D U A

1168 Words
BISA DIBACA JUGA DI KARYAKARSA: KOMOREBI INNOVEL: BININYACHRISEVANS Mahesa mengerjap dan menyipit beberapa kali karena silau matahari yang menerpa wajahnya. Namun bukan itu yang membangunkan dirinya dari dunia mimpi, melainkan teriakan melengking Olive—sahabat Indira. “Lo siapa?” tanya Olive yang memandang Mahesa dengan ngeri. “Saya Mahesa.” “Kenapa lo bisa di sini? Sama Indira lagi!” “Saya cuma nganter Mbak Indira yang semalem mabuk, Mbak.” “Pake nginep?” “Maaf, saya enggak bermaksud begitu. Saya hanya ketiduran, karena Mbak Indira terus meluk tangan saya. Saya jadi enggak bisa pergi.” “Dir! Dira! Indira!” teriak Olive sembari menggoyangkan tubuh Indira. Indira mengerang, mencoba membuka matanya. Kepalanya pening sekali, belum lagi matanya yang masih terasa berat. Namun, ocehan sahabatnya tidak bisa dihindari. Indira berusaha membuka matanya, menatap ke sekeliling dan terkejut saat mendapati Mahesa ada di hadapannya. “Siapa lo?!” “Lo enggak kenal sama dia?” Indira menggeleng, lalu segera melompat dari sofa. “Maaf, Mbak. Semalem saya yang nganterin Mbak pulang. Saya Mahesa,” jelas Mahesa sambil mengulurkan tangan. Namun, kedua wanita di hadapannya membiarkan tangan itu mengambang sampai pemiliknya menarik kembali. “Sepertinya Mbak Indira sudah sadar, dan udah ada temannya. Jadi saya bisa pamit pulang kalau begitu.” Mahesa tersenyum sebelum akhirnya berbalik dan melangkah menuju pintu. Namun langkahnya terhenti saat dia kesulitan membuka pintu, hingga akhirnya teman Indira menghampirinya dan menekan enam angka pin dan bunyi bip kembali terdengar. Mahesa kembali tersenyum, lalu buru-buru keluar meninggalkan penthouse Indira. “Lo sih, sok-sokan mabuk. Eh, sekalinya mabuk malahan bawa cowok balik. Hebat juga lo.” “Apaan, sih? Gue juga nggak kenal tuh cowok,” sahut Indira seraya mengambil sebotol air mineral kemasan dari dalam kulkas dan menenggaknya. “Tumben pagi-pagi ke sini, ada apa?” “Ada apa, ada apa! Om sama tante nyariin lo dari kemarin. Khawatir sama kondisi lo.” Indira menghela napas, lalu kembali menjatuhkan tubuhnya di sofa dan menyalakan teve. Olive kemudian bergabung dengan membawa dua mangkok dan dua botol air, beserta dua bungkus bubur ayam yang dibelinya saat perjalanan menuju apartemen Indira. “Om sama tante mau nanya keputusan lo tentang pernikahan lo. Gimana jadinya?” Olive melirik sahabatnya yang diam dan menatap kosong pada semangkuk bubur ayam yang masih mengepulkan asap, mengabaikan teve yang sedang menayangkan acara gosip. Olive tahu, ini masih terlalu awal untuk mengungkit masalah pernikahan Indira. Namun, kedua orang tua Indira juga bingung harus berbuat apa, terlebih lagi ketika putrinya tiba-tiba saja memutuskan pindah ke apartemennya lagi. “Dir.” “Hem?” “Kenapa enggak angkat telepon Om dan tante?” “Gue enggak tahu harus ngomong apaan soalnya. Gue udah ngecewain mereka,” ucap Indira dengan suara seraknya, berusaha menahan air matanya lagi. “Hei.” Olive beringsut memeluk Indira yang mulai terisak. Mencoba memberi dukungan sekecil apapun itu, agar sahabatnya ini bisa menghadapi masalahnya. “Ini bukan salah lo, kok. Si g****k itu aja yang beneran b**o karena udah ninggalin lo.” “Gue mesti gimana, Live? Sampai kapan kita bisa tutupin semua ini? Media pasti lama-lama bakalan tahu, dan—” “Dan si b**o itu bakalan nyesel.” Indira mengusap air matanya. Sudah seminggu dia tidak berhenti menangis, sejak Adrian membatalkan pertunangan mereka sepihak. Sejak malam itu, Indira tidak berani pulang ke rumah menemui orang tuanya. Dia tidak tahu harus melakukan apa. Yang orang tuanya tahu, dua minggu lagi Indira akan menikah. Serapat mungkin Indira menyimpan masalahnya. Hanya pada Olive dia menceritakannya. Efeknya akan fatal, terutama bagi papa, jika tahu Indira batal menikah. Namun sampai kapan rahasia ini akan disimpan, apalagi kehidupannya sebagai model sangat dekat dengan media. “Lebih baik om dan tante tahu sekarang dari lo daripada dari media, kan? Ngomong pelan-pelan.” Indira menggeleng. “Gue takut papa ntar kepikiran dan malah bikin jantungnya kumat.” “Terus mau sampai kapan lo kayak gini? Dua minggu lagi tanggal pernikahan lo, kan? Kalau sampai saat itu lo enggak bilang yang sebenarnya, malahan parah ntar.” “Apa gue minta balikan aja ya sama Adrian?” Olive menghela napas. “Lo yakin? Adrian aja enggak bilang apa alasannya batalin pertunangan kalian. Sekarang lo minta balikan?” “Terus gue mesti gimana, Live?” “Saran gue, tetep lo ngomong ke om sama tante. Jelasin ke mereka pelan-pelan, atau ntar gue temenin deh.” “Enggak. Gue—” “Pikirin aja dulu,” potong Olive, lalu mulai menyantap bubur ayamnya. Sedang Indira hanya bisa menghela napas dan juga ikut menyantap buburnya sembari pikirannya tetap mengembara mencari cara bagaimana mengabarkan dirinya yang sudah putus hubungan dengan Adrian.   *** Setelah Olive pulang, Indira kembali sendirian di apartemen papanya ini. Tempat ini menjadi pelariannya di kala penat, karena masalah pekerjaan. Siapa yang menyangka, tempat ini kini menjadi pelariannya untuk bersembunyi, karena sikap pengecutnya. Indira baru saja selesai mandi saat ponselnya yang ada di sofa berdering. Panggilan dari mama. Sudah tiga hari ini dia mengabaikan panggilan telepon orang tuanya. Indira masih bingung harus menjawab apa jika mama atau papa bertanya tentang progress acara pernikahannya dengan Adrian yang sudah batal seminggu lalu. Namun apa yang dikatakan Olive ada benarnya, lebih baik dirinya yang memberitahukan kegagalan ini daripada mereka tahu dari berita gosip di teve. “Ya, Ma?” sapa Indira setelah menggeser tombol hijau dan menelakupkan ponselnya ke telinga. “Kamu ke mana aja? Kok tiga hari ini enggak angkat telepon Mama sama Papa?” “Maaf, Ma. Indira lagi ada pemotretan di luar kota. Agak susah sinyal gitu. Makanya, Indira belum sempet hubungi Mama,” bohong Indira. “Kok Olive enggak bilang apa-apa?” “Aku emang enggak kasih tahu Olive tentang ini, Ma.” “Kamu ada masalah sama Olive?” “Enggak ada kok. Kita baik-baik aja, cuma emang proyek ini aku pengen tangani sendiri,” bohong Indira lagi, dia semakin ahli. “Ya udah kalau gitu. Terus kabar kamu sama Adrian gimana? Udah pastiin lagi ke katering sama dekor buat dua minggu lagi?” Akhirnya topik pembicaraan yang paling ditakutkan Indira diungkit oleh mama. Indira menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya. Menyiapkan diri untuk mengatakan yang sebenarnya pada mama. “Aku sama Adrian—” Indira kembali menelan kalimatnya saat kedua matanya menangkap benda asing di atas sofa. Sebuah jaket pria. Jaket milik Mahesa yang dipakainya dini hari tadi. Entah bagaimana, Indira tiba-tiba saja mendapatkan ide untuk mengatasi masalahnya. Mungkin akan terdengar gila, tapi Indira hanya punya waktu kurang dari dua minggu untuk menyakinkan pemilik jaket mengikuti rencananya. “Ma, nanti aku telepon lagi ya. Aku harus pergi.” “Tapi, Dir. Mama pengen tahu soal acara kamu.” “Iya, ini aku juga mau ngurus. Nanti kalau udah selesai, aku janji bakalan langsung telepon Mama. Ok?” “Ya sudah, jaga kesehatan ya.” “Iya, Ma.” Indira menatap lekat jaket di tangannya, sembari menyakinkan diri bahwa rencananya kali ini demi membahagiakan orang tuanya. Bukan demi dirinya. Baiklah, mungkin juga demi citranya sebagai public figure, yang harus terlihat sempurna di mata banyak orang. Tapi itu tidak masalah, kan?    ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD