Hari ini hari yang sangat penting untuk siswa/siswi kelas sepuluh dan sebelas SMA Pelita Harapan Bandung, di mana mereka akan menerima laporan pendidikan dan putusan naik tau tidaknya mereka ke tingkat selanjutnya. Arlan sudah terlihat tampan dengan seragam lengkapnya.
"Duh, Cucu Nenek kasep pisan," Salma menghampiri cucu kesayangannya.
"Nenek bisa aja," sahut Arlan.
"Udah kasep, pintar, baik, pasti banyak anak gadis yang nempel."
Arlan menoleh,"Nenek apa sih, Adek tuh mau belajar, nggak mau mikirin perempuan dulu."
"Anak pintar,"
"Hari ini Nenek datang, kan, ambil raport Adek?"
Arlan tidak lagi berharap orang tuanya akan datang toh sudah bisa dipastikan kalau orang tuanya lebih memilih datang ke sekolah Arkan.
"Iya, Nenek pasti datang. Tapi Adek nggak malu, kan, kalau Nenek yang datang?"
Arlan menggeleng,"Adek nggak malu. Adek senang kalau ada yang mau datang ambil raport Adek."
Salma tersenyum getir. Arlan sudah melewati banyak hal pahit ketika tinggal bersamanya. Waktu SD Ia sangat sering dibilang anak yang dibuang karena nyaris tidak pernah dikunjungi orang tuanya. Arkan mengadakan pesta besar-besaran di Jakarta ketika usianya bertambah, tapi dihari yang sama Arlan justru tengah dalam keadaan terluka karena hanya bisa merayakan hari pertambahan usianya dengan Nenek, Kakek, dan Gilang sahabatnya.
"Nek? Kok malah melamun?"
"Eh-- nggak apa-apa."
"Do'ain Adek, ya, Nek. Semoga hari ini dapat peringkat satu lagi."
"Aamiin. Cepat berangkat, nanti terlambat."
Arlan menyampirkan tasnya kemudian mencium punggung tangan sang Nenek dan segera berangkat ke sekolah.
***
Arkan mengunci pintu kamarnya. Ia tidak mau keluar dan melakukan apapun. Arkan ngambek pada kedua orang tuanya.
"Aa, kok nakal, sih? Ayo keluar! Kan harus ambil raport di sekolah," ujar Inka dengan sedikit berteriak.
"Bodo amat!"
"Aa nggak boleh gitu!" tegur Devan.
"Pokoknya Aa nggak mau keluar kalau kita nggak berangkat ke Bandung sekarang juga! Adek juga ambil raport, Bunda. Kasihan Nenek terus yang ambil raport Adek."
Inka dan Devan saling tengok seolah tengah berusaha mencari jawaban satu sama lain. Benar juga, selama ini mereka hanya memikirkan Arkan. Arlan di sana entah seperti apa ketika pengambilan raport.
"Mas, bagaimana kalau hari ini kita ke Bandung, ke sekolah Arlan? Kita sudah sering mengambilkan raport Arkan. Sekalian kita urus kepindahan Arlan ke Jakarta."
Devan mengangguk,"Baiklah kita urus kepindahan Arlan, tapi kamu sanggup mengurusi keduanya secara bersamaan?"
"Insyaallah sanggup, Mas."
Tanpa mereka ketahui rupanya Arkan menguping di balik pintu. Samar-samar Ia mendengar percakapan orang tuanya yang menyatakan akan menjemput Arlan. Sebuah senyum tersungging, Arkan senang akan kembali tinggal bersama saudara kembarnya.
Pintu terbuka.
"Setuju! Pokoknya kita jemput Adek sekarang," Arkan keluar dengan wajah polosnya.
"Aa," Inka langsung menghadiahkan sebuah jeweran pada putranya yang dirasa sudah mengerjainya,"cepat mandi. Kita langsung berangkat," lanjutnya.
***
Arlan duduk dengan gusar menanti kehadiran Neneknya. Semua Siswa di kelasnya sudah didampingi orang tuanya, sedangkan Arlan masih sendiri. Sesekali Ibunda Gilang mengajaknya mengobrol tapi Arlan menyahuti seperlunya saja. Sakit, kecewa, rindu, perasaan itu kerap kali dirasakannya. Bagaimanapun Ia ingin seperti orang lain.
"Nenek kamu belum datang, Lan?" tanya Gilang.
Arlan hanya menjawab dengan sebuah gelengan. Ia kembali melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangannya. Apakah neneknya tidak akan datang? Sudahlah. Arlan tidak mengharapkan siapapun sekarang.
***
Hidup harus tetap berlanjut, bukan? Itu pula yang sekarang berusaha Aura lakukan. Belva Aura Naila Shafa, beberapa tahun yang lalu setelah lulus kuliah gadis itu dipinang oleh seorang laki-laki bernama Dimas, dari pernikahannya itu mereka dianugrahi seorang putri bernama Audi ––'Aura-Dimas'
Putrinya baru duduk di bangku Sekolah Dasar. Meskipun perempuan tapi Audi sangatlah nakal, padahal Aura ataupun Dimas semasa kecil tidak seperti itu. Hh––kenakalan gadis kecilnya membuat Aura rindu akan seseorang––seseorang yang tak pernah pergi dari hatinya.
Begitu pulang kerja Dimas langsung marah-marah.
"Kamu ini bisa nggak ngurus anak? Masa Audi nilainya jeblok semua? Dia anak perempuan. Memalukan, Aura!" wajah Dimas merah padam menahan amarah.
Tahun-tahun pertama memang hidup mereka bahagia, namun belakangan pertengkaran-pertengkaran itu sering hadir.
"Papa, jangan marah. Audi yang salah."
Mata Audi memerah sudah nyaris menangis.
Dimas luluh, Ia tidak bisa melihat putri kecilnya sedih. Laki-laki itu berjongkok di depan Audi,"Belajar yang rajin, Di. Papa nggak mau anak Papa jadi anak bodoh."
Audi mengangguk kemudian berlari ke arah sang Mama,"Mama, jangan sedih. Maafin Audi."
"Mama nggak sedih. Audi janji, ya, ke depannya harus rajin belajar?"
Audi mengangguk paham,"Mama, Audi mau ke rumah Oma."
"Omanya lagi nggak ada, sayang. Ke Bandung jemput Kak Arlan."
"Yahh––"
Rumah Aura sekarang memang berdekatan dengan rumah Almarhum kekasihnya––Gibran. Putri kecilnya tak jarang pergi ke rumah Inka untuk sekedar bermain atau mengganggu Arkan. Mereka berteman baik. Hanya dengan Arkan, karena sejak beberapa tahun yang lalu Arlan dipindahkan ke Bandung.
***
Arlan maju ke depan kelas dengan perasaan gugup. Meski bukan pertama kalinya Ia mendapat peringkat pertama, tapi tetap saja ada perasaan tidak percaya diri, terlebih Arlan tidak di dampingi siapapun hari ini.
"Arlan, selamat, ya. Ini kesekian kalinya kamu peringkat satu," Bu Manda wali kelas Arlan memberikan ucapan selamat.
Arlan tersenyum tipis.
"Orang tua kamu pasti sangat bangga."
Suara tepuk tangan terdengar. Namun di tengah-tengah gemuruh tepuk tangan itu tiba-tiba terdengar celetukan.
"Orang tuanya bangga? Emang punya orang tua? Hahahaha ... "
Arlan langsung tertunduk malu.
"Diam! Arlan punya orang tua!" bela Gilang.
"Mana? Kalau punya orang tua harusnya dia nggak datang sendiri."
Arlan sudah nyaris menangis, Ia malu dan terluka karena celetukan temannya itu. Arlan memang sudah sangat sering mendengar hinaan-hinaan itu, tapi biasanya sang nenek selalu menguatkan.
"Arlan punya orang tua."
Arlan mengangkat kepalanya begitu mendengar suara itu, bukan neneknya, bukan lagi Gilang, tapi––bundanya.
"Arlan punya orang tua dan kami adalah orang tuanya," Inka dan Devan maju ke depan dengan percaya diri, Ia melemparkan tatapan tajam kepada anak yang baru saja menghina putranya.
Wajah Arlan yang memang putih kini memerah, jika tadi laki-laki itu ingin menangis karena hinaan temannya, sekarang Ia justru ingin menangis karena kehadiran ayah dan bundanya.
***
Ketika Devan dan Inka pergi ke sekolah Arlan, Arkan memilih istirahat di rumah sang nenek karena tubuhnya terasa sedikit lelah. Arkan tiduran di pangkuan Salma,"Nek, selama di sini Adek ngapain aja?"
"Adek paling sekolah, pulang sekolah kalau nggak main ya bantuin Nenek, sorenya ngaji, belajar tapi kadang malam main lagi sampai jam sembilan terus tidur."
"Adek baik, ya, Nek."
"Adek nggak pernah macam-macam, soalnya kalau nakal Kakek pasti marah. Aa gimana sekolahnya?"
"Ya, gitu," Arkan tersenyum kikuk, pasalnya nilai-nilainya tidak begitu bagus, ditambah kenakalan-kenakalannya,"Kakek kenapa marah kalau Adek nakal?" tanya Arkan kemudian.
Ardhan yang sedari tadi hanya diam, lantas menyahuti,"Anak yang nakal itu tidak bisa didiamkan, harus di tegur biar gak semakin keterlaluan."
Arkan mengangguk-angguk paham.
Tengah asik berbincang tiba-tiba saja Arlan masuk, tak ada salam atau apapun, anak laki-laki itu langsung masuk ke dalam kamar kemudian mengurung diri di sana.
Arkan dan Salma terheran-heran melihat itu, namun kaduanya mulai paham begitu melihat Inka dan Devan menyusul. Salma tahu pasti ada pertengkaran diantara mereka.
"Adek kenapa, Bunda?" tanya Arkan.
Inka menggeleng, Ia lantas mengetuk pintu kamar Arlan.
Inka mengetuk pintu, kemudian bersuara, "Adek, buka pintunya, Nak. Bunda mau bicara."
Tak terdengar jawaban.
"Dek, maafin Bunda. Ayo kita bicara."
"Kalian pulang aja ke Jakarta!" teriak Arlan dari dalam.
"Dek, dengarkan Ayah. Kita minta maaf karena selama ini membiarkan Adek sendiri. Ayah benar-benar sibuk, dan Arkan sering sakit jadi belum sempat menjenguk Adek," tutur Devan.
"Sepuluh tahun nggak sempat atau lupa kalau kalian punya anak yang lain? Pulang aja pulang! Adek nggak butuh kalian!"
Devan menghela napas berat. Putranya benar-benar marah kepada mereka.
Arkan berjalan mendekat ke arah pintu,"Dek, Aa mau bicara. Buka pintunya ya. Aa kangen sama Adek."
"Adek nggak kangen sama siapapun! Pergi aja pergi!"
"Adek kok begitu. Nenek nggak pernah ajarin bicara seperti itu sama orang tua."
Arlan membuka pintu kamarnya dan langsung menyembunyikan tubuhnya di balik tubuh sang nenek.
"Adek jangan takut, ini Bunda."
Inka berjongkok, mengulurkan tangan hendak menarik Arlan ke dalam pelukannya, namun Arlan menjauh. Wajah Arlan benar-benar sangat mirip dengan Gibran, tapi sifatnya jauh berbeda. Segi fisik Gibran menurunkan semuanya pada Arlan, sedangkan sifat mungkin diturunkan pada Arkan.
"Adek nggak mau maafin Bunda?"
Arlan diam. Tak punya jawaban yang tepat untuk bundanya.
"Adek benci sama Bunda?"
"Adek nggak marah, cuma kecewa. Kenapa kalian tega biarin Adek sendiri. Kalian di mana waktu Adek sakit? Kalian di mana waktu Adek di ejek teman? Nggak ada. Adek sendiri."
Melihat wajah Arlan memucat, Salma langsung menyuruh cucunya itu istirahat,"Adek istirahat aja. Biar Nenek yang bicara sama Bunda."
Arlan mengangguk, Ia langsung berjalan kembali ke kamarnya. Kepalanya jadi sedikit pusing setelah bertengkar dengan kedua orang tuanya, Arkan mengikuti kembarannya dari belakang.
Arlan berbaring, Arkan juga ikut berbaring. Arlan tidur menyamping membelakangi Arkan.
"Dek, marah, ya, sama Aa?"
"Gak."
"Adek bohong, masa jawabnya ketus."
"Suka-suka."
"Dek, Aa kangen Adek. Adek nggak kangen sama Aa?"
"Gak."
"Hhh––Dek, kata Bunda dulu Kak Gibran sayang banget sama kita. Lihat kita berantem gini Kak Gibran pasti sedih."
Arlan membalikan tubuhnya,"Kalau Kak Gibran ada, Adek pasti nggak sendiri. Kak Gibran nggak akan biarin Adek sendiri."
"Maafin Aa."
"Nggak apa-apa."
"Kita pulang ya? Kita mulai semuanya dari awal. Kita akan selalu sama-sama, Aa janji bakal jagain Adek."
"Janji?"
Arlan mengacungkan kelingkingnya, yang langsung disambut oleh Arkan,"Janji."
Sementara di ruang tamu Salma masih bicara serius dengan Devan juga Inka.
"Ma, tolong biarin Inka bawa Arlan pulang."
"Kalian tidak bisa seenaknya. Pergi lalu kembali dan memaksa-maksa Arlan seperti ini. Jelas saja Arlan kaget," terang Ardhan.
"Maafin kita, Pa," sesal Devan.
"Mama nggak akan mengizinkan kalau memang Arlan tidak mau."
"Adek mau kok, Nek," ujar Arlan.
Semua menoleh ke sumber suara.
"Adek ... " lirih Inka.
"Boleh, ya, Nek?"
"Adek yakin?" tanya Salma.
Arlan mengangguk mantap.
Salma akhirnya mengiyakan karena itu merupakan keputusan cucunya. Ia harus memberi kesempatan pada Inka dan Devan untuk menebus kesalahan mereka.