01. Malam Yang Gila

1704 Words
Sky menghela napas. Sky sudah lelah. Sky exhausted. Membujuk Ravi seharian hanya agar bocah itu mau makan. Belum lagi Sky harus menemani Savy bermain karena Ravi tak mau keluar kamarnya. "Nona makanlah dulu. Saya sudah siapkan makan malam. Nona belum makan sejak tadi sore." Sky meneguk habis sisa air dingin di dalam gelas. Savy belum tidur. Bocah itu sedang menonton dengan Giselle di teater room. Giselle datang di saat-saat terakhir. Ravi? Jangan tanya. Dia masih merajuk. Sky belum berhasil membujuknya agar mau makan malam. Ini sudah jam 9 dan belum ada tanda-tanda Ravi mau makan. Giselle saja tak berhasil membujuk bocah itu. Kenapa dengan Ravi hari ini? Perut Sky lapar. Sky ingin mengabaikan Ravi dan mengisi penuh perutnya. Tapi entah kenapa ada perasaan tak tega di dalam hatinya. Sky tahu dia harusnya tak lemah. Sky tak boleh merasa simpati pada dua jagoan Osean ini. Sky bisa kalah dari pertarungan mereka. "Ada apa Nona? Makanannya tidak enak?" Sky menggeleng. Ia sepenuhnya meletakkan sendok dan garpu di atas piring. "Mana makanan untuk Ravi? Saya akan mencoba membujuknya lagi." "Sebaiknya Nona makan dulu. Isi tenaga dulu. Nona sudah berusaha membujuknya sejak tadi. Jika lapar Tuan Ravi akan makan nanti." Sky tak yakin. Ini sudah jam 9. Ravi tak membutuhkan waktu selama ini untuk meminta makan jika dia memang ingin makan. Sky khawatir jika Ravi benar-benar merajuk besar kali ini. "Osean s****n! Apa dia tak tahu kalau anaknya ada jadwal pentas seni?" "GET OUT OF MY ROOM!" Sebuah bantal melayang dan tepat mengenai nampan yang sedang Sky pegang. Isinya hampir saja jatuh dan berserakan di lantai. Masih untung Sky sempat memegangnya dengan kuat. "Ravi.." Sky menarik napas dalam. Ia urungkan niat meninggikan suara. Bisa melayang nyawanya oleh Osean nanti. "Sayang.. let's talk." Sky berusaha membujuk. "KELUAR! I don't wanna talk with anybody! I hate everyone! I hate Daddy! I hate you!" Lalu tangis Ravi pecah. Sky terkejut. Meski nakal, Ravi ini jarang sekali menangis. Meski kerap bertengkar dengan kembarannya, Ravi ini termasuk bocah yang tegar. Savy yang tampak kuat justru lebih sering menangis dibanding Ravi. Padahal Savy jauh lebih dewasa pembawaannya. Ravi pasti benar-benar sedang kesal. Sky letakkan nampan di meja kemudian segera menghampiri Ravi. "It's okay. Just hate me." Sky beranikan diri memeluk Ravi. Bocah itu tak menolak. Tangisnya makin menjadi. Giselle tiba-tiba datang. Dia pasti mendengar tangis Ravi tadi. "Ada apa?" tanya Giselle. Kamar Ravi agak berantakan karena bocah itu sudah mengamuk sejak sore tadi. "Aku rasa dia benar-benar kesal karena Tuan Osean tidak bisa datang besok." Giselle menghela napas. ... 00.21 Ini sudah tengah malam. Pintu kamar Ravi perlahan terbuka. Cahaya di dalam kamar hanya berasal dari lampu di samping tempat tidur. Tubuh tegap menjulang itu melangkah pelan ke samping tempat tidur. Osean. Sky bergerak perlahan, mungkin mencari posisi nyaman. Entah bagaimana akhirnya tadi, Sky akhirnya tergeletak begitu saja di samping tempat tidur Ravi dengan tangan saling berhimpit di samping tempat tidur, dijadikan sebagai bantalan. Osean mengedarkan pandangan. Kamar Ravi agak berantakan. Piring makanan masih ada di atas meja nakas di dekat Sky. Piring itu masih ada sisanya. Tapi siapapun bisa tahu kalau isi piring itu sudah dimakan tadi. Mungkin Sky berhasil membujuk Ravi makan. "Iya Ravi anak pintar. Aunty janji.." Sky bergumam di dalam tidurnya. Osean menggeleng pelan. "Kau habis membujuk Ravi makan atau habis perang?" Pria itu berbisik pelan. "Good night sayang." Osean mendaratkan sebuah kecupan di kening sang bungsu. "Sebentar Ravi. Aunty istirahat dulu.." Sky kembali mengingau. "Ini bukan