengantar teman yang sudah seperti kakak baginya. Ia ngebut, lalu …. BYUUUR! Lengkap dengan sumpah serapahnya. Wim pulang dalam kondisi basah kuyup, langsung demam dan flu selama seminggu. Ck!  Ah sudahlah, tidak usah diingat-ingat! Wim bergidik ngeri. Manusia memang lebih ganas daripada hantu.  Seketika motor sudah kembali berbelok ke jalan yang lebih lapang. Lalu berhenti di depan sebuah rumah sederhana.  Wim menyentuh pagar besi yang sudah agak karatan. Catnya sudah mengelupas di mana-mana. Rumput di halaman juga tidak terawat. Bisa dikatakan, sudah gondrong. Belum lagi pohon nangkanya yang rimbun bikin bulu kuduk, bulu hidung sampai bulu ketek merinding.  Wim mengguncang gerendel pagar tiga kali. Biasanya itu sebagai tanda kalau ia sudah datang. Tapi, kode itu manjurnya cuma pada siang hari. Kalau malam nggak ampuh lagi, gara-gara gaya tidur Yudi yang persis beruang mati. Ngorok melulu. Nggak bakalan bangun dech, sebelum bunyi kaca jendela pecah.  Wim kembali menggoyang pagar besi tadi. Kelihatannya gagal, pikirnya. Ia memungut batu di tanah lalu bersiap-siap mengambil ancang-ancang melempar.  Namun ….  “Wooiii ...! Tunggu dulu!” jerit suara panik yang baru saja muncul dari pintu depan. Masih mengenakan sarung.  Wim menarik napas lega. “Kirain udah tidur.” Batu meluncur dari tangannya. Ke tanah. Bukan ke jendela!  “Emang udah tidur!" gerutu Yudi, berlari menuju pagar. "Nyaris … kaca gue bolong lagi!”  Wim hanya cengengesan.  Yudi membuka gembok dan gerendel pagar.  “Lama banget ngebukainnya.”  “Ya sabar monyong ...!”  Wim terkekeh lagi. Ia melenggang duluan begitu pagar terbuka, sementara itu Yudi sibuk menutup pintu pagar kembali.  “Heh, kenapa tengah malam loe datang? Ngancurin mimpi indah gue!”  omel Yudi pada Wim yang sudah berselonjor santai di sofa usangnya. Banyak yang bolong. Dan setiap kali Wim ke sana, kerusakannya akan semakin parah. Soalnya anak itu punya kebiasaan mencungkil busa sofa baik dengan tangan, maupun kaki, seperti saat ini.  “Kayaknya sofa loe perlu diganti, dech!” komentarnya.  “Itu udah ratusan kali loe omongin.”  “Ratusan kali juga usul gue ditolak. Sayang banget loe sama nih sofa. Buang aja gih! Butut gini!”  “Biar pun butut, kenapa loe lebih suka duduk di sana ke timbang di sofa baru gue,” tunjuk Yudi ke arah sofa yang … lumayan bagus di sebelah Wim.  “Oh ... ini baru?” ceplos Wim cuek.  Yudi mendelik, lalu duduk di hadapan Wim.  “Non, mau ape loe gangguin mimpi gue malem-malem?”  Mata Wim menyipit, lalu menyeringai.  “Mimpi basah loe, ya!” seloroh Wim. “Mana?” Wim mengintip sarung Yudi!  “Minta di tampol loe!” bentak Yudi sambil memencet hidung Wim kuat.  Wim meringis melepaskan diri lalu mengusap-usap hidungnya.  “Enak aja. Sekarang loe cerita deh. Ada masalah apa? Gue masih ngantuk, nih!” lanjut Yudi lagi, menguap dan mengucek-ngucek matanya.  Wim diam sejenak. Itu kebiasaannya. Sebelum mulai bercerita, pasti diam dulu. Kadang-kadang bisa sampai setengah jam Yudi menunggu. Kadang Yudi juga sengaja ngambil bantal sebelum Wim mulai bercerita. Lalu kalau masih belum ngomong juga, Yudi bakal gelar tikar lengkap dengan selimut dan ia juga menyempatkan diri meneteskan iler di guling.  Namun, sepertinya kali ini agak berbeda. Wim hanya perlu waktu menenangkan diri selama lima menit.  Perlahan ia mengungkapkan segalanya. Yudi mendengar dengan serius. Wim sadar, ia tentu sudah mengganggu istirahat Yudi, tapi pada siapa lagi dia mengadu? Bukankah selama ini hanya Yudi yang memperlakukannya dengan amat baik. Menganggapnya sebagai adiknya sendiri, menerimanya apa adanya dan mau mengerti akan dirinya.  Semua uneg-uneg bisa langsung hilang begitu Wim bercerita pada Yudi. Meskipun Yudi bukanlah siapa-siapanya. Bukan kakak, om, atau pun kerabat sedarahnya. Just friend. Lebih tepatnya, Yudi adalah temannya Daimon. Mereka teman sepermainan sejak kecil. Mungkin yang membedakan hanya umur yang terpaut 5 tahun.  Wim bercerita segalanya. Tentang rencana Daimon mengikutsertakan Wim di film garapannya. Juga alasan mengapa Wim kesal menjadi salah satu tokoh itu. Alexa. Cewek Lesbian! Tokoh seperti itulah yang harus dilakoninya.  “Gue harus gimana?”  ⠀ Melodi Get Busy - Sean Paul menggema. Wim segera mengangkat ponsel-nya.  “Wim, loe pulang kok nggak bilang-bilang, sih, kayak Jaelangkung aja! Jaelangkung aja minta diantar!” sembur nada di seberang sana. Siapa lagi kalau bukan Rodeo. Salah seorang personel Blazes Star. Ia satu-satunya personel yang tahu tentang siapa Wim sebenarnya.  “Sorry. Tadi gue lihat loe sibuk banget sama cewek-cewek gurita itu.”  “Sekarang loe di mana?”  “Di rumah bang Yudi. Kenapa? Mau ngobrol sama dia?”  Rodeo juga kenal dengan Yudi.  “Oh … kalau gitu nggak pa-pa. Eh … tadi loe aneh banget Wim. Loe nggak ngerti sama yang gue maksud.”  “Sekarang malah gue bener-bener nggak ngerti omongan loe.”  “Tadi, setelah loe cerita segalanya, gue bilang, loe boleh aja main film itu. Walaupun itu bukan jati diri loe dan loe nggak tahu kehidupan macem itu. Loe bisa mempelajari kehidupan lesbian lewat buku atau ketemu langsung sama orangnya. Bukannya langsung praktek! Nyosor ke mana-mana!”  “Praktek gimana?” Wim cengengesan.  Rodeo menarik napas kesal.  “Tadi anak-anak pada kaget. Gue tahu loe frustasi sama tingkah abang loe yang songong itu. Tapi bukan berarti loe harus joget gila-gilaan, bahkan pake acara nyipok anak orang segala!” Lagi-lagi cowok itu menarik napas. “Dua cewek dalam semalam, a***y! Loe nggak nyadar apa, loe itu cewek, si Lita juga cewek! Piyik yang dansa sama loe juga cewek!”  Wim terkikik geli.  “Loe kok sewot gitu. Gue 'kan cuma mencoba mendalami peran, sebelum berakting meranin tokoh Alexa itu. Lagian dancer itu 'kan nggak nyadar kalau yang nyium dia sebenernya cewek!”  “Heh ...! Gue nggak khawatir soal ciumannya, Nyenk! Tapi cewek itu makhluk yang ngandelin perasaan ketimbang logika! Loe ngarti kagak, sih?! Susah emang ngomong sama cewek d**a rata!"  Yudi sontak terbahak, sampai hampir mengucurkan air mata.  "Anjir! Nggak usah bawa-bawa itu, monyet!" umpat Wim.  "Itu dancers udah lama suka sama loe, anying! Sampai putus sama cowoknya lagi. Dah tahu si Arnold benci banget sama loe," cerocos Rodeo. "Tambah lagi tuh bocah SMA! Ini di speaker, 'kan?"  "Iyeh!" jawab Wim sebal.  "Adek loe Bang, anying! Anak gadis orang, masih segede kutil, lagi masa puber-pubernya, malah di PHP ... diajakin dansa. Sok romantis! Somethin' Stupid! Emang geblek!" Rodeo mulai mengaktifkan mode mengata-ngatainya dengan volume tinggi.  "Emang loe nya aja dengki! Kalah pamor!" celetuk Wim.  Yudi ngakak berguling-guling di sofanya yang baru. Rasa kantuknya sudah hilang sepenuhnya.  "Kalau nggak gue samperin, itu congor dah nemplok kemana-mana! Ajarin tuh, Bang. Susah bener jagain adek loe. Nalurinya kidal!"  "Lah ... 'kan gue belajar dari loe!"  "Sekate-kate loe, Nyenk! Oya, Bang. Adek loe mabok. Marahin, Bang!" Rodeo terkekeh gembira.  Setan! Wim menyumpah dalam hati. Matanya melirik perlahan pada Bang Yudi, yang menatapnya dengan mata menyipit. Mati! Kena ceramah gue!  “Udah, dech. Nggak usah bawel. Ntar bibir loe sariawan kalau kebanyakan protes! Bye,” Wim mengakhiri pembicaraan, daripada si Rodeo itu membuka aibnya lebih banyak lagi.  Yudi mengangkat kedua alisnya. Menatapnya dengan mode kebapakan.  Sial. Kena ayat nih, gue. Huh! Wim mengeluh dalam hati.  ”Jadi loe mabok."  Ini jelas bukan pertanyaan.  "Cuma minum dikit ...," Wim merepet. "Gue bahkan nggak ada sempoyongan." Ia membela diri.  "Sesungguhnya, meminum minuman keras termasuk perbuatan setan."  Tuh, 'kan! Keluh Wim dalam hati. Gue setan ini.  "Dengan minuman keras, setan hanyalah bermaksud menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu, dan menghalang-halangi kamu dari mengingat Allah dan melaksanakan sholat," Yudi mengutip salah satu ayat dalam Al-Qur'an. "Sudah sholat, belum?"  "Belom," ucap Wim lemas.  "Sholat dulu, sono!" Ia mendang b****g bocah remaja itu dari sofa.  ⠀ ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦ ⠀ Wim kembali berhadapan dengan Yudi setelah menunaikan ibadah sholat. Jangan heran kalau di rumah Yudi ada mukena. Itu semua karena Wim sering menginap di rumahnya dan Yudi orang yang paling rewel dalam urusan sholat. Kalau soal Wim menginap, tetangga tidak akan peduli, karena yang mereka tahu, Wim itu adik Yudi. Laki-laki.  Yudi sendiri memang sudah menganggap Wim seperti adik kandungnya sendiri. Yudi memang tidak ada hubungan keluarga dengan Wim. Tapi sewaktu ibunya meninggal, Mama Wim dan Daimon lah yang menyusuinya, sebagai sahabat dari ibunya Yudi. Jadi, mungkin sebutannya adalah kakak sepersusuan. Apalagi ia adalah anak tunggal di keluarganya. Tidak heran kalau ia begitu menjaga dan memanjakan Wim.  “Jadi … loe mau nerima tawaran itu?” ucap Yudi to the point.  "'Kan malam itu gue langsung tekan kontrak, Bang. Daimon bahkan nggak ngasih kesempatan buat gue buat mikir!"  Wim mendesah pahit. Matanya menerawang.  “Kadang gue mikir sendiri, Bang. Mama sama Papa sejak kecil, maksudnya sejak lahir udah nggak adil memperlakukan gue. Mereka lebih cinta sama Daimon dan selalu nganggap gue ... nggak penting.  Papa emang nggak pernah jahat. Tapi Papa yang bikin gue hidup jadi kayak gini. Gue milih pindah dari rumah supaya bisa menghindar dari mereka. Gue buktikan kalau gue bisa hidup mandiri tanpa bantuan keluarga. Gue nggak merepotkan mereka, 'kan? Tapi kenapa selalu gue yang dikorbanin?"  Wim menatap hampa pada cermin di ruang tamu Yudi. Menyipit menatap bayangannya. Entah kenapa ia benci wajahnya. Mama selalu melengos menatap wajah ini.  "Gue udah kayak loe, 'kan, Bang?"  Wim mengalihkan pandangannya pada Yudi. Mendengus karena tatapan Yudi yang tampak seperti mengasihaninya. Ia tidak suka di kasihani. Rasanya memalukan.  "Gue udah ngelakuin apapun yang semua orang mau. Papa, Mama, Daimon. Tapi ... semua itu kayak belum cukup. Apa gue memalukan buat mereka? Apa mereka bakal nerima gue kalau gue operasi, seutuhnya jadi yang mereka ingin selama ini?"  Wim mendesah berat. Kenapa kesannya ia jadi begitu nelangsa begini?  “Loe gila kalo ngelakuin itu,” timpal Yudi.  “Gue tahu. Makanya just kidding (becanda aja),” Wim mendengus. “Nengok jarum suntik aja gue ngeri.”  Yudi mengacak rambut Wim pelan. Ia begitu iba dengan adik angkat nya ini. Ia mengenal Wim dan Daimon sejak kecil. Ia tahu apa yang sesungguhnya terjadi dalam keluarga Wim. Bagaimana perlakuan keluarganya dan apa yang terjadi pada Wim. Termasuk hubungannya dengan Daimon.  Hanya saja, ada banyak hal yang belum diketahui Wim yang Yudi tahu, tapi bukan ia yang harus mengungkapkannya.  “Mungkin saat ini belum waktunya orang tua loe sadar. Berdoa saja. Pasti Tuhan mendengarkan.”  “Cuma mendengar, Bang? Kenapa bukan langsung mengabulkan permintaan gue. Kasih kepastian, kek.”  “Sabar.”  “Sampai kapan?”  “Sampai Tuhan mengetuk pintu hati mereka.”  “Itu kapan?”  Yudi angkat bahu. “Semua rahasia Tuhan.”  “Bukan 'Rahasia Ilahi'?” tanya Wim mengutip judul salah satu acara religi.  “Mungkin juga,” ujar Yudi berlagak serius. “Siapa tahu loe bisa meranin Kang gali kubur!”  ”Makasih. Enak aja!” Wim mencekik Yudi gemas.  Yudi balas menjitaknya sadis.  Mereka tertawa berisik.  Senang rasanya kalau sudah berdekatan dengan cowok konyol berjudul Yudi. Semuanya bisa terasa amat santai. Kalau saja nggak ada suara mengomel di rumah sebelah, alias ibu gendut yang pernah nyiram Wim sampai kuyup dulu, pasti mereka akan saling sambung menyambung tawa sampai ke Merauke.  . . . ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD