✍ PART 13 :| Gloomy Shadow — Bayangan Suram

1657 Words
 ◦•●◉✿❁ 2006 ❁✿◉●•◦ ⠀ ✒️ ❝ Kabut itu begitu kelam. Begitu menyesakkan. Membuatku takut setiap kali menutup mata. Seakan bayangan itu berusaha menangkapku dan memerangkapku di kegelapan. ❞ ⠀ { Notes 14 - Wim — Dark shadows in my eyes (Bayangan gelap di mataku) } ✒️ ⠀ ⠀ “Udah bisa jalan?” tanya Wim lembut. “Belum,” sahut Selva becanda. Namun betapa kagetnya Selva ketika tiba-tiba Wim berjongkok di hadapannya. Menyerahkan punggungnya. Senyum mengulas di bibir Selva. Ia menaiki punggung Wim. Rasakan! Sekarang giliranku mengerjaimu. Hihi! Mereka berkeliling ruangan. Mulai dari dapur. Tempat favorit Wim. Sayang belum ada kulkas dan seperangkat isinya. Dapurnya luas, semakin membuat Wim ngiler. Sudah lama ia memimpikan punya dapur luas. Bulan lalu ia sempat meledakkan dapurnya saat mencoba memasak rendang. Berhubung dalam keadaan cekak, sampai sekarang dapur Wim masih dalam keadaan ‘koma.’ Tapi, Wim pikir setelah proyek pendekorasian rumah ini selesai dan honor menyanyi yang belum diminta sama Rodeo terkumpul, dapur bisa kembali menjadi tempat favorit. Saking favoritnya Wim pernah ketiduran di sana! Serius! Yea, dia pernah ketiduran karena menunggu pie strawberry-nya matang. Lapar di tengah malam memang mengerikan! Bagaimana nasib pie? Terbakar sampai ke akar-akarnya. Ck! Wim berdecak mengingat itu kembali. Mereka beralih ke ruang tengah. “Cocok banget kalau dijadikan ruang santai. Apalagi ruangan ini berhadapan dengan beranda samping yang dibatasi tembok. Jadi, orang luar nggak bisa ngelihat ke dalam. Kecuali kalau ada maling nekat atau kolor ijo.” Wim terbahak. Selva bergidik ketika nama kolor ijo ikut dibawa-bawa. “Lalu, kita taruh sofa daybed atau sofa tanpa lengan. Karpet bulu lembut di bawahnya,” lanjut Wim. “Di sudut sana ditaruh TV. Jadi bisa leyeh leyeh sambil nonton TV, dech." Wim tersenyum puas. Selva mencoba membayangkan gambaran penataan ruangan ini, perabotan apa saja yang bisa ia beli untuk melengkapi rumahnya. "Kalau sedang bosan, berputar ke samping, bisa melihat kolam ikan atau kolam renang.” Heh? “Sayangnya nggak ada satu kolam pun di sini,” ralat Selva. “Yeah … lain kali dibikin. Siapa tahu nanti kamu berminat jadi putri duyung, terus tinggal nyebur aja. Selain itu ruangan ini menuju tangga atas yang langsung ke kamar kamu. Gitu, 'kan?” Wim melongok ke luar. ”Kalau kamu lupa bawa handuk habis berenang, tinggal lari-lari aja ke dalam.” Wim tersenyum membayangkan. “c***l! Kamu mau liat aku bugil?!” Mata Wim menyipit. “Emang kamu mau kasih liat?” “Iiih!” Selva memukul pundak Wim pelan. "m***m!" Wim terkekeh. “Atau jangan-jangan, kamu kalau berenang nggak pakai baju renang, ya, kok bugil bilangnya?” tanya Wim, sontak membuat wajah Selva membara. “Bu … bukan gitu,” ralatnya. “Udah deh, ngaku aja!” goda Wim. “Ngaku aja kenapa, sih?” Selva mencubit pinggangnya. Nyaris membuat Wim melepaskan gendongannya. Sebenarnya bukan karena sakitnya yang membuat Wim hampir jatuh. Cuma geli aja. “Udah. Aku mau jalan sendiri,” ujar Selva seraya merosot turun dari punggung Wim. Berjalan ke ruangan sebelahnya. Wim terpana. Cukup luas. “Cocoknya untuk apa, ya?” tanyanya pada dirinya sendiri. “Rencananya buat ruang senamku,” jawab Selva. “Di sini juga aku mau taruh cermin yang banyak. Trus di sana ada pintu ruang bawah tanahnya,” katanya seraya menunjuk pintu yang ia maksud pada Wim. Selva membuka kuncinya, menghidupkan kontak lampu, lalu mereka berjalan melalui tangga basement (ruang bawah tanah). “Di ruangan ini mau aku taruh lukisan-lukisan sama barang-barang lama. Lalu bisa juga untuk tumpukan hadiah atau surat-surat penggemar,” lanjut Selva seraya melirik pada Wim. Siapa tahu dia nanya, ‘maksudnya penggemar apa? Emang kamu artis?’. Namun, sekali lagi Selva gondok. Bukannya menanyakan siapa penggemar yang dimaksud, Wim malah sibuk memuji-muji pilar ruangan. “Keren banget nih pilar," Wim berucap takjub. "Ukiran itik pulang patang, ditambah kaluak paku dari Sumatera Barat. Bagus. Kuat dan kokoh. Kreasi yang sangat menawan. Wow... aku juga pengen bikin rumah begini cakepnya. Siapa, ya arsiteknya?” Selva menatap sebal, sengaja tak menjawab. Biar Wim tahu gimana rasanya dicuekin. Rupanya Wim juga tidak menuntut jawaban. Aslinya ia bertanya pada dirinya sendiri. “Panas,” kata Wim seraya melap mukanya dengan lengan baju. Lalu ia menggulung lengan bajunya hingga siku. Tampak tangan kekar namun juga halus. Ada bulunya sedikit. “Nanti kasih AC, ya?” “Oke.” Selva menarik napas. OMG! Ga jadi marah. Wim cakep banget...! jerit Selva dalam hati. “Ruangan ini agak gelap. Kalau bisa cat dindingnya lebih terang atau warm. Warna crem pastel dipadukan warna putih tulang atau coklat pastel, biar cocok juga dengan pilarnya.” Wim mencatat di memo book-nya. Mungkin sedang mencatat segala sesuatu yang harus di beli. “Katanya kamu suka melukis, ya?” tanyanya masih belum lepas dari pulpen dan kertasnya. “Ya,” jawab Selva singkat. Ia menatap wajah Wim yang menekur menggores memo book. “Kalau kamu suka majang apa kalau di kamar?” selidik Selva. “Foto,” jawab Wim singkat. “Foto cewek, ya?” “Ada. Aku suka foto alam, juga foto Dara, my sweet darling (sayangku yang manis),” ucap Wim lembut. Selva terpana. Hatinya terjerembab ke lantai yang lembab. Dia sudah punya pacar ... hiks ...! “Dara… pasti cewek yang cantik, ya ...?” Beruntung banget Dara. “Tentu, dia betina yang lucu dan imut-imut.” “Betina? Kamu nggak sopan kalau ngomongin cewek pakai kata ‘betina’ begitu! Sebagai cewek aku tersinggung!” Wim terperangah, lalu terbahak kencang. “Sorry ..., tapi aku bener-bener nggak nyangka kamu bisa punya keterikatan batin sama Dara. Yeah … kalau diliat-liat, kayaknya emang ada kemiripan antara kamu sama Dara. Sama-sama suka nyakar,” ujar Wim dengan senyum yang siap menerkam. Selva melongo. “Kalau lagi mesra, Dara juga suka narik-narik rambut aku. Nyari kutu katanya.” “Kutu?” Wim mengangguk dengan senyum terkulum. DUARR!!! Jangan-jangan yang di maksud Wim …. “Ke … kera, ya?” Wim mengangguk. Tersenyum, lalu tertawa ngakak. Suaranya memantul-mantul di basement. Selva mengamuk. Ia memukul bahu Wim. Benar-benar mengamuk sampai langsung meninggalkan Wim di ruangan itu sendirian. Wim menyusul berlari mengejarnya. Masih tertawa. Mereka pacu lari ke atas. Wim tidak mau kalah. Ia menarik rok Selva dari belakang. “Apa-apaan, sih!” jerit Selva seraya menutup bokongnya. Walaupun masih ada lapisan short pants (celana pendek), tetap saja, 'kan, Selva malu, bokongnya dilihat Wim! Wim malah makin ngakak melihat Selva cemberut. “Aku duluan,” ujarnya seraya berlari ke atas. Selva kesal. Tapi segera mendapat ide. “Aduuuuh …!” jeritnya lantang. Wim berbalik. Ia mendapati Selva terduduk, meringis, memegang pergelangan kakinya. Wim segera turun, lalu berjongkok di sebelahnya. Tetapi, saat ia mau memeriksa kaki Selva, Selva menjepit keras hidungnya, kemudian berdiri dan berlari kencang ke atas. “Kakek lelet! Masa pacu lari sama cewek aja kalah!” Wim yang sadar sedang dikerjai, segera menyusul ke atas. “Awas! Sekarang jalan saja duluan, ketemu lagi di atas, aku sun baru tahu rasa kamu!” Selva meleletkan lidah ke arahnya. Wim terpana. Apa yang ia katakan barusan? Sun? Wim menggeleng. Sepertinya ia mulai gila! ⠀ ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦ ⠀ Lantai dua, berarti kamar Selva. Luas sekali. Wim terpesona. Kenapa bisa anak seumuran Selva punya rumah sendiri? Kemana orang tua nya? Mungkinkah mereka miliarder yang sibuk bisnis kemana-mana. Apa perlu ia tanyakan? Tapi, buat apa. Itu urusan pribadi orang, Wim membatalkan niatnya. “Kalau di bawah ada kamar tamu dan ART (Asisten Rumah Tangga). Trus kamar kamu di lantai dua, di sini. Begitu maunya?” tanya Wim. Selva mengangguk. “Ya. Aku suka menatap ke beranda melihat ke bawah ….” “Siapa tahu ada cowok lewat, bisa disuitin,” potong Wim. “Itu kan kerjaan kamu, nyuitin cewek.” Wim mengulum senyumnya. Belum tahu dia! Tapi Wim juga tidak berencana ngasih tahu yang sebenarnya pada Selva. “Itu pintu toilet, trus yang itu pintu apa?" "Oh!" Selva bergerak membuka pintu yang ditunjuk Wim. "Ini closet room (kamar lemari). Ruangan ini khusus untuk menyimpan pakaian, sepatu, aksesoris dan pernak-pernik lainnya. Jadi, aku perlu beberapa tambahan barang dan lemari lagi di sini." Wim melongok ke dalam ruangan. Benar-benar rumah 'horang kaya'. Memangnya seberapa banyak sih, pakaian Selva? Wim tidak habis pikir. Lemari pakainnya di rumah cuma satu dan itu tidak pernah terisi penuh. Cuma ada lima jeans yang tahunan tidak pernah ia tambah lagi. Baju kaos, jaket denim. Oke, Wim penggemar hoodie dan jaket. Jadi ia punya cukup banyak koleksi hoodie. Beberapa kemeja dan celana bahan untuk ujian. Celana training atau parasut untuk olah raga dan cukup banyak baju kaos serta celana pendek untuk di rumah. Wim tidak pernah beli baju, celana dan lain-lain tanpa alasan. Buat apa. Kadang Daimon menginap di rumahnya, kemudian meninggalkan pakaiannya. Lalu dia tidak tertarik lagi memakainya karena sudah punya baju baru. Jadi, dari pada nganggur, Wim yang pakai semua pakaian Daimon yang tertinggal di kontrakannya. "Jadi ruangan ini butuh lemari dan rak sepatu." "Lemari dan rak sudah aku pesan khusus. Tinggal dijemput ke tokonya nanti. Selesai dekor rumah, baru aku susun seluruh koleksi baju, sepatu, tas, aksesoris dan lainnya,” jelas Selva. Tukang belanja, komentar Wim dalam hati. Kalau Wim sendiri sih, window shopping, doang. Alias cuci mata! Wim mengangguk-angguk paham. Ia beralih kembali ke kamar tidur. "Kalau di ruangan ini mau dibuat dengan desain shabby chic, begitu?" Wim memastikan. Selva mengangguk cepat. Wim sendiri lebih senang mengaplikasikan dekorasi minimalis atau aesthetic atau industrial, bahkan monokrom untuk rumahnya. Ia tidak suka yang ribet-ribet. Hal-hal feminim sangat bertabrakan dengan style nya. "Di dinding mau kamu taruh apa?” “Rencananya ada rak, foto-foto aku. Trus, mungkin bunga.” “Okay." Wim kembali mencatat. “Well, semua sudah aku catat di sini,” katanya menunjuk memo book-nya. “Segala keperluan yang akan di beli. Kuas aku punya. Kalau beli yang baru berarti buang-buang uang. Kamu bisa lihat. Kalau kamu butuh dindingnya dihiasi wallpaper juga boleh ditambahkan di sana. Karena sepertinya, kita bisa mulai dengan mengecat dinding dulu." Wim menyodorkan memo book itu ke tangan Selva. Sementara itu ia berbaring dengan tangan menopang kepala layaknya bantal di kasur kecil yang memang sudah ada di sana. Wim memejamkan mata. Semalam ia kurang tidur karena kebanyakan ngobrol sama Yudi. Yudi diusir tidur di sofa sementara Wim di kamar. Selva meneliti satu persatu. Ia setuju dengan semua barang yang dibutuhkan Wim. Bukan hanya itu, Selva juga ingin menambahkan, beberapa barang yang harus dibeli. Ia mengambil pulpen yang ada di saku jaket Wim. Wim kaget, namun matanya kembali redup setelah melihat orang di depannya cuma Selva. Bukan bayangan buruk yang sering menghantui pikirannya. Bukan orang yang ingin mencelakainya. Dan bukan pula sesuatu yang paling ditakutinya. . . . ◦•●◉✿❁♥❁✿◉●•◦
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD