Suara derit pintu kamar mandi terdengar, bersamaan dengan munculnya sosok Arion dengan rambut agak basah.
"Astagfirullah!" Arion berjengit, jantungnya cukup berdegup ketika melihat seorang perempuan duduk di depan meja rias sambil menyisir rambutnya yang terurai.
"Apaan?" April menolehkan kepalanya bingung. "Ada apa, sih?"
Arion menghela nafas lembut, dan memutar bola matanya. "Kirain apa.., kamu udah mandi?"
April bangkit, meletakkan sisir di laci dan mengikat rambutnya menjadi sebuah gelungan. "Ini baru mau, kok." Setelah itu, April melenggang, melewati tubuh Arion.
Arion hanya mengangguk. Lalu mulai melangkah ke arah lemari untuk mencari pakaian yang akan dikenakan untuk tidur. Jam menunjukkan pukul sembilan malam kurang sepuluh menit.
Pulang dari mall Kean dan Kinan langsung berlari menuju kamar masing-masing di lantai dua. Sedangkan April dan Arion memilih untuk membersihkan tubuh sejenak.
Setelah memilih kaus polos berwarna putih dan celana pendek selutut, Arion langsung menghempaskan tubuhnya ke rajang, mengambil Laptop yang masih tersimpan di atas meja dekat tempat tidur sejak tadi pagi. Ada beberapa tugas penting yang belum ia selesaikan, terkait dengan urusan bisnis yang ia kelola.
Ekor matanya reflek melirik seorang perempuan—dengan handuk kimono yang membalut tubuh—baru keluar dari kamar mandi.
"Udah?"
Pertanyaan bodoh.
Bahkan dua detik setelahnya, Arion menyesali kalimat yang keluar dari mulutnya.
"Udah, dong." April menggosok rambutnya dengan handuk kecil. Lalu melangkah ke meja rias untuk mengambil pengering rambut.
Untungnya, suara yang terdengar dari pengering rambut berhasil meredam detak jantungnya yang mungkin akan terdengar saking kerasnya. Matanya berkedip beberapa kali, berusaha untuk tidak fokus pada objek lain selain layar laptop.
"Mau ganti baju dimana?"
Shit.
Arion berdecak. Memejamkan mata karena tak berani lagi melihat bagaimana ekspresi April sekarang.
"Pertanyaan-nya aneh banget, sih?" April mendengus, lalu membuka lemari untuk mengambil pakaian ganti. "Ya, di kamar mandi, lah! Masa di depan kamu!"
"Enggak.. maksud aku.."
April tersenyum geli. Hanya menanggapi sikap Arion sebagai candaan biasa. Lalu, perempuan itu masuk kembali ke kamar mandi dan keluar lima menit kemudian dengan pakaian ganti.
"Lagi ngerjain apa?" April memasukkan kedua kakinya ke dalam selimut, menyandarkan punggungnya ke kepala ranjang dengan ganjalan sebuah bantal.
"Ngurusin dokumen yang kemarin belum selesai. Tapi, keburu males." Arion melepas kacamatanya, lalu menutup laptop karena tak berminat lagi melanjutkan pekerjaannya. Ia menaruh kacamata dan Laptopnya kembali di meja berukuran sedang di samping tempat tidur.
"Kamu nggak tidur?" Arion mengelus pucuk kepala perempuan itu.
April tersenyum, lalu mulai memejamkan matanya perlahan. Tangannya melingkar pada pinggang Arion. Mendekap tubuh pria itu dan menenggelamkan kepala pada d**a bidangnya. Arion memajukan wajah, mencium kening April lembut, menarik tubuhnya lebih dekat, hingga ia bisa merasakan bagaimana mungilnya tubuh perempuan itu.
Detik selanjutnya, ciuman itu turun kehidung, mata dan seluruh permukaan wajahnya. Hingga terakhir, ciuman itu berhenti di bibir. Membuat April mau tak mau kembali terbangun, tapi perempuan itu tak memilih untuk membuka mata.
Sebaliknya, tangannya merambat, menangkup pipi Arion dan memegangi leher pria itu. Arion merubah posisinya, mulai merangkak naik dan mengeksplorasi lekukan leher perempuan itu. Hingga adrenalin keduanya sama-sama berpacu.
.
.
.
Satu menit berikutnya, ia baru menyadari. Ia telah melakukan kesalahan. Pelan-pelan, Arion menarik wajahnya, mengakhiri ciuman itu dengan lembut, lalu mengusap wajah April. Ia tersenyum tipis. "Sorry, aku lupa."
Lupa.
Setiap kali adrenalin itu berpacu dalam tubuhnya. Pikirannya selalu terganggu dengan kalimat-kalimat yang membuat Arion selalu menahan diri. Kalimat yang secara tidak langsung mengatakan bahwa; April masih trauma.
Dan yang bisa Arion lakukan hanya menahan diri agar tubuhnya bisa terkontrol. Selama pernikahan mereka, tak ada hubungan lebih selain sekedar kecupan di kening, ciuman di pipi dan yang paling banter hanya berakhir di bagian bibir.
Lebih dari pada itu, semuanya selalu berakhir dengan keduanya sama-sama terlelap dan terbang ke alam mimpi.
Sedikit nggak masuk akal, tapi itulah faktanya. Terus-terusan menahan diri dan untuk kali ini Arion hampir saja kehilangan kontrol dirinya. Dan, Arion juga harus menghargai sikap April yang sedikit tertutup mengenai hubungan yang lebih intens. Karena pada dasarnya, sikap April yang seperti itu juga beralasan.
Namun, ada perubahan raut wajah yang kali ini Arion temukan.
April tersenyum tipis, memandangi wajah laki-laki yang masih memposisikan diri di atas tubuhnya. "It's okay, aku bakalan baik-baik aja."
Arion mengerti maksudnya. Meskipun begitu, Arion tak bergeming. Justru, pria itu hendak merubah posisinya agar terlihat lebih nyaman. Malam ini, untuk ke sekian kalinya ia memilih untuk meredam adrenalin-nya saja.
Namun, sebelum Arion bergerak, April justru menahan lehernya untuk teta bertahan pada posisinya. Dan yang lebih mengejutkan lagi, perempuan itu menarik punggung Arion, merapatkan tubuh mereka sekaligus menghapus jarak yang tersisa.
***
Kean mendesah, berulang kali merubah posisi tidurnya agar menemukan zona nyaman. Tapi, sejak tadi matanya tak bisa di ajak bekerja sama. Sungguh, Kean butuh tidur malam ini.
Kean menyingkirkan selimut motif bintang yang menggelung tubuhnya. Lalu mengucek-ngucek mata dan turun dari ranjang. Kaki mungilnya turun melewati tangga satu persatu dengan tangan yang memeluk bantal ikut bersamanya, lalu ia berjinjit untuk menggapai saklar lampu.
Ruang makan langsung terang dengan lampu kuning. Kean meraih gelas di atas meja makan dan mengisinya dengan air hingga terisi setengah.
"Hahh," Kean tersenyum tipis. Tenggorokkannya agak lega sekarang.
Ia melirik pintu kamar bercat putih yang sudah tertutup rapat. Tadinya, Kean ingin tidur bersama Mama dan Papa.
Papa sama Mama udah tidur belum, ya?
Perlahan ia melangkah, mulai mendorong pintu kamar tersebut.
Terkunci.
Ia menghela nafas, Mulai mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, sebelum sebuah suara terngiang di benaknya.
"Jadi, nanti.. kalau udah malem, terus kamar Mama sama Papa kekunci, kamu nggak boleh ganggu, ya?"
"Emang kenapa?"
"Papa sama Mama lagi berpetualang ke Kapal Harta Karun punya Mr. Crabs Oke?"
Kean berdecak. Mengurungkan niatnya, bersamaan dengan rasa kesal yang menyeruak. Kean nggak akan mudah percaya dengan omongan Papa yang kadang ngalor ngidul. Tapi, kalau di pikir lagi.. ada benarnya juga.
Mungkin mereka tidur.
Mungkin mereka nggak bakal denger suara Kean.
Mungkin mereka nggak bakal bukain pintu.
Dan akhirnya, Kean tidur di depan pintu kamar mereka. Sampai subuh.
Kean mendengus. Menggaruk pipinya yang mulai gatal-gatal karena beberapa nyamuk bertebaran di sekitarnya.
Ahh, tapi? Bodo amat. Mama sama Papa pasti bangun.
Ia sepakat, mengepalkan kembali tangan mungilnya untuk mengetuk pintu. Tapi, sebelum ketukan pertama, matanya membola.
Shh..
.
.
.
.
Kean mengerutkan dahi. Menempelkan telingannya ke permukaan pintu. Suaranya berasal dari kamar Mama dan Papa.
Shh..
Suaranya semakin jelas. Diikuti suara-suara aneh yang nggak bisa Kean bayangkan lagi monster seperti apa memiliki suara itu.
Kean mundur selangkah, memilih menjauh dan mulai menaiki tangga dengan ritme cepat.
Untuk pertama kalinya, ia percaya..
Papa nggak bohong soal petualangannya mencari harta karun di Kapal Mr. Crabs.
***
"Ki!"
Akhirnya, pintu kamarnya tak terkunci.
Kean langsung berjingkrak ke ranjang bermotif Princess Aurora, milik Kinan. Anak itu mengguncang tubuh Kinan tanpa peduli seberapa jauh Kinan berpetualang ke Alam mimpi.
Perlahan matanya terbuka. Kinan menggerutu dengan suara khas bangun tidur, lalu memukul lengan Kean keras-keras. "Kamu, tuh apaan, sih!"
"Eww, Ngiler lagi!" Kean mencibir. Lalu kembali gelisah. "Itu.. ada suara.."
"Duuh, Suara apaan?!"
"Di kamar Papa sama Mama.. ada suara aneh."
"Ih, tau ah! Kamu tuh ngomong apa, sih? Udah sana pulang, aku mau tidur!"
"Ih, Aku tidur disini yaa.."
Kinan membulatkan matanya, lalu terduduk. "Nggak!"
"Ayo, dong.. Aku takut! Kayanya Papa nggak bohong soal petualangannya itu.."
"Kebanyakan dengerin cerita Papa, sih!" Kinan menimpuk Kean dengan guling. Mendorong tubuh Kean untuk menyingkir dari ranjangnya. "Udah, sanaaa.. jangan tidur disini!"
"Ayolah, Ki.."
"Nggak!"
"Kenapa, sih?"
"Bu Guru bilang, cewek sama cowok nggak boleh tidur satu kamar!"
"Kita, kan sodara!"
"Tapi aku nggak ngerasa sodaraan sama kamu."
"Tuh, kan kamu mah gitu.. Aku tidur disini, ya? Kamu nggak kasian sama aku?"
"Nggak, biarin."
"Besok aku yang kerjain PR kamu, gimana?"
Kinan mendengus remeh. Sebenarnya, cukup menggiurkan juga, sih.. Kean biasanya paling pelit soal PR.
"Serius?"
"Iya, deh.. serius."
Kinan tersenyum, hingga membuat matanya sedikit menyipit. "Oke."
***
April menaikkan selimut hingga sebatas leher. Lalu melengguh ringan begitu merasakan dinginnya udara pagi. Jam menunjukkan pukul 5.30. Di luar jendela, langit perlahan mulai terang meskipun masih bebaur dengan warna biru tua.
Perempuan itu tertawa kecil. Melihat wajah pria yang kini masih terlelap dengan bulu mata yang begitu lentik. Dengan jarak sedekat ini, April bisa mengakui bagaimana manisnya ia sekarang.
Wajahnya tak berubah. Masih sama seperti SMA dulu. Kalau orang bilang, setelah menikah biasanya seorang cowok akan terlihat lebih maskulin, tapi itu tak berlaku untuk Arion. Ia masih yang dulu, dengan tingkah laku seperti anak kecil yang membawa tawa.
Sesuatu bergetar. Dan April yakin itu ponselnya. Tangannya merogoh bagian bawah bantal, dan menemukan benda itu dengan layar menyala.
Sebuah pesan masuk.
From : +6286127382914
Save no gue ya. Jam 10 kita ketemuan di Wave's Cafe -Marvin
April menahan nafas. Mengurungkan niatnya untuk membalas pesan tersebut. Ia melirik ke belakang, Arion masih tertidur pulas. Pada akhirnya, perempuan itu memilih langsung menonaktifkan ponselnya dan kembali memutar tubuhnya menghadap Arion.
Ratusan pikiran negatif langsung menyeruak. Kenapa dia harus kembali di saat April sudah cukup nyaman dengan kehidupannya sekarang.
Ia punya Arion. Punya Kean dan Kinan.
Dan sekarang, April tak membutuhkan masa lalunya lagi. Lagipula, itu sudah terlalu lama dan sudah sepatutnya untuk ia lupakan.
April melarikan jari-jarinya, mengusap pipi laki-laki yang terus saja terpejam. Jari telunjuknya tiba-tiba merambat ke bibir tipis milik Arion, hingga tanpa ia sadari pria itu membuka matanya.
"Ahh!" April meringis, merasakan ngilu ketika jari telunjuknya di gigit."Sakit, bego."
"Ciee, ngeliatin.." Arion tersenyum unjuk gigi. Ia begitu manis disini.
"Tau, ah." April menggerutu, lalu kembali memutar tubuhnya, memunggungi Arion.
Bukannya merasa bersalah. Arion malah merapatkan tubuhnya, mengecup bahu polos April singkat. "Nggak mandi? Biasanya jam segini udah seger?"
April mengerutkan hidungnya, menolehkan kepalanya ke belakang sejenak untuk mencubit hidung Arion gemas. "Iya, ketularan kamu!"
Arion tertawa kecil. Mengecup pipi April beberapa detik hingga membuat perempuan itu geli. "Mandi, gih! Badanku rasanya lengket semua."
"Mau barengan?" Arion tersenyum.
"Nggak!"
"Beneran.."
"Nggak, ih! Udah sana mandi!"
"Iya, Iya.."
***
"Arion! Dasinya, lupa!"
Arion meraba dadanya, ia melupakan sesuatu. Pria itu berbalik untuk memghampiri April yang sudah berdiri di ambang pintu sambil mengulurkan seutas dasi hitam di tangannya.
Arion menyeringai. Dan hanya dihadiahi dengusan ringan dari April. "Kebiasaan."
"Ya, Sorry.. kan buru-buru."
April tersenyum tipis. Lalu merapikan kemeja Arion sebagai sentuhan terakhir sebelum membiarkan Pria itu masuk ke dalam mobil. "Aku berangkat, ya."
"Hati-hati!"
"Nanti kamu yang jemput anak-anak, kan?" Tanya Arion.
"Iya, kaya biasa." April mengangguk. "Udah, sana berangkat!"
Arion mengecup pucuk kepala perempuan itu, Lalu mengacak rambut April lembut. "Bye!"
Kean dan Kinan sudah siap di mobil sejak lima belas menit yang lalu. Arion menatap dua anaknya yang masing-masing sibuk dengan barang mereka.
Kean dengan iPad-nya, dan Kinan dengan Komik yang baru ia ambil dari kamar saudara kembarnya beberapa hari lalu. Kadang, untuk beberapa waktu tertentu, Kinan menyukai Komik pilihan Kean.
Komik Doraemon dan Miko salah satu Favoritnya.
Arion mulai menyalakan mesin mobil, dan memutar setir untuk keluar dari pekarangan rumah. Dalam perjalanan, suasana hening.
Biasanya, Kinan yang lebih banyak mengoceh. Tentang apa saja. Meskipun berisik, itu lebih menyenangkan daripada hening seperti sekarang.
"PR-nya udah pada di kerjain belum?"
"Udah." Kean bersuara. Tanpa mengalihkan perhatiannya sedikit pun dari layar iPad.
Arion melirik anak perempuannya lewat kaca spion kecil. Ia merasa ada sesuatu yang salah mengenai Kinan.
"Ki?"
"..." Kinan tak bergeming, terlalu fokus membaca atau mungkin sedang melamunkan sesuatu.
"Kinan?"
"...Ya, Pa?"
"Kamu ngelamun? Ini masih pagi, loh."
"Ngantuk doang, kok." Kinan menjawab seadannya.
"PR-nya udah di kerjain belum?" Arion mengulang pertanyaan yang sama.
"Iya, Ud—"
"Udah dong, orang aku yang kerjain semaleman." Kean menyahut, tanpa merasa bersalah.
"Ngerjain apaan? Orang kamu semalem tidur di kamar aku!" Kinan mulai sewot.
Arion mengerutkan dahi. "Kok, tidur di kamar Kinan, sih?"
"Tau! Marahin, tuh Pa! Ganggu orang aja!"
Kean mendengus. Lalu meletakkan iPadnya di paha. "Itu, kan.."
"Kenapa? Kok kamu tidur di kamar Kinan, sih?"
"Abisnya, semalem aku ngga bisa tidur, Pa.. terus mau pindah ke kamar Mama sama—"
"Tuh, katanya di kamar Papa sama Mama ada suara aneh gitu, jadinya dia pindah ke kamarku! Nggak tau malu banget." Kinan memotong kalimat Kean dengan gaya cerewetnya.
Pada akhirnya, Kean hanya mengangguk. "Iya." Anak itu menatap Arion yang duduk di balik kemudi dengan mata fokus ke jalan raya. "Emang Papa beneran petualang ke Kapal Mr. Crabs?"
Arion tertegun. Ia menghentikan laju mobilnya. Bukan. Bukan karena terlalu gugup, tapi di depan sana traffic light menyala dengan lampu merah. "Itu.."
"Emang cerita Papa itu beneran ada?"
"Ya.. Iya, sih. Semalem, Papa emang lagi main-main gitu ke Kapalnya Mr. Crabs."
"Gitu, ya?" Kean hanya mengangguk polos. Dengan mudahnya percaya karena ia sendiri juga tak tau harus bertanya apa lagi.
.
.
.
(TBC)