Ravi," sahut Osean pelan. Ia membawa Sky di dalam gendongan meninggalkan kamar Ravi. "Astaga dingin sekali.." Sky menggerutu kesal. "Siapa yang mengubah temperaturnya?" Tangan dan kakinya bergerak-gerak menggapai selimut. Setelah beberapa saat, Sky akhirnya berhasil mendapat benda lembut dan empuk itu. Sky nyaris tenggelam di balik selimut tebal milik Osean. Ya, Sky di kamar Osean saat ini. Osean keluar dari kamar mandinya dengan rambut basah. Handuk melilit di pinggangnya, menutupi aset penting milik Osean. Alih-alih mengenakkan baju, Osean malah mengambil ponsel kemudian menghubungi seseorang entah siapa. "Berapa lama, Bos?" "Biarkan saja dulu untuk sekarang." Osean melirik sebentar ke belakang, ke arah Sky berada. Perempuan itu masih nyenyak di dalam tidurnya. "Oh iya satu lagi. Tolong cari data tentang Prananda. Aku ingin datanya besok pagi." "Baik, Bos." Osean memutuskan sambungan. Ia letakkan ponsel di atas meja kemudian melangkah dengan langkah gagah-tegap menghampiri Sky. Sky tak sadar bahwa dirinya tengah berada dalam bahaya saat ini. Ia tengah berada dalam sarang harimau. Osean berdiri di samping tempat tidur. Dengan kedua tangan berlipat di d**a yang bidang, Osean menatap lurus Sky yang tengah bergerak pelan. Lalu perlahan bulu mata lentik itu bergerak. Sekali, dua kali, beberapa kali. Mata Sky terbuka. "Bagaimana tidurnya? Nyenyak?" Suara berat milik Osean menyapa Sky. Suara itu masuk tepat ke telinga Sky. Lalu dengan cepat otak Sky memproses. Ting! Danger! Bola mata Sky membesar sempurna. "Astaga!" Sky langsung terduduk. Rasa sakit langsung menyerang kepalanya. Sky pusing oleh gerak tiba-tiba yang ia lakukan sendiri. Osean tak bergerak. Bahkan tak ada perubahan apapun pada wajah dan posisinya. Osean masih di tempat yang sama dengan pose dan ekspresi wajah yang sama. "Ini dim—" Sky tak melanjutkan kalimatnya saat ia menyadari di mana ia berada hanya beberapa detik setelah ia mengedarkan pandangan ke sekeliling. Dari luasnya saja Sky sudah bisa menebak kalau ini kamar Osean. Meski Sky belum pernah masuk ke kamar ini. Atau sudah? Ya sudah satu kali, di saat dirinya mabuk beberapa bulan lalu. Bukan sebuah kesengajaan. Itupun Sky tak sempat memperhatikan isi kamar ini. Saat sadar, Sky langsung melarikan diri. Sky menoleh ke arah Osean. Tapi hanya beberapa detik saja. Ia segera memalingkan wajah karena tak sanggup melihat Osean yang bertelanjang d**a. Ini bahkan lebih parah dari bertelanjang d**a. Selembar handuk itu tak berhasil membungkam imajinasi Sky. Badan tegap itulah yang berhasil menciptakan dua makhluk tampan bak malaikat, si kembar Savy dan Ravi. Astaga. Sky segera menyadarkan dirinya. "Aku permisi.." Sky bergegas turun dari tempat tidur—melarikan diri. Sinyal bahaya sudah mengingatkannya berkali-kali. "No." Osean dengan mudah menangkap pinggang Sky. Dengan tanpa usaha ia mendorong Sky kembali ke tempat tidur. Badan kurus Sky terlempar dramatis—jatuh terlentang dengan kaki setengah terjuntai di pinggir tempat tidur. "Aghh! Kau mau apa?" Sky memalingkan wajah, menahan d**a Osean dengan kedua tangannya. Perempuan itu memejam. Menghindari tatapan Osean adalah langkah paling baik yang harus Sky ambil. "Memang apa lagi?" tanya Osean santai. Ia sudah berada di atas tubuh Sky. Osean menarik kedua tangan Sky ke sisi kiri dan kanan kepala perempuan itu. "Tuan Osean, apa yang kau lakukan?" Sky refleks menahan napas saat dirasa hembusan napas Osean menyapu kulit lehernya. Tubuh Sky meremang. Napas Sky memburu dengan cepat. Detak jantungnya berpacu di luar batas normal. "Kau sudah janji tidak menyentuhku!" "Kapan?" Sky melotot. "Kau bilang tidak tertarik padaku. Kau hanya tertarik pada pacarmu." Osean menghentikan aksinya. Ia gigit dagu Sky membuat perempuan itu mau tak mau membuka mata dan memandanginya. Mata mereka bertemu. "Apa kau tidak tahu? Istri lebih berperan di dalam kamar dibandingkan pacar. Apalagi di atas kasur." Bola mata Sky kembali membulat membuat Osean ingin tertawa geli. Sky ini sama sekali bukan tipe Osean. Menurut Osean, Sky terlalu kurus dan kecil. Osean tak suka perempuan kurus kering tak berdaging. Ia benci dengan model-model berbadan triplek yang berlenggak-lenggok di catwalk. Osean suka perempuan padat berisi. Tentu saja padat berisi yang 'bohay'. Seperti Nancy, pacar Osean. Sky selalu kesal saat Osean menghina badannya. Sebab menurut Sky badannya saat ini sudah berisi dan pas. "Aku tidak tahu dan tidak mau tahu. Lepaskan aku!" "Mana bisa. Harusnya kau mulai belajar dari sekarang. Toh setelah kau menjadi Nyonya Osean kita akan sering begini." "Kau gila. Bukan begitu perjanjiannya. Aku tidak mau." "A'ah. Kapan aku memberimu pilihan Sky? Aku yang berkuasa. Aku yang mengendalikan permainan kita. Lagipula kenapa kau bersikap seperti perawan? s**s kan bukan rahasia umum lagi jaman sekarang. Apalagi untuk anak muda sepertimu. Apa aku salah?" "Kau tidak salah, tapi tetap saja aku tidak mau. No s*x before or after married." "Lalu untuk apa aku menikahimu?" "s****n!" Sky memaki di dalam hati. Seingat Sky s**s tak ada di dalam pembahasan mereka sebelum ini. "Kau ini kenapa Tuan Osean? Apa kepalamu membentur sesuatu saat di Berlin? Ah, bicara soal Berlin, bukankah kau harusnya belum kembali sekarang? Harusnya kau masih di Berlin sampai lusa, kan?" Bukankah ini alasan Ravi marah besar tadi? Jika Osean kembali lalu untuk apa Sky bersusah payah membujuk Ravi? Sky bahkan tak tahu ini sudah pukul berapa. "Aku tak perlu melapor padamu aku di mana sedang melakukan apa," ucap Osean dingin. Sky benar-benar ingin memaki. "Aku tak perlu membujuk Ravi sesulit ini." Akhirnya Sky keluarkan unek-uneknya karena tak tahan. Sky kesal. "Belajar. Kau akan sering begini setelah menjadi istriku." Istriku. Ya Tuhan, Sky geli mendengarnya. "Hmmpp..." Sky refleks menahan napas saat Osean tiba-tiba menyelip ke ceruknya. Sky menggigit bibir dan hampir mendesah saat Osean m******t kulit lehernya. Satu menit.. dua men- Osean menarik diri. Ia beranjak dari atas tubuh Sky. Pria itu melengos begitu saja menuju walk in closet. Sky masih berusaha mengatur napas, mencerna apa yang baru saja terjadi. 6 bulan ia masuk ke dalam kehidupan Osean. Tak pernah sekalipun Osean menyentuhnya. Benar-benar tak menyentuh selain menarik tangannya jika Sky bergerak terlalu lambat. Osean kadang suka terburu-buru. Lalu ada apa dengan malam ini? Kenapa Osean menjadi bar-bar begini? Sky bangkit. Ia mencari tas nya namun tak menemukan barang miliknya di manapun di kamar Osean. Ponselnya pun entah ada di mana. 02.10 AM. Apa yang harus Sky lakukan? Bagaimana Sky akan pulang? Haruskah ia mengemudi sendiri pada waktu ini? Sky tak begitu yakin. Haruskah Sky memohon saja belas kasihan Osean malam ini? "Kau mencari apa?" Osean keluar dari walk in closet sudah dengan pajama. "Ponsel dan tas ku." "Di kamar Ravi. Kalau kau ke sana sekarang, kau tak akan tidur sampai pagi. Kau harus menemani Ravi karena kau akan membangunkannya." Osean berlalu menuju kasurnya. Ia naik dan tampak bersiap tidur. Sky terdiam seperti orang bodoh. "Tidur saja di sini." Osean menunjuk sisi kasur yang kosong. "Tidak akan!" Sky membatin. "Terserah padamu." Osean menyahuti seolah bisa mendengar suara hati Sky. Pria itu mematikan lampu kemudian mulai memejamkan mata. Sky tak bisa berkata-kata. Perempuan itu akhirnya putuskan untuk tidur di sofa. Sakit badan karena tidur di sofa lebih baik daripada sakit badan karena hal lain. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD