3. What A Day!

1789 Words
"Sore, Miss." Juro tersenyum tanpa rasa berdosa ketika akhirnya dia datang untuk menjemput Luna. Luna dengan berani memelototi Juro, kemudian dengan gaya dramatis mengangkat tangan kirinya tinggi-tinggi untuk melihat jam tangannya. "Hobi, Pak?" tanya Luna ketus. Juro menatap heran. "Hobi apaan, Miss?" "Hobi banget telat jemput anak," sindirnya tajam. "Ini kan udah cepet, Miss. Biasanya kan lebih telat lagi." Memang biasa Juro akan menjemput Bricia kalau sudah mendekati pukul enam sore, sementara sekarang baru pukul lima. "Coba diliat, Pak. Masih ada gak anak lain selain Cia sekarang. Cuma Bapak ini lho orang tua yang selalu telat jemput anaknya." "Nggak tiap hari kok, Miss. Seminggu ini baru dua kali, sama sekarang jadi tiga kali," ujar Juro dengan wajah polos. "Aing mah ... Kumaha sungut sia weh," desis Luna dongkol. *Terserah mulut lo aja Juro hanya menatap heran pada Luna, tidak mengerti gadis itu berbicara apa. "Miss, ngomong sama saya? Saya nggak ngerti." "Nggak perlu tau juga, Pak. Udah saya mau pulang. Cia, Miss Luna pulang dulu ya. Tolong bilang sama Papa ya, kalau Cia itu bubar sekolahnya jam SE-TENG-AH EM-PAT," sindir Luna dengan sengaja mengeja kata-katanya dengan sangat perlahan dan keras, sambil tidak lupa melirik tajam pada Juro. Baru beberapa langkah Luna berlalu, Juro segera memanggilnya kembali. "Miss, mau nanya boleh gak?" "Apa lagi?" Luna menoleh sambil menjawab dengan ketus. "Miss, suka ngemut cabe gendot ya?" Juro memiringkan kepalanya sambil memasukkan tangannya ke saku celana. "Hah?" Luna mengernyit bingung. "Atau cabe domba, Miss?" tanya Juro lagi sambil tersenyum jahil. "What?" Kini Luna mulai curiga jika Juro mengejeknya. "Bukan juga. Oh, saya tau! Pasti Miss suka ngemut petasan cabe kan?" Juro manggut-manggut menyebalkan. Luna segera berbalik dan berjalan dengan kesal. "Apa maksudnya Bapak nanya kayak gitu?" "Gak ada maksud kok. Cuma penasaran aja, kenapa Miss mulutnya pedes banget kalo ngomong. Dari pertama ketemu, Miss perasaan gak pernah ngomong baik-baik sama saya. Pake urat terus. Kirain kebanyakan konsumsi sejenis begituan." "Nggak lucu, Pak!" sentak Luna sebal. Luna tahu harusnya dia bersikap sopan pada orang tua murid, namun entah mengapa makhluk di depannya ini sama sekali tidak bisa diajak bekerja sama. "Tuh kan! Cuma ditanya gitu aja langsung nyolot." Juro terkekeh. "Ya, Bapak cari gara-gara terus. Liat muka Bapak tuh bawaannya saya pengen marah aja, gak ada damai-damainya!" Memang benar yang Juro katakan, sejak pertemuan mereka yang pertama, Luna memang selalu bersikap ketus. Itu karena pertemuan pertama mereka terjadi di hari pertama Luna mengajar, yang merupakan mimpi buruk bagi Luna. *** Hidup Luna sudah jungkir balik sejak hari pertama dia menjejakkan kakinya di Nada Pesona. Hari pertama Luna mengajar, semua berjalan dengan kacau. Luna yang sedang duduk mendengarkan Hana mengajar sambil terkantuk-kantuk dari meja guru di sudut belakang kelas, tiba-tiba dikagetkan oleh desisan kecil salah satu muridnya. "Miss Luna," bisik Nathan yang duduk di barisan paling belakang, paling kiri, dan paling dekat dengan meja Luna. "Yes, Nathan?" Meski baru satu hari di kelas itu, Luna sudah hafal dengan Nathan. Karena hampir setiap sepuluh menit sekali, bocah itu akan memanggil Luna untuk menanyakan sesuatu. "Miss Luna, Nathan ngantuk. Kita pulangnya berapa jam lagi sih?" tanya bocah itu dengan gusar. Luna melirik jam tangannya. Ya Tuhan, ini baru jam sepuluh? Anak-anak pulang setengah empat kan? Perasaan gue udah lama banget duduk di sini. Nath, jangankan kamu, Miss aja ngantuk. "Sabar ya Nathan, masih lima jam lagi." Luna mencoba menjawab dengan sabar. "Tapi Nathan mau bobo Miss!" Nathan meletakkan kepalanya di atas meja. Ih sama dong! Luna berjalan mendekat, membantu Nathan untuk kembali duduk dengan tegak. "Nanti di rumah Nathan boleh tidur. Sekarang belajar dulu ya, dengarkan Miss Hana lagi bicara di depan." Untuk beberapa saat Nathan kembali mendengarkan Hana. Namun tidak sampai lima belas menit, bocah itu kembali mendesis memanggil Luna. "Miss Luna?" "Yes, Nathan?" Luna mulai bosan menanggapi ocehan bocah ini. "Nathan laper," rengeknya sambil memegangi perutnya. Ya kali. Perasaan ni bocah udah makan pas Recess 1. Belum juga satu jam udah laper lagi aja. Pantes pipinya chubby banget kayak si Claura. "Kan tadi Nathan baru minum s**u sama makan kue. Tunggu ya, sebentar lagi Recess 2. Nathan boleh makan." Mendengar kata akan makan, Nathan kembali tenang. Namun lagi-lagi hanya ketenangan palsu. Tidak sampai sepuluh menit, bocah itu kembali memanggilnya dan mengeluarkan rengekan yang lebih dahsyat. "Miss Luna, Nathan mau Mami!" Dan sontak bocah itu menangis tersedu-sedu bahkan meraung-raung. Membuat seisi kelas kebingungan. Ya Tuhan, cobaan apalagi ini? Luna mendadak panik melihat Nathan tiba-tiba menangis, dia tidak tahu harus bagaimana. Biasanya kalau adiknya menangis meraung-raung seperti ini, maka pilihan yang akan Luna lakukan hanya tiga, yaitu: 1. Masuk kamar. Tutup pintu. Pasang headseat, jangan lupa lagunya dengan volume ekstra. 2. Ambil jaket. Ambil dompet. Ambil kunci motor. Ambil helm. Pergi. 3. Maaf, hanya tersedia dua jawaban. Silakan pilih dari pilihan 1 & 2. Luna bernapas lega ketika Hana tiba-tiba sudah berjongkok di depan Nathan, membisikkan kata-kata mujarab yang dalam hitungan detik berhasil membuat tangis bocah itu berhenti. Luna takjub menyaksikan Hana yang penuh wibawa dengan aura 'guru sejatinya' berhasil membungkam tangis Nathan dalam sekejap. *** "Miss Luna, gimana kesan pertama mengajar?" tanya Hana ramah di saat waktu makan siang mereka. "Hah?" Luna yang belum terbiasa dengan kebisingan di dalam ruang makan saat jam makan siang seperti ini, harus mencondongkan tubuhnya ke arah Hana untuk mendengar perkataan wanita itu. Bagaimana tidak berisik jika tiga ratus siswa berukuran mini, semua berlomba makan sambil berdengung seperti lebah. Ini kok berasa di asrama ya gue? Perasaan jaman gue kecil mana ada jam makan siang begini? Yang ada waktu seumur mereka, jam segini sih gue udah lagi enak-enaknya manjat pohon mangga punya tetangga, atau rusuh ngejar-ngejar anak tetangga yang cengeng bareng Arvin & Ervin yang cuman pake kolor sama singlet doang. "Gimana kesan pertama mengajar? Ini pertama kalinya kan?" Hana kembali mengulang pertanyaannya dengan lebih keras. "Oh? Iya. Ini pertama kali saya kerja juga Miss Hana. Lumayan sih, cuma saya nggak tahu harus gimana. Nggak ada pengalaman dan nggak pernah kepikiran juga mau jadi guru." "Biasa kok itu-" Ucapan Hana segera terhenti ketika murid yang duduk di depannya menyela percakapan mereka. "Miss Hana, Aldi nggak suka ini!" Aldi merengek sambil menusuk-nusuk daging dalam kuah Rawon. "Ini kenapa item, Miss Hana? Mbak masaknya gosong ya?" tuntut bocah itu. Luna segera menundukkan wajahnya untuk menatap piring makan sebesar nampan, yang mengingatkan Luna akan mirip piring makan di rumah sakit. Ya wajar sih. Gue aja horor liatnya. Ini sih persis kaya bikinan si Mami. "Aldi tidak boleh pilih-pilih makanan, Sayang. Kan tadi kita sudah berdoa sebelum makan, sudah minta Tuhan memberkati makanan kita. Jadi harus dihabiskan ya." Hana mencoba membujuk Aldi. "Miss Hana sabar banget ya," bisik Luna terpana. "Nanti juga Miss Luna pasti bisa, cuma butuh membiasakan diri aja. Miss Luna juga harus sabar, karena anak-anak kelas satu ini juga kan baru masuk. Mereka masih penyesuaian lagi dengan suasana dan cara belajar di sini. Banyak mereka yang sering kangen orang tuanya, mengantuk, bosan, ya seperti Nathan tadi. Karena waktu TK kan mereka jam 12 udah bubar sekolah, sekarang sampai sore. Jadi masih adaptasi, Miss Luna." "Gitu ya, Miss? Miss Hana emang udah berapa lama ngajar di sini?" "Saya baru lima tahun Miss Luna." Wanita itu tersenyum ramah. Hana memang sejak kecil sudah bercita-cita menjadi guru. Dia mengambil pendidikan keguruan saat kuliah dan langsung bergabung dengan Nada Pesona ketika dirinya lulus. "Miss, saya balik ke kelas dulu ya." "Lho makanannya belum dimakan?" Hana menatap heran pada Luna. "Saya belum laper, Miss. Buat nanti aja, ini saya bungkus dulu." Luna berjalan meninggalkan meja makan, membungkus jatah makan siangnya dan bersiap kembali ke kelas. Ketika Luna hampir mencapai pintu ruang makan, Aldi berjalan ke arahnya dengan wajah pucat pasi. "Aldi kenapa?" tanya Luna khawatir. "Aldi mau ..." Belum selesai bocah itu berbicara, semburan maha dahsyat sudah keluar dari mulutnya menuju tubuh Luna. Luna termangu untuk beberapa detik. Kemudian dengan wibawa seorang guru sejati yang harus menjadi contoh dan teladan yang baik, Luna segera berlari meninggalkan Aldi di TKP begitu saja. Luna setengah mati menahan keinginannya untuk muntah. Dia berlari secepatnya menuju kamar mandi untuk membersihkan pakaiannya yang sudah menghitam karena semburan Aldi tadi. Sumpah ya! Demi apa inii!!! Jerit Luna dalam hati, namun hanya geraman yang keluar dari bibirnya. Dia berusaha mencuci bajunya yang terkena muntahan Aldi di depan wastafel.      Seorang guru wanita yang sedang berada di sana mengajaknya berbicara. "Miss, pinjam baju di Teacher Resources aja. Di sana ada baju-baju cadangan kok." Guru wanita itu berujar dengan nada simpatik. "Teacher Resources di mana, Miss?" tanya Luna lega. Setidaknya dia tidak perlu menggunakan baju bau dan kotor ini sampai waktunya pulang nanti. "Di lantai dua, Miss. Dekat Library." "Thank you, Miss!" Dan demi menyelamatkan dirinya secepat mungkin, Luna segera melesat dan melupakan semua adat kesopanan. Namun sayang, di tengah perburuannya menemukan ruang yang dikatakan guru wanita tadi, langkah Luna dihadang oleh seorang pria muda. "Siang, Miss! Mau tanya dong, kalo ruang Tata Usaha di mana ya?" Luna yang tengah terburu-buru malas menanggapi. "Maaf, Pak. Saya nggak tahu." Luna sudah bersiap-siap melanjutkan langkahnya ketika pria itu mengeluarkan komentar yang memancing kekesalan Luna. "Lho masa nggak tahu? Miss guru kan di sini? Ngajar di sini kan?" tanya pria muda. Entah mengapa nada bicaranya terdengar sangat menyebalkan. "Iya! Tapi saya nggak tahu, Pak. Maaf ya saya lagi buru-buru. Bapak nggak liat baju saya kotor begini? Coba Bapak cari guru yang lain buat ditanyain." Luna memutar tubuhnya, memilih untuk mencari jalan lain karena sepertinya pria menyebalkan ini masih ingin menghadangnya. "Ck! Cuma kotor begitu aja, kan bisa dibersihin nanti. Apa susahnya jawab dulu pertanyaan saya? Katanya sekolah ini terkenal dengan guru-gurunya yang ramah. Kok tapi begini kenyatannya ya? Saya kecewa lho." Pria itu berdecak sebal. "Yang kecewa kan Bapak, bukan saya. Saya sih biasa aja!" balas Luna datar meski hatinya sudah bergolak. Demi apa pun yang ada di dunia, pria muda itu merasa tertantang seketika. Dia yang terbiasa bersahabat dengan gadis bermulut manis, kali ini menemukan gadis yang mulutnya ekstra pedas walaupun wajahnya datar-datar saja. "Saya rasa sebaiknya saya memikirkan kembali untuk menyekolahkan anak saya di sini. Kalo gurunya aja model begini, gimana anak-anaknya nanti?" "Terserah, Pak! Cari aja sekolah yang lain. Di Jakarta nggak kurang kok sekolahan." Luna tidak pernah kalah gertak, dia tidak takut dengan ancaman apa pun. Apalagi hanya seperti ini. Apa ruginya bagi Luna kalau pria itu membatalkan rencananya untuk menyekolahkan anaknya di Nada Pesona? Kalau pun Luna akan kena masalah, dia justru bahagia. Bisa sesegera mungkin hengkang dari sini. Luna menghentakkan kakinya dan menghilang dari sana. Sementara sang pria menatap terpesona pada gadis yang berlalu meninggalkannya dengan penuh emosi. Lo mirip confetti deh! Adem-adem, tiba-tiba meledak gitu aja. Trus berantakan. Trus ilang! Ckckck, menarik! Yang begini ini nih gue demen. Sayang nggak sempet ajak kenalan tadi. Tapi tenang aja Nona Petasan, jangan panggil gue Juro kalo gue nggak berhasil dapetin info tentang lo.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD