Terpesona Dokter Tampan

1347 Words
Wajah Rainie mulai terlihat pucat. Anna mengemudi mobil dengan kecepatan tinggi sambil menangis sesenggukan. "STOP, ANNA! BIAR GUE AJA YANG NYETIR!" Anna menggelengkan kepala kuat tanpa menoleh ke arah Rainie. "LO PENGEN MATI, HAH? JANGAN NYETIR SAMBIL NANGIS, ANNA! BERHENTI SEKARANG!" "GAK! GUE GAK MAU!" Rainie mendengus kesal. Tidak ingin sesuatu yang buruk menimpa mereka, dia mencoba untuk menghentikan laju mobil, namun Anna berontak menolak hingga mereka saling berebut mengambil posisi kemudi. "ANNA, BERHENTI ANNA! KITA BISA CELAKA!" "GUE BISA NYETIR DENGAN BAIK KALO LO BISA DIEM GAK GANGGU GUE!" balas Anna tidak terima. Perdebatan yang terjadi antara dua perempuan itu, membuat mobil melaju tidak tentu arah sehingga beberapa kendaraan lain di jalan menjadi terganggu. Tidak sedikit pula mereka para pengendara mengumpat karena kesal. "MINGGIR, RAINIE! LO GANGGU KONSENTRASI GUE!" "GAK AKAN SEBELUM LO BERHENTIIN MOBIL INI!" "CK, OKE-OKE GUE BAKAL BERHENTI SEKARANG. JADI STOP GANGGU GUE!" Rainie pun kembali ke posisi duduknya. Namun, saat Anna mencoba untuk menginjak rem sesuatu yang buruk terjadi. Wajah Anna menjadi pucat dan panik. "Eh, kenapa nih?" Anna menoleh menatap Rainie sambil terus mencoba menginjak pedal rem. "REM NYA BLONG!" "WHAT?!" Anna dan Rainie menatap ke arah jalan. Ada sebuah mobil lain yang berlawanan arah. Kepanikkan pun semakin menjadi. Tanpa pikir panjang, Anna mengarahkan mobil ke arah pohon besar yang berada di tepi jalan. "AAAAA!" BRUK! Kepulan asap yang keluar dari mobil membuat kedua perempuan itu kesulitan bernapas dan juga kepala mereka terasa pening akibat benturan yang cukup keras tadi. ••• Pintu ruangan operasi terbuka dan menampilkan seorang dokter laki-laki yang keluar dari dalam sana. "Dokter, bagaimana operasi suami saya? Apa semuanya baik-baik saja?" Seorang wanita setengah baya segera melontarkan pertanyaan dengan perasaan cemas. Samuel melepaskan masker yang menutupi setengah wajahnya. Kedua sudut bibirnya terangkat, membentuk senyuman. "Alhamdulillah, operasi telah berjalan dengan lancar dan selamat. Sebentar lagi, Pak Handoko akan dipindahkan ke ruang rawat pasien." Wanita itu menghembuskan napas lega. "Alhamdulillah, terima kasih banyak, Dokter." "Sama-sama, Bu. Semua ini tentu atas pertolongan dari Allah. Kalau begitu, saya permisi." Menjadi seorang dokter tentunya mempunyai tanggung jawab yang besar. Apalagi menyangkut dengan keselamatan seorang pasien. Mereka akan sangat merasa bersalah dan tidak berguna saat tidak berhasil menyelamatkan hidup pasien. Namun, kembali lagi kepada takdir dari Tuhan. Semua manusia tentunya bebas berencana, tapi tetap Tuhan yang menentukan karena pilihan terbaik hanya Tuhan yang tahu. Setelah selesai menangani pasien, dia kembali masuk ke dalam ruangannya. Dia melepas jas putih khas seorang dokter lalu di sampirkan di atas kursi. DDRRRTTTT DDRRRTTTT Sebuah panggilan masuk dari wanita yang begitu berharga dalam hidupnya. "Hallo, Ma." "Mama kangen sama kamu, Sam. Kapan kamu akan pulang? Emangnya kamu gak merindukan wanita tua ini?" Samuel menghembuskan napas pelan. Dia bisa saja pulang besok, tapi ada satu pembahasan yang sangat tidak dia sukai saat nanti bertemu dengan wanita itu. "Aku akan usahakan akhir bulan bisa pulang ya, Ma." "Kamu juga pernah janji bakal pulang pada akhir bulan kemarin. Tapi mana buktinya? Sampai sekarang pun kamu hanya memberikan janji palsu sama Mamamu ini." Samuel meringis mendengar protestan dari mama nya, Mulan. Dia memang jarang pulang ke kampung halaman, tempat dimana dia dilahirkan di sana. Terpisah beda kota membuat mereka jarang bisa bertatap muka langsung. "Maaf, Ma. Kecapean kerja jadi kadang malas nyetir." "Alasan saja kamu." "Gak. Aku janji akan pulang akhir bulan ini. Lagi pula, aku juga mau menghadiri pernikahan Satya." Selain karena merindukan Mulan, dia juga ingin bisa menghadiri pernikahan sahabatnya di kampung. "Kamu gak mau kayak Satya? Dia saja sudah akan menikah. Tapi kamu? Mengenalkan calon sama Mama aja kamu belum pernah." Nah ini, pembahasan yang paling dia hindari. Mulan seringkali memintanya untuk segera menikah. Ya, minimal dia membawa calon istrinya saat pulang kampung. "Belum saatnya, Ma." "Lalu kapan? Mama udah pengen gendong anak kamu, Sam. Kamu harus ingat, kalo usia Mama udah gak lagi muda. Mama takut gak bisa lihat kamu menikah nanti." Samuel memijat pelipis nya sambil memejamkan mata sejenak. "Mama gak boleh bilang kayak gitu. Aku yakin, Mama bisa lihat aku nikah. Tapi nanti, gak untuk sekarang, Ma. Aku ingin fokus dengan pekerjaan ku sekarang. Lagi pula, ada anak Mama yang udah nikah. Sebentar lagi juga dia pasti akan segera memberikan Mama cucu. Bersabarlah." "Iya, Mama tahu, Sam. Tapi Mama juga mau dapet cucu dari kamu. Agar Mama bisa langsung dapat cucu yang banyak dari kamu dan adik kamu. Ya udah, kalau nanti kamu udah menemukan perempuan pilihan kamu, segera bawa ke sini kenal kan sama Mama. Dan juga, jangan terlalu lama menunda pernikahan karena itu gak baik." "Iya. Sudah dulu ya, Ma, aku harus kembali kerja. Mama yang sehat-sehat di sana. Love you, Ma." Helaan napas panjang keluar dari mulut Samuel. Dia menyimpan handphone nya di atas meja. Banyak perempuan yang mengejar cinta dokter tampan itu, namun sampai sekarang pun belum ada perempuan yang berhasil memikat hatinya. Karena mata Samuel, semua perempuan yang mendekatinya adalah mereka yang hanya tergiur dengan kekayaan dan profesi nya sebagai dokter. Dia tidak melihat adanya ketulusan mereka yang benar-benar mencintai nya apa adanya. Seumur hidup, dia tidak pernah menjalin hubungan asmara dengan siapa pun. Karena baginya, mengerti perasaan perempuan adalah yang paling sulit. Alhasil, sampai usianya yang sudah menginjak kepala tiga. Dia belum juga menikah. ••• Perlahan kedua mata Anna mulai terbuka. Dia meringis saat merasakan sakit di kepala. Pandangannya mengedar ke sekeliling. Ruangan asing yang bernuansa warna putih. "Dimana gue?" gumamnya bertanya, seraya mencoba untuk duduk. Seorang perawat berjalan masuk mendekati Anna. "Syukurlah, Ibu sudah sadar dari pingsan." "Pingsan?" "Iya, Ibu di bawa ke rumah sakit setelah mengalami kecelakaan," jelas perawat tersebut. Anna terdiam sejenak, memutar ingatan pada beberapa waktu yang lalu. Sampai akhirnya, kecelakaan yang terjadi antara dirinya dan juga Rainie teringat. "Ya, saya ingat! Terus, dimana sahabat saya sekarang?" "Pasien ada di ruangan yang terpisah. Ibu gak perlu khawatir karena sahabat Ibu baik-baik aja." Anna mendesah lega mendengarnya. "Kalau begitu saya permisi," ucap perawat tersebut. Anna mengangguk, lalu dia beranjak pergi. Anna menghela napas berat. "Ini semua gara-gara Daniel. Dia udah bikin gue sakit hati lagi. Bahkan setelah apa yang terjadi, dia udah menikah sama perempuan lain. Argh! Kenapa gue harus ketemu sama dia lagi, kalo harus menghadapi kenyataan yang menyakitkan?" Anna termenung sambil memejamkan mata. Sekuat tenaga dia mencoba untuk tidak menangis. Daniel adalah laki-laki pertama yang telah membuatnya merasakan indahnya jatuh cinta dan juga sakitnya patah hati. Walau sudah tiga tahun terlewati, tapi untuk menghapus kenangan indah yang pernah mereka lalui bukan hal yang mudah. Apalagi Anna yang masih terus membiarkan Daniel hidup dalam ingatan dan hatinya. Anna menggelengkan kepala beberapa kali. "Gak. Gue gak boleh kayak gini terus. Gue harus bisa lupain dia. Banyak laki-laki yang ngejar cinta gue yang bahkan jauh lebih ganteng dan sukses dari pada Daniel." "Mending sekarang gue temuin Rainie. Dia pasti marah sama gue karena kejadian tadi," ucapnya lalu melepas selang infus di tangan. Lantas beranjak keluar. Setelah mendapat informasi dimana letak ruang rawat Rainie, dia berjalan dengan buru-buru agar lebih cepat sampai. Namun, seketika tubuhnya kehilangan keseimbangan setelah bertabrakan dengan seseorang yang keluar dari sebuah ruangan. "AAAA!" Anna memejamkan mata. Dia tidak merasakan sakit apapun pada tubuhnya, namun dia merasa seperti melayang. Perlahan, dia membuka mata dengan ragu untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi. Dan yang pertama kali Anna lihat adalah wajah tampan dengan mata yang menyorot tajam. Dia terpaku dan terpesona pada seseorang yang kini sedang menahan tubuhnya agar tidak jatuh. "Oh My God! Definisi jodoh yang sempurna!" batin Anna, masih nyaman memandangi wajah tampan di depan matanya. "OMG HELLO! DRAMA ROMANTIS APA INI?" Dua orang yang masih dalam posisi itu, menoleh secara bersamaan ke arah sumber suara, dimana ada Rainie di sana yang tengah tersenyum menggoda. Buru-buru Anna berdiri, membenarkan tatanan rambutnya dan berusaha menetralkan detak jantung yang berdebar kencang. "Terima kasih," ucap Anna tanpa berani menatap lelaki yang telah menolongnya. Dari kejauhan, Rainie tersenyum menggoda. "Sama-sama, lain kali lebih hati-hati lagi." Suara berat bernada dingin itu membuat darah Anna berdesir. Sontak saja, dia memberanikan diri untuk melihat wajah lelaki tersebut. Sebuah stetoskop yang menggantung di lehernya, memperjelas siapa laki-laki tersebut. Dia adalah seorang dokter.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD