Pertemuan antar keluarga

1872 Words
Setelah Geo menyetujui syarat yang Roy ajukan, Marco langsung menghubungi Roy dan memberikan kabar baik itu. Roy pun mengundang Marco, Geo, dan Sila untuk makan malam di rumahnya. Selain untuk membicarakan soal perjodohan. Roy ingin memperkenalkan Siren putrinya dengan Geo. Meskipun Roy dan Marco sudah bersahabat lama dan selama dua tahun ini kembali menjalin hubungan persahabatan yang sempat terputus selama lebih dari dua puluh tahun, Siren dan Roy belum pernah bertemu sekalipun. Apalagi setelah lulus S1, Siren memilih untuk melanjutkan S2 nya di Singapura. Ia belum lama ini kembali ke Jakarta, dengan sifat dan penampilan yang sangat berbeda, hingga membuat Roy semakin mencemaskan masa depan putri satu-satunya itu. Roy memang sudah mengenal Geo, karena ia sering datang ke rumah Marco kalau ada waktu senggang. Tapi, Marco maupun Sila hanya tiga kali bertemu dengan Siren, itupun hanya sekedar saling sapa dan tak pernah mengobrol sekalipun. “Sayang, apa Papa boleh masuk?” tanya Roy sambil mengetuk pintu kamar putrinya. Bukannya menjawab, Siren malah melangkah menuju pintu dan membuka pintu kamarnya. “Ada perlu apa, Pa? Siren capek, ingin istirahat.” “Ada yang ingin Papa bicarakan sama kamu. Papa janji, ini gak akan memakan waktu lama.” Siren menghela nafas. Ia lalu membalikkan tubuhnya dan melangkah masuk ke dalam kamar. Roy mengikuti Siren masuk ke dalam kamar putrinya. Kamar yang dulu sering Roy dan istrinya pakai untuk menghabiskan waktu mereka bersama dengan Siren. “Apa yang ingin Papa bicarakan?” tanya Siren setelah mendudukkan tubuhnya di sofa. Roy mendudukkan tubuhnya di samping Siren. Ia menatap pigura yang terpajang di dinding kamar Siren. Hanya ada foto Siren dan ibunya. “Apa kamu ingat dengan teman Papa yang bernama Om Marco?” “Hem.” “Papa ingin menjodohkan kamu dengan anaknya Om Marco—Geo namanya.” “Hah! Apa, Pa? dijodohkan!” seru Siren terkejut dengan kedua mata membola. “Siren gak salah dengar kan, Pa? memangnya ini masih jamannya Siti Nurbaya, pakai acara perjodohan segala! Memang Papa pikir Siren gak laku, sampai Papa harus mencarikan calon suami untuk Siren!” serunya kesal. “Sayang, dengerin Papa dulu. Papa melakukan ini juga demi kebaikan kamu. Papa gak suka melihat kamu sering pergi dengan teman pria kamu yang gak jelas itu. Apalagi penampilannya sudah seperti preman itu.” Siren menggelengkan kepalanya. “Siren gak mau, Pa! Siren menolak perjodohan ini!” tegasnya. “Papa gak mau tau. Kamu akan tetap menikah dengan Geo, karena Geo pria yang tepat buat kamu.” “Pa!” Roy beranjak dari duduknya. “Sekarang kamu tinggal pilih. Kamu terima perjodohan ini, atau semua fasilitas yang Papa berikan ke kamu akan Papa cabut.” Siren membulatkan kedua matanya. “Ya gak bisa gitu dong, Pa!” “Malam ini Papa mengundang Geo dan keluarganya untuk makan malam di rumah kita. Semua keputusan ada di tangan kamu. Papa gak akan memaksa kamu. Tapi, kamu tentu tahu, apa yang akan terjadi kalau kamu sampai menolak perjodohan ini.” Roy lalu melangkahkan kakinya keluar dari kamar putrinya. “Ahrgg! sial! sekarang apa yang harus aku lakukan. Bagaimana mungkin aku menikah dengan Geo atau siapa lah itu. Tapi kalau sampai aku menolak perjodohan ini, Papa akan mengambil semua yang aku miliki.” Siren menggelengkan kepalanya. “Gak! Aku gak mau jadi gelandangan. Tapi, kalau aku menerima perjodohan ini, bagaimana hubunganku sama Nicholas? Dia pasti marah saat mendengar kalau aku dijodohkan.” Siren mengacak-acak rambutnya frustasi. “Tau gini aku gak akan pulang ke Jakarta. Di Singapura, aku bisa hidup dengan bebas. Gak akan ada yang mengaturku seperti ini!” Siren mendengar suara dering ponselnya, ia lalu beranjak dari duduknya dan melangkah menuju ranjang untuk mengambil ponselnya yang tergeletak diatas ranjang. Nicho! Siren lalu menjawab panggilan itu. “Halo, Sayang,” sahutnya saat panggilan itu mulai tersambung. “Sayang, nanti kita jadi jalan ‘kan?” "Gimana ya. Papa tadi bilang kalau malam ini Papa mengundang sahabatnya itu untuk makan malam di rumah. Kalau aku pergi sama Nicho. Apa Papa benar-benar akan mencabut semua fasilitas yang aku miliki saat ini?" gumam Siren dalam hati. “Sayang, kok malah diem? Apa terjadi sesuatu?” “Em... enggak kok. Sayang, malam ini aku gak bisa jalan sama kamu. Aku lupa kalau aku ada janji sama Papa,” ucap Siren berbohong. “Tumben. Bukannya selama ini kamu selalu menolak saat papa kamu ngajak kamu pergi?” “Iya sih. Tapi katanya ada hal penting yang ingin Papa bicarakan sama aku. Aku janji, besok aku akan ke apartemen kamu.” “Janji ya.” “Hem, kalau gitu aku tutup dulu. Selamat malam Sayang. Mimpiin aku ya,” ucap Siren dengan senyuman di wajahnya. “Selamat malam, Sayang. Aku akan selalu mimpiin kamu. I love you.” “I love you too, Sayang.” Siren lalu mengakhiri panggilan itu. Ia lalu mendudukkan tubuhnya ke tepi ranjang, menatap layar ponselnya. Dimana walpaper ponselnya adalah foto dirinya bersama dengan Nicholas saat berada di Singapura. “Maafin aku, Nic. Aku gak bermaksud untuk membohongimu.” Saat ini Geo dan keluarganya sudah sampai di rumah Roy. Seorang wanita paruh baya—yang tak lain asisten rumah tangga Roy menyuruh mereka untuk masuk dan mempersilahkan mereka untuk duduk, sebelum wanita paruh baya itu pamit undur diri untuk memanggil majikannya. “Tuan, Tuan Marco dan keluarganya sudah datang. Mereka saat ini sedang menunggu di ruang tamu,” ucap wanita paruh baya itu sambil sedikit membungkukkan tubuhnya. “Terima kasih, Bi. Tolong panggilkan Siren, suruh dia untuk turun.” “Baik, Tuan. Saya permisi,” pamit wanita paruh baya itu lalu melangkah pergi. Roy beranjak dari duduknya, melangkahkan kakinya menuju ruang tamu. Geo yang melihat Roy melangkah mendekat, langsung beranjak dari duduknya. Melangkah mendekat untuk mencium punggung tangannya. “Terima kasih sudah mau memenuhi undangan Om, Geo. Sudah lama Om gak melihat kamu,” ucap Roy sambil menepuk bahu Geo. Geo hanya menepiskan senyumannya. Kalau bukan karena kedua orang tuanya. Ia juga tak akan sudi untuk datang ke rumah itu. Apalagi sahabat papanya ini tak tulus ingin membantu papanya. Roy mempersilahkan Geo untuk duduk di tempatnya semula. Ia pun juga mendudukkan tubuhnya tepat di depan Sila. “Roy, dimana Siren?” tanya Sila saat melihat Siren yang belum muncul untuk menyambut kedatangan mereka. “Sebentar lagi akan turun. Biasa anak gadis, pasti lama untuk berdandan. Apalagi yang datang adalah keluarga calon suaminya,” ucap Roy dengan menepiskan senyumannya. “Roy, apa kamu sudah membicarakan soal perjodohan ini sama Siren? apa dia setuju dengan rencana perjodohan ini?” tanya Marco penasaran. “Kamu tenang saja. Siren sudah menyetujuinya. Jadi, sekarang kita tinggal membicarakan soal pernikahan mereka.” Siren malam ini memakai gaun berwarna merah hati. Sangat cocok kalau dipadukan dengan warna kulitnya yang putih bersih. Rambut panjang yang sedikit bergelombang, sengaja ia biarkan tergerai dengan sangat indah. Saat ini Siren tengah melangkah menuju ruang tamu. Kali ini ia akan menuruti apa kata papanya. ia juga tak mungkin bisa hidup tanpa uang dan fasilitas dari papanya. Siren mencium punggung tangan Marco dan Sila. “Selamat malam, Om, Tante,” sapanya kemudian. Sila mengusap lengan Siren. “Kamu terlihat sangat cantik malam ini, Sayang,” pujinya. Siren tersenyum. “Terima kasih, Tante.” Siren lalu mendudukkan tubuhnya di samping papanya. Ia lalu melirik ke arah Geo. Begitupun dengan Geo. Kini mereka saling menatap satu sama lain. Geo tak menampik, kalau Siren adalah wanita yang sangat cantik dan penampilannya sangat elegan. Memperlihatkan statusnya yang memang putri dari pengusaha sukses. Siren terlebih dulu memutuskan tatapannya. Ia lalu menatap papanya. Mendekatkan wajahnya dan membisikkan sesuatu. “Apa Papa puas sekarang?” bisiknya pelan. Roy sama sekali tak menanggapi apa yang putrinya katakan padanya. Apalagi malam ini adalah malam yang sangat penting untuknya. Ia lalu mengajak Geo dan keluarganya untuk segera makan malam. Malam ini Siren berusaha untuk menjaga sikapnya di depan keluarga Geo. Ia tak ingin sampai keluarga Geo mengetahui hubungannya dengan papanya yang sebenarnya. Setelah selesai makan malam, Roy menyuruh Siren untuk berjalan-jalan. Niat Roy yang sebenarnya agar Siren dan Geo bisa saling mengenal satu sama lain. Siren mendudukkan tubuhnya di bangku taman. Begitu juga dengan Geo. Tapi mereka duduk di bangku yang berbeda. “Kenapa kamu mau menerima perjodohan ini? padahal kita gak saling mengenal satu sama lain?” tanya Siren sambil menatap Geo. Geo memang terlihat sangat tampan malam ini. Tapi bagi Siren, Nicholas tetaplah pria yang paling tampan di dunia ini. Tak akan ada yang menandingi ketampanan Nicholas. Siren dan Nicholas sudah menjalin hubungan selama tiga tahun. Mereka bertemu saat Siren menuntut ilmu di universitas yang sama dengan Nicholas. Tapi, Roy sama sekali tak merestui hubungan mereka. Apalagi saat melihat penampilan Nicholas yang seperti preman. Nicholas memang berpenampilan seperti anak muda jaman sekarang. Ia bahkan memakai tindik di telinga kirinya. Belum lagi rambutnya yang dicat pirang. Usia Nicholas bahkan lebih muda dua tahun dari Siren. Tapi, Nicholas berhasil mendapatkan gelar S2 sama seperti Siren. Di tahun yang sama. “Aku akan bicara jujur sama kamu. Papa mu datang ke rumahku dan menawarkan bantuan kepada papaku. Tapi dengan syarat. Syaratnya adalah aku harus menikah denganmu.” Siren membulatkan kedua matanya. Ia tak menyangka papanya akan menjatuhkan harga dirinya dengan mengemis kepada keluarga Geo, agar Geo mau menikahinya. “Apa yang kamu dapatkan dari papaku, kalau kamu menikah denganku?” Siren mencoba untuk menahan amarahnya saat ini. Kecewa itu pasti. Siren bahkan tak tau apa yang ada di pikiran Geo saat ini tentangnya. “Uang. Papa mu menawarkan bantuan untuk membantu perusahaan keluargaku untuk kembali bangkit.” “Perusahaan keluarga kamu bangkrut gitu?” tanya Siren dengan menautkan kedua alisnya. Geo menganggukkan kepalanya. Siren lalu tersenyum sinis. “Jadi keluarga kamu menjual mu hanya untuk uang,” sindirnya. Geo mengepalkan kedua tangannya. Ingin marah pun ia tak mampu. Apalagi apa yang Siren katakan memang benar. Keluarganya menukar dirinya demi uang. “Sekarang giliran aku yang bertanya. Kenapa kamu menerima perjodohan ini?” tanya Geo sambil melipat kedua tangannya di dadaa. “Kamu gak perlu tau soal itu. Anggap saja aku membantumu untuk mendapatkan uang dari papaku. Kalau aku menolak perjodohan ini, aku yakin papa aku gak akan membantu perusahaan papa kamu.” Siren lalu tersenyum sinis. “Jadi, seharusnya kamu berterima kasih sama aku. Berkat aku, kamu dan keluarga kamu gak akan jadi gelandangan,” lanjutnya. Geo ingin membalas perkataan Siren, tapi Roy lebih dulu memanggil mereka untuk masuk. "Sialan itu cewek! Kalau gue gak butuh bantuan bokapnya, udah gue robek-robek itu mulut!" umpat Geo dalam hati. Siren melangkah masuk lebih dulu, meninggalkan Geo dengan emosi yang sudah berada di ubun-ubun. Geo tak langsung masuk ke dalam rumah Siren. Ia ingin mendinginkan pikirannya terlebih dahulu. Bagaimanapun ia tak boleh mengacaukan semuanya. Demi keluarganya, ia rela harga dirinya diinjak-injak oleh calon istrinya sendiri. "Wajahnya memang cantik. Tapi sayang... hati dan sifatnya tak secantik wajahnya. Mimpi apa gue sampai harus menikah dengan wanita seperti itu?" gumam Geo dalam hati. Geo yang merasa sudah sedikit membaik, kini mulai melangkahkan kakinya untuk masuk ke dalam rumah Siren dan bersiap-siap untuk mendengar tentang rencana pernikahannya dengan Siren. Geo sudah tak bisa mundur lagi. Apalagi papanya sudah menerima sebagian uang untuk membayar hutang keluarganya pada bank. Geo menghela nafas panjang. “Semoga ini keputusan terbaik yang pernah gue ambil. Gue juga yakin, suatu saat nanti, Siren pasti bisa berubah,” ucapnya menyakinkan dirinya sendiri.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD