PIBS - Prolog - The Beginning of Problematica In Boys School

2245 Words
Tidak ada yang tidak mungkin di kehidupan dunia ini, jika Tuhan ingin kehidupan salah seorang manusia berubah maka itu akan terjadi. Tidak ada yang bisa membatalkan ataupun membuat Tuhan berubah pikiran terkecuali kerja keras dan usaha manusia itu sendiri, sering kali kalimat tersebut dikatakan oleh beberapa Orang tua maupun para Guru, bukan? Namun, bagaimana jika sedari awal manusia tersebut sudah nyaman dengan keadaannya yang sekarang walaupun kehidupannya tidak terlalu menyenangkan? Bagaimana jika ternyata ingatannya tentang kehidupannya pada masa lampau terlupakan bahkan menghilang dengan secara kesengajaan yang ditimbulkan tanpa sepengetahuannya? Apakah itu memungkinkan bahwa dirinya akan merubah kehidupannya? Jawabannya adalah mungkin saja jika terjadi suatu hal yang menjadi pemicunya. Seperti halnya kehidupan seseorang saat ini, dimana dia mendapatkan perlakuan yang sangat tidak menyenangkan di sekolahnya namun memiliki kehidupan tenang di keluarganya adalah hal yang membuat mental seseorang tersebut merasa kacau. Seseorang tersebut wajahnya tidak buruk, bahkan bisa dikatakan dia terlampau sangat cantik dan manis. Sifatnya juga tidak buruk yang memungkinkan membuatnya untuk mendapatkan bullying, otaknya juga tidak terlalu rendah untuk dijadikannya sebagai korban pembullyan, bisa terbilang seseorang itu cukup pandai, bisa dikatakan dia hanya terlalu lelah jika memberontak secara lebih Lalu apa yang membuatnya mendapatkan bullying di sekolahnya? Jawabannya mudah, yaitu karena Kakaknya sendiri. Apakah itu berarti semuanya adalah kesalahan dari Kakaknya? Jawabannya tidak. Jadi apa? Kehidupan memang tidak dapat diuraikan, dijelaskan, dan dimengerti dalam waktu yang singkat, bukan? Iya, itulah yang menjadi dasar cerita bagaimana seseorang tersebut menjalani kehidupannya yang penuh dengan permasalahan yang membuat kalian berpikir siapa yang seharusnya disalahkan, siapa pelakunya, dan bagaimana akhir cerita dari permasalahan kehidupannya. Semua makhluk hidup diciptakan dengan sebuah takdir dan akhir kehidupan yang sudah ditentukan sejak lahir oleh Sang Pencipta, Tuhan. Entah itu takdir baik ataupun buruk, mereka semua mengalami naik dan turunnya sebuah alur kehidupan. Dan terkadang takdir tersebut menghubungkan mereka ke sesuatu yang tidak mereka kenal, contohnya orang lain, tempat, dan hal lainnya. Sama seperti kisah di cerita ini, akan ada masa dimana kehidupan Sang Tokoh merasa tenang, merasa senang, merasa duka, dan merasa putus asa. Tidak ada kata pujian yang cocok ataupun tepat untuk menceritakan peristiwa yang merenggut beberapa nyawa murid di sekolah ini maupun murid sekolah lain yang sangat berhubungan dengan salah satu murid tokoh utama kita. Sang Tokoh utama terlihat biasa saja, baik, ramah, dan terlihat tidak berdosa. Memang benar jika Sang Tokoh utama itu tidak berdosa karena dirinya tidak mengetahui jati diri dia yang sebenarnya. Dan mungkin, Sang Tokoh Utama tidak akan mengalami cerita yang cukup membuat dirinya terluka juga membuat orang lain yang memiliki hubungan meskipun sedikit atau pun banyak terkena dampaknya. Dia bukanlah seseorang yang memiliki peran sebagai protagonis maupun antagonis, karena dia bisa memiliki keduanya. Dia bukanlah seseorang yang benar-benar memahami tentang kehidupannya. Jadi, siapakah korban yang sesungguhnya? Tidak ada yang memahami siapa korban sesungguhnya karena cerita kehidupannya telah berubah jauh sebelum Sang Kakak memutuskan untuk membawanya memasuki lingkungan sekolahnya.   -   "1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 1, 2...." "Lari! Ayo lari! Run!! Latihan yang serius agar kita menang!" "Tendang bolanya, Bong!" "Strike!" Itulah beberapa suara yang menjadi penggambaran tentang apa saja yang dilakukan oleh siswa yang melakukan beberapa aktivitas ekstrakurikuler di Sonyeo Haggyo , sekolah yang semua muridnya berjenis kelamin laki-laki. Sekolah ini termasuk dalam sekolah berkategori favorit di Negara mereka, para Guru mendidik dengan cara yang hebat hingga meluluskan alumni dan murid yang berbakat dan bertalenta untuk Negaranya maupun Negara lain. Beberapa alumni sekolah tersebut ada yang menjadi menteri perdagangan, bekerja di bank, menjadi manager perusahaan, menjadi atlet renang ataupun atlet olahraga lainnya, menjadi profesor dan beberapa pekerjaan menakjubkan lainnya. Sungguh menakjubkan bisa menjadi orang sukses seperti itu, karena itulah masyarakat di Negara mereka berharap jika sekolah tersebut mengganti sistem mereka menjadi sekolah Umum agar anak perempuan mereka dapat bersekolah disana. Dan harapan mereka terkabul hari ini, tepat setelah Kepala Sekolah mendiskusikan tentang perubahan sistem dalam Pendidikan dan Pengajaran di sekolah. Derai tirai terdengar ketika suara seseorang menutup tirai ruangannya setelah selesai melihat apa yang sedang dilakukan oleh murid-muridnya di luar kelas. "Mungkin ini akan sulit, tetapi kita harus merubahnya," ucap seseorang tersebut yang menjabat sebagai Kepala Sekolah kepada Wakilnya yang berdiri di belakangnya. "Apa Anda yakin, Pak? Bukankah sekolah ini akan lebih baik jika tetap seperti ini?" Tanya Sang Wakil Kepala Sekolah yang memiliki perasaan sedikit meragukan dengan pergantian sistem yang diusulkan oleh atasannya itu. Sebuah senyuman misterius terlukis di wajah Kepala Sekolah tersebut, kedua tangannya menyatu di depan dadanya. "Hm, aku sangat yakin. Jika kita membuka pendaftaran untuk murid perempuan, mereka dapat merasakan kehidupan remaja hoho. Bukankah itu menarik?" "Hah…Baiklah akan saya urus pendaftaran dan formulirnya," ucap Wakil kepala sekolah yang menyerah dengan alasan-alasan yang dapat membuat para Guru yang mengajar menyetujui pergantian sistem ini, kemudian ia menundukkan kepalanya sebelum keluar dari ruangan. Tanpa disadari oleh keduanya, baik Kepala Sekolah maupun Wakil Kepala Sekolah tersenyum penuh misteri. Seolah mereka merencanakan sebuah hal yang menjadi keuntungan diri pribadi mereka masing-masing. Disisi lain, salah satu seorang murid membuka pintu kelasnya dengan kasar sehingga membuat semua teman kelasnya melihat dengan pandangan aneh ke arah dirinya walaupun beberapa ada yang berteriak marah karena mengejutkan mereka. Dia mengatur pernapasannya akibat berlarian sepanjang koridor menuju kelasnya, terlalu bersemangat untuk memberitahukan apa yang ingin dia katakan. "Ada apa, Han?" Tanya salah satu murid kelas tersebut pada seorang murid yang membuka pintu kelas dengan kasar tadi, Ong Seonhan namanya. "Percaya atau tidak percaya, sekolah kita akan diubah menjadi Sekolah Umum! Dan itu berarti akan ada murid perempuan!" Jawab Seonhan yang membuat seluruh kelas berteriak keras tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh Seonhan. Heboh. Satu kata yang tepat untuk menggambarkan suasana keadaan kelas mereka ketika mendengar apa yang dikatakan oleh Seonhan, sorakan demi sorakan heboh terdengar sangat keras. Wajar saja, bukan? Tidak ada Laki-laki yang tidak menyukai keberadaan Perempuan di sekitar mereka jika mereka masih dikategorikan normal. Sorakan heboh tidak berlangsung lama saat suara seseorang menginterupsi pembahasan mengenai perubahan sistem sekolah mereka. "Kau tahu hal ini darimana?" "Aku tidak sengaja mendengar hal ini saat melewati ruang kepala sekolah." "Kau yakin tidak salah dengar kan?" "Tidak, aku yakin indera pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik." Mendengar jawaban Seonhan membuat semuanya menghela napas lega dan bersorak senang kembali karena mereka dapat melihat murid perempuan cantik di sekolah mereka, "Tapi meskipun sistem sekolah kita sudah berubah. Bukankah bulan depan pasti murid perempuan kelas satu yang akan ada? Jadi kemungkinan kelas tingkat akhir tidak menerima murid perempuan, mengingat tingkat akhir harus fokus terhadap hal yang akan dilakukan di masa depan, kan?" Kata salah satu murid yang memiliki nama Kim Hajun. Ucapan Hajun membuat semua teman kelasnya yang tadinya bersorak heboh kini kembali dengan suasana tenang namun terkesan suram akibat tidak mendapatkan murid perempuan di kelas mereka. "Mungkin, tapi gedung murid baru dengan gedung tingkat akhir kan berbeda dengan kelas tingkat pertama maupun tingkat dua. Ah...aku ingin ada murid perempuan di kelas kita nanti," Kimbyul mengutarakan harapannya yang disetujui anggukan seluruh kelas. "Kalau kau mau seperti itu, kenapa dari dulu kau tidak masuk ke Sekolah Umum? School of Performing Arts? Hanlim Multi Arts School? Lila Art?" Tanya Hongbae sambil menatap Kimbyul yang memperlihatkan raut wajah cengiran khasnya. "Aku memilih sekolah ini karena dekat dengan rumahku, ahahaha. Jadi kalau aku terlambat bangun, aku bisa berlari tanpa takut untuk terlambat" Jawab atau lebih tepatnya ungkapan fakta dari Kimbyul yang membuat teman kelasnya terdiam sunyi. Namun, diantara mereka semua yang bersorak senang karena pergantian sistem sekolah mereka, salah satu dari mereka sedang berpikir sembari tersenyum tipis. "Ah, jika bulan depan memang benar sekolah ini menjadi sekolah umum, lebih baik dia masuk di sekolah ini saja" Gumam seseorang itu. Tidak lama kemudian, setelah Seonhan menyampaikan informasi yang dia dapat dari aktifitasnya mencuri dengar pembicaraan Kepala Sekolah mereka dengan Sang Wakil, bel masuk tanda pelajaran akan segera dimulai berbunyi. "Sudah bel masuk, ayo kembali ke tempat duduk masing-masing" Ucap Seonhan yang tidak menyadari bahwa hanya dirinya sendiri sedari tadi berdiri di depan kelas. "Kita semua sudah duduk dari tadi, hanya tinggal kau yang belum, Han" Kata Seo Sungmin selaku ketua kelas yang membuat teman-teman mereka menertawai kebodohan Seonhan, sedangkan Seonhan hanya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu sembari tertawa canggung dan meruntuki kebodohan dirinya sendiri di batinnya. Kemudian mereka melewati hari itu dengan penuh canda tawa karena perilaku yang membuat mereka mengeluarkan suasana kegembiraan. Bahkan ketika mereka memutuskan untuk berpisah dalam perjalanan pulang karena arah rumah mereka berbeda, tawa canda itu masih membekas tentunya di kenangan masa remaja mereka. Suara deritan pintu terbuka diikuti oleh ucapan suara sebagai tanda salam terdengar, "Aku pulang." Kim Seokbin memasang wajah heran saat melihat rumahnya sepi seperti tidak berpenghuni. Tiga kata yang menjadi satu kalimat kini berada di pikirannya, ‘Dia belum pulang?’. Kalimat yang dipikirkan oleh Seokbin saat tidak merasakan keberadaan seseorang yang dicarinya. Pintu terbuka lagi untuk kedua kalinya saat Seokbin ingin masuk ke dalam kamarnya, terlihat seorang gadis dengan seragam lusuh, basah, dan penuh dengan lumpur. "Aku pulang" Ucapnya dengan nada kecil serta suara yang serak layaknya orang sehabis menangis. Ia pun segera berjalan menuju kamarnya untuk mandi dan membersihkan seragamnya. Namun, tangan yang tadinya bergerak ingin membuka knop pintu kamarnya harus terhenti ketika suara Seokbin memanggilnya. Sebuah nama yang menjadi panggilan istimewa untuknya dari salah satu anggota keluarganya. "Heela?" Kedua mata Seokbin terbelak saat melihat keadaan kembarannya, lusuh dan kotor menjadi dua kata yang mendeskripsikan keadaan yang terlihat di matanya. Amarah Seokbin membuncah ketika melihat keadaan seseorang yang dia panggil dengan nama Heela, kedua tangannya mencengkram pelan kedua pundak Heela. Dengan suara yang tegas dan penuh dengan amarah. Seokbin mengatakan, "Kau...apa yang sudah dia lakukan lagi hah?! Jawab aku!" "Aku ingin ke kamar, aku sudah makan tadi. Kau pesan saja makanan cepat saji, sehari saja biarkan aku istirahat", kalimat itu menjadi jawaban yang terlontar dari kedua belah bibir seseorang yang dia panggil Heela sebelum berjalan memasuki kamarnya tanpa menjawab pertanyaan Seokbin. Untuk saat ini Heela memilih untuk tidak beradu argumen dengan kembarannya itu, dia terlalu lelah. "Heela, keluar dari sekolah itu dan masuk ke sekolahku sekarang! Akan aku urus kepindahanmu!" Kata Seokbin diluar kamar Heela sebelum memesan makanan cepat saji di suatu aplikasi. Teriakan Seokbin memiliki nada yang cukup bahkan sangat tinggi sehingga ketika berada di dalam kamarnya, Heela yang mendengar apa yang Seokbin ucapkan merasa terkejut dan sejenak berpikir bahwa Seokbin sedang gila. 'Apa dia gila?' 'Bagaimana mungkin aku masuk ke sekolahnya? Bukankah sekolahnya hanya menerima murid laki-laki?' 'Lagipula aku tidak mau bersekolah di sana.' 'Tidak asik dan tidak seru.' "Kenapa semenjak Ayah sama Bunda pergi dia jadi seperti itu ya, padahal Ayah sama Bunda hanya tinggal beberapa bulan di Belanda, apa mungkin dia masih belum melupakannya, ya? Itu sudah lama sekali," gumam Heela sebelum melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk membersihkan dirinya. Beberapa menit kemudian, Heela selesai dengan acara membersihkan dirinya. Tubuhnya yang terasa sangat lelah ia baringkan diatas ranjang empuknya, kedua bola matanya memandang langit-langit kamarnya yang memiliki corak artistik. "Hanya dirumah saja aku bisa tenang seperti ini. Ayah dan Bunda kapan pulang ya? Aku rindu mereka" Kata Heela yang perlahan-lahan menutup matanya dan bernafas tenang, dia perlahan-lahan tertidur dan memasuki alam mimpinya. Hingga keesokan harinya, beberapa murid Sonyeo Haggyo melakukan kegiatan terakhirnya di sekolah. Ya, kegiatan terakhir sebelum mereka akan libur sekolah selama dua minggu kedepan dan ketika masuk maka mereka sudah berada di tingkat atas. "Hah...aku tidak menyangka kita akan menjadi kakak kelas tingkat akhir" Kata Sungmin dengan helaan napas lega sambil tersenyum lembut. "Dengan otak seperti itu, aku yakin kau pasti naik kelas, Sung" Ucap Hanjeo dengan nada suaranya yang lembut yang merespon perkataan Sungmin. "Tidak seperti aku yang harus mati-matian belajar" Ungkap Geoju yang membuat semua teman-temannya tertawa saat mendengar ucapannya. "Baiklah mari kita bersenang-senang! Bulan depan kita akan bertemu cewek cantik, imut, dan seksi!" Seru Seonhan dengan kedua alis yang dia gerakkan naik-turun berulangkali, membuat siapapun temannya ingin melemparnya dengan sepatu maupun benda lain ke wajah Seonhan. "Lihatlah mukamu, bodoh!" Ucap Hajun tertawa keras. "Sudahlah, ayo kita mulai bersenang-senang. Sepertinya murid tingkat akhir sekarang sudah mulai bersenang-senang" Kata Yeoseop sambil menunjuk beberapa murid tingkat akhir lebih tepatnya senior mereka yang sedang tertawa konyol sembari melakukan beberapa kegiatan yang menurut mereka menyenangkan untuk sekedar mengisi waktu mereka. "Yah, bagaimanapun juga bulan depan mereka sudah bisa dikatakan sebagai alumni di sekolah ini" Kata Hanjeo yang membuat suasana haru di dalam kelasnya. "Sudahlah, biarkan mereka bersenang-senang. Ayo kita juga bersenang-senang!! Yeay!!!" Kata Hajun bersorak senang untuk mencoba menghilangkan suasana haru menjadi suasana yang menyenangkan. Teman-teman kelasnya pun saling pandang seraya berpikir tentang hal sama, yaitu mari bersenang-senang untuk melepaskan murid tingkat akhir dengan suasana yang menyenangkan bukan suasana haru, karena perpisahan tidak selalu disertai dengan suasan haru, kan? Dilain tempat, dimana ruangan tersebut hanya menjadi keberadaan Kepala Sekolah yang melakukan beberapa pekerjaannya kini tengah memperhatikan lembaran formulir pendaftaran. "Aku tidak menyangka responnya akan seperti ini" Ungkapnya seolah merasa terkejut dengan lembaran formulir pendaftaran penerimaan murid baru yang memiliki besar persen kemungkinan banyak murid perempuan yang mendaftar. Formulir pendaftaran untuk murid perempuan terkumpul sangat drastis, bahkan ada beberapa murid perempuan yang mendaftar di kelas tingkat dua dan kelas tingkat akhir. "Aku juga tidak menyangka kita akan mendapatkan respon yang positif, Pak" Ucap Wakil Kepala Sekolah menyetujui apa yang sedang dirasakan oleh atasannya saat ini. "Oh, mereka berdua? Menarik sekali," gumam Kepala sekolah saat melihat dua kertas formulir pendaftaran murid baru. Sang Wakil Kepala Sekolah mengarahkan kedua bola matanya ke suatu objek yang menjadi fokus perhatian dan beberapa detik kemudian seulah senyuman tipis terlukis di bibirnya juga memikirkan sesuatu hal yang berada di dalam pikirannya. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD