“Astaga, anda baik-baik saja?” tanya Alex dengan ekspresi syok ketika Alverno muncul di balik pintu.
Tubuh lelaki itu kotor, terdapat beberapa luka kecil di wajah dan juga telapak tangan Alverno penuh darah.
Sobekan di tangan dan di kaki sudah menunjukkan jika lelaki itu terluka yang entah karena apa. Seingat Alex, tuan mudanya masih berada di gedung teater tersebut dengan keadaan baik-baik saja tapi kali ini….
Satu hal yang membuat Alex tak berani melanjutkan bicaranya. Aura gelap yang menyelimuti wajah bengis lelaki berusia 27 tahun tersebut membuat Alex ikut bungkam.
“Oh my god?” seru Kelly terkejut.
Wanita itu muncul dari anak tangga lalu berjalan cepat menghampiri Alverno.
“Are you okay, Honey?” tanya Kelly, memeriksa tubuh sang kekasih.
Sayangnya, tatapan dingin yang menusuk mampu membukam mulut Kelly. Wanita itu pun akhirnya ikut diam tanpa berani lagi bicara.
Alverno kembali melanjutkan jalannya, pandangannya kini tertuju pada gadis kecil yang sibuk dengan layar iPadnya ditangannya.
“Apa kau sudah gila memperlakukan Kakakmu seperti musuh, hah?”
Gadis cantik itu mengangkat pandangannya, keningnya berkerut tak mengerti dengan perkataan yang dilontarkan sang kakak.
“Bukan Kakakmu saja yang akan mati di gedung teater itu. Tapi orang lain yang tidak bersalah pun jadi korbannya!”
Jika Alverno sudah memanggil saudaranya dengan kata ‘Kau’ itu tandanya lelaki itu marah besar.
“Apa kau tahu perbuatanmu itu membuat banyak orang terluka?”
“Kakak Al kenapa, sih? Aku nggak ngerti deh!”
Alverno menarik nafasnya. “Nggak usah pura-pura bodoh, Claudia! Kau kan yang meledakan halaman parkiran gedung teater itu?” tuduh Alverno sangat yakin itu ulah sepupunya.
Dulu, Claudia pun pernah mengancam dengan hal yang serupa sekalipun dengan bom kecil namun, dampaknya cukup besar dan itu karena hanya masalah sepele dia tidak mendengarkan rengekakan gadis manja tersebut.
Claudia melongo. “Jadi Kakak nuduh aku nih ceritanya?”
“Ada bukti kalau ledakan itu ulahku?” Sambungnya.
Claudia saja ikut kaget setelah melihat berita ledakan yang wara wiri di media massa, tempatnya di gedung teater yang baru beberapa jam dia kunjungi.
“Kau mengancamku akan mengirim rudal milikku bukan? Kau juga tahu cara rudal itu bekerjakan, Claudia?
"Sekalipun ledakan itu bukan berasal dari senjata milikku. Lalu siapa lagi yang berani berbuat nekat dan sekeji ini jika bukan kau pelakunya, hah?”
“Tapi, Kak. Itu bukan perbuatanku!”
“Oh, ya? Kenapa kejadian ini begitu sama sekali dengan kejadian beberapa tahun lalu. Dulu kau juga pernah meledakan gedung parkiran kantorku, hah?”
Claudia bungkam. “Jadi aku tidak aneh lagi dengan sikapmu yang childish ini?!”
Alverno menatap Alex, lelaki itu lekas menghampirinya. “Oke. Akui kau hebat dari segi apapun.
"Tapi ketahuilah, jika tindakanmu merugikan banyak orang, melukai bahkan membunuh orang yang tidak bersalah.
“Aku tidak bisa biarkan hal itu! Kau melukaiku, aku tidak masalah. Tapi orang lain yang tidak tahu apa-apalah lah yang buat aku marah. Aku masih bisa menahan diri tidak menggamparmu di sini Claudia.”
Alverno menarik nafasnya dalam-dalam. “Jika kau bukan saudaraku, sudah pastikan kau tinggal nama!”
Cukup kejam kata-kata Alverno untuk gadis berusia 19 tahun itu. Tepi perbuatan Claudia sudah tidak wajah bermain-main dengan nyawa orang dan Alverno tidak suka itu.
Claudia cukup diam, paham bagaimana sifat buruk seorang Alverno William Stone yang sangat mengerikan jika sifat aslinya muncul. Lelaki itu bisa membunuh dengan keji tanpa meninggalkan jejak.
“Apa sampai di sini kau cukup paham kenapa aku sampai semurka ini padamu Claudia A Cooper?”
Sekali lagi, gadis cantik itu bungkam tidak bisa berkata-kata lagi.
“Alex. Kau hubungi Adam. Katakan padanya jika adiknya kembali berulah!”
Claudia melotot, gadis itu lekas turun dan menghampiri Alverno.
“Aku berani sumpah Kak Al. Itu bukan ulahku. Aku nggak meledakan parkiran gedung itu.
“Aku tadi cuman mengeretakmu, tidak sungguhan!” rengek Claudia seraya mengamit tangan Alverno—memohon agar tidak melaporkannya pada Adam.
Claudia sama sekali tidak melakukan perbuatan itu, apalagi di negara orang lain.
“Ck! Kau pikir aku percaya, hah?”
“Kak….” Rengek Claudia.
Alverno hembuskan nafas berat. “Siapkan jet, Alex. Kita ke Seoul sekarang juga suruh orangmu membawa sepupuku itu kembali ke New York!” titah Alverno seraya mengusir Claudia dan lelaki itu pun mengangguk siap.
“Alex.” Claudia mendekat, mencoba berbicara dengan lelaki itu.
“Aku mohon jangan hubungi kakakku. Dia pasti akan murka padaku,” mohon gadis manja.
“Maaf Nona ini perintah Tuan Muda. Saya tidak bisa menolak,” jawab Alex tegas.
“Kak….” Rengek Claudia, lagi.
Gadis itu berjalan cepat menyusul Alverno yang menaiki anak tangga menuju kamarnya.
“Please, aku mohon jangan adukan perbuatan yang sama sekali nggak aku perbuat pada Kak Adam.”
Alverno berbalik badan diiringi dengusan kasar. “Kau sudah menghubungi Adam, Alex?”
“Belum diangkat, Tuan.”
Pandangan Alverno kembali pada Claudia. “Baiklah. Aku tidak akan meminta Alex untuk menghubungi Adam asal kau bertanggung dengan perbuatanmu itu!”
“Mana bisa begitu, Kak. Aku sama sekali nggak melakukannya!”
“Oke jika kau masih ngelak.” Alverno kembali menatap Alex.
“Kau hubungi pria tua itu dan beritahu padanya jika cucu kesayangannya telah meledakan gedung parkiran teater!” teriak Alverno membuat bola mata gadis manja itu melotot.
“Kak….” geram Claudia frustasi.
“Oke.” Claudia menghentikan Alex yang akan menghubungi Kakek Candra.
“Aku akan tanggung jawab, tapi ledakan itu sama sekali bukan perbuatanku dan aku akan membuktikan padamu jika aku tidak bersalah!” decak Claudia seraya pergi dari hadapan Alverno yang menurutnya sangat menyebalkan.
Alverno memijat keningnya yang berdenyut diiring hembusan pelan akan kelakuan sepupunya itu.
“Lekas siapkan jet. Aku ingin menyelesaikan pekerjaanku dengan Woo, Alex!”
“Baik, Tuan. Ada lagi?”
Alex berlalu pergi sementara Alverno kembali melanjutkan jalannya menuju kamar.
Sialnya, lentingan suara yang menyakitkan itu membuat lelaki itu memejamkan mata seiring si pemilik suara itu muncul bersama Alex yang menghadang.
Alverno tahu pemilik suara tersebut, dengan terpaksa Alverno kembali berbalik badan dan menangkap keberadaan tamu tak di undang.
“Apa kau tidak bisa bertamu dengan baik, hah?”
“Ck! Turun kau bajjingan! Kita perlu bicara!”
Bandar Udara Frankfurt, Jerman.
“Ini ongkos taxinya, Sir.”
“Hai, Nona. Ini kelebihan,” teriak si supir taxi.
Gilly menengok sejenak lalu berkata, “Lebihnya untuk anda, terima kasih telah mengantarkan saya dengan cepat,” ujar Gilly, setelah berbicara beberapa detik ia pun lekas berlari masuk ke dalam bandara.
Tissa sudah menunggunya dan Gilly pun lekas mengikuti langkah Tissa yang membawanya menjauh dari keramaian.
“Apa aku sudah terlambat?”
Gilly berjalan bersisian dengan Tissa, keduanya menuju tempat check ni.
“Masih ada waktu 10 menit lagi,” ujar Tissa setelah melirik jam tangannya.
Dengan cepat, Tissa memberikan tiket dan paspor yang sudah dia siapkan untuk Gilly begitu juga tas kecil.
“Cepatlah chek ini. Aku takut anak buah Faruk menemukanmu disini.”
Gilly mengangguk paham dengan hal itu. Dipeluknya sang sahabat untuk terakhir kalinya.
“Apa kau tidak akan ikut pergi bersama?” tanya Gilly saat mendapati hanya satu tiket atas nama dirinya ke Madrid.
“Aku akan menyusulmu setelah aku membawa paksa adikku yang keras kepala tidak ingin pergi dari Berlin. Kedua orang tuaku sudah ada di sana bersama Daniel.”
Gilly menatap sedih. “Jangan khawatirkan aku, ada Mark yang akan membantuku di sini setelah kamu sampai Madrid.
“Daniel akan memberikan identitas baru untukmu dan kamu sebentar lagi akan bertemu
dengan Mommy Ammy,” ungkap Tissa.
Mata Gilly basah, gadis itu lekas memeluk sahabatnya yang banyak membantunya selama ini. Tissa berprofesi sebagai dokter di rumah sakit dimana Ammy sang ibu dirawat, dengan sengaja membuat kabar tentang kematian sang ibu. Semuanya tentu sudah direncanakan begitu mulus oleh dua sahabatnya, Mark dan Daniel.
Jangan ditanya mayat yang dikubur itu sama sekali bukan ibunya, melainkan mayat tanpa identitas yang Daniel merubah wajah mayat perempuan tua itu agar sedemikian mirip dengan Ammy.
Ammy, kedua orang tua Tissa dan juga Daniel sudah berada di Madrid untuk pergi meninggalkan Berlin selama-lamanya.
Singkat cerita setelah mereka sampai di Madrid, mereka akan meninggalkan kota tersebut dan menuju kota di mana tempat teraman yang tidak bisa di jangkau oleh anak buah Gabriel sekaligus detektif yang nanti akan disewa oleh Gabriel.
“Aku nggak bisa berkata-kata lagi dengan semua kebaikanmu padaku, Tissa.
“Aku hutang banyak padamu entah bagaimana aku bisa membayar semua kebaikanmu ini.”
Tissa mengulas senyum. “Dengan kamu bahagia Gilly itu sudah cukup bagiku. Janganlah berterima kasih, karena apa yang aku lakukan ini tidak sebanding dengan kebaikan kedua orang tuamu pada keluargaku,” ucap Tissa tulus seraya menggenggam tangan Gilly.
“Lekaslah pergi aku tidak mau anak buah Gabriel menangkapmu lagi.”
Tissa berikan senyuman tulus, satu tangannya menghapus air mata Gilly yang berjatuhan.
“Berjanjilah padaku kamu akan baik-baik jangan pernah putus asa karena aku akan membantumu, Gilly.”
Gilly manggut-manggut, bibirnya tersenyum lebar dan kembali memeluk sahabatnya.
“Hubungi aku setelah kamu bertemu dengan Daniel di Madrid nanti.”
Gilly mengangguk, itu pasti. Dia akan mengabari Tissa jika sudah bertemu Daniel nanti.
Dipeluknya sekali lagi sahabat terbaiknya itu sebelum Gilly benar-benar pergi meninggalkan Berlin untuk selamanya.
“See you, Gilly.”
Kaki kecil Gilly berjalan cepat setelah ia check ini dan berjalan menuju gate di mana pesawat yang akan membawanya ke Madrid berada, pandangan Gilly pun tak luput terus waspada takut anak buah Gabriel menemukannya di sini.
Gilly tersenyum ramah saat memberikan paspor dan juga tiket yang sudah di pesan oleh Tissa. Pramugari cantik itu mempersilahkan masuk ke dalam menuju pesawat yang telah siap.
Gilly menarik nafasnya, lega. Akhirnya dia sudah berada di lorong menuju pesawat diiringi senyuman gadis cantik itu merekah.
“Akhirnya aku bisa pergi dari Berlin,” gumam Gilly pelan.
Di depan pandanganya sudah berdiri dua pramugari cantik yang kembali menyambutnya.
Namun, belum sampai pintu pesawat seseorang menepuk pundak Gilly menahan langkahnya.
“Jadi kau belum jera juga, Honey?”
Mata Gilly melotot, dia hafal dengan suara tersebut.
“K-kau?”