1. Wasiat tidak terduga sang atasan

1171 Words
"Selamat datang kembali, Pak," ucapku dengan keramahan yang ketara demi menyambut pimpinan yang baru tiba. Beliau, Pak Yudi mengangguk, tak lupa menggerakkan telunjuknya. Seperti biasa, beliau ingin segera tahu perkembangan terbaru atas jadwalnya yang padat. "Mengapa di sini semakin sepi saja, Frey?" Aku tak kuasa mengangkat alis demi mempertanyakan maksud beliau. "Mungkin karena Anda baru saja pulang dari rumah sakit, Pak." Kuharap jawabanku tidak terlalu kaku dan membosankan. "Ya, setelah aku kehilangan istriku di tempat yang sama sebulan sebelumnya." "Pak," Suaraku tertahan saat Pak Yudi menghela nafas. Aku sempat gugup saat bahasan mulai mengarah ke sana. Tapi senyum simpul di wajah beliau menyiaratkan bahwa hal itu tidak akan mengganggunya lagi seperti yang sudah-sudah. Syukurlah. "Katakan tugasku selanjutnya sebelum nafasku juga meninggalkan tubuh tua ini, Nak." Suasana kembali kaku untukku. Bahasan itu memang masih mengganggu beliau. Dengan ragu, kupaksa kakiku melangkah mendekat ke arah meja Pak Yudi, meletakkan tablet yang terisi jadwal beliau di sana. "Berikutnya Anda perlu meninjau proyek di luar kota, Pak," ucapku sedikit khawatir namun tertutup nada profesionalisme. Tolong ingat, Frey! Kau hanya seorang pegawai di sini. Beliau mengangguk. Kota yang harus dikunjungi itu pun ternyata tempat beliau dan almarhum istri bertemu pertama kali. Kucoba menahan tangan untuk tidak menyentuh tabletku. Tapi tidak bisa. Aku sudah seharian lalu menahan ini. Dengan lancang, aku mendekat lagi ke meja. Akhirnya tanganku menggeser layar tabletku tadi untuk menunjukkan video selamat datang kepada beliau, mengalihkan kesedihannya. "Selamat datang kembali, Pak. Kami berharap Anda tetap sehat dan bahagia," ucapku berharap dapat mewakili niat tulus semua karyawan, melihat Pak Yudi bersemangat kembali. Namun, reaksi beliau tidak seperti yang diharapkan. Cukup lama setelah memandang foto di layar tablet dalam keheningan, kursi beliau langsung berputar memunggungiku. Tangan beliau yang memegangi dahi terlihat dari samping kursi, terlihat semakin sedih. Aku menyesal dengan jadwal itu. Dengan segenap rasa bersalah dan cemas yang terpendam, aku undur diri tanpa tabletku. Juga tanpa suara. Di luar, karyawan lain menatapku penuh harap. Tapi melihat raut wajah dan gelengan kepala dariku, mereka mendadak sedih, meyakini usaha kami menghibur atasan yang larut dalam duka hanya sia-sia. "Frey, sudah jangan dipikirkan terus. Pak Yudi itu juga manusia, butuh waktu untuk bersedih sendiri. Nanti ada waktunya beliau kembali seperti dulu," tegur mbak Lemoni yang gemas melihatku terus-menerus sedih. "Tidak ada seperti dulu mbak. Sekantor ini pun tahu kalau Pak Yudi begitu mencintai almarhum istrinya. Sekarang dan kedepannya, bagaimana bisa beliau kembali seperti dulu?" tanyaku frustasi. "Frey, kamu tidak memendam semacam ketertarikan... pada... beliau kan?" "Mbak!" ucapku tidak percaya dengan pemikirannya. "Oke. Oke. Jangan marah dulu Frey. Mbak hanya wanti-wanti saja. Siapa tahu kamu jadi nyonya selanjutnya kan, biar mbak tahu gimana bersikap sama kamu." Penjelasannya semakin membuatku menganga tidak percaya. Aku menutup mata geram, sakin terkejutnya dengan kemungkinan pemikiran mbak Lemoni. "Kukira kita lebih pantas menganggap beliau sebagai Ayah, mbak!" tekanku. Mbak Lemoni akhirnya tertawa, mengangkat kedua tangannya sebatas dagu. Dia menepuk pundakku yang sudah naik beberapa centimeter tegang. "Mbak bercanda, Frey. Kamu hanya terlalu tegang dan serius," ucapnya santai dengan raut wajah mengayomi seperti seharusnya, mengingat usianya empat tahun di atasku. Bahuku mengendur teratur seiring dengan tawa kecil di wajah yang muncul akibat bayangan aneh di kepalaku. "Sebaiknya kamu segera menyiapkan keperluan beliau untuk perjalanan bisnis besok, Frey," pesan mbak Lemoni sebelum dia kembali ke meja kerjanya. *** Keperluan perjalanan Pak Yudi untuk meninjau proyek besok pagi sudah kusiapkan layaknya sekretaris yang handal. Malam ini, tinggal istirahat beberapa jam sebelum berangkat subuh ke bandara. Tapi, panggilan mendadak itu mengubah segalanya. "Pasien atas nama Pak Yudi ingin bertemu dengan Anda." Begitu panggilan selesai, aku bergegas secepat mungkin menuju rumah sakit yang sudah kuhafal baik. Dalam perjalanan, otakku buntu. Hanya berharap atasanku masih dalam keadaan yang masih tertolong. Dan harapanku itu rupanya didengar Tuhan. Aku tiba bersamaan dengan seorang pria berpakaian formal serba hitam, yang kutahu adalah pengacara atasanku. Kami berdiri di depan pintu ruang rawat Pak Yudi menunggu dokter yang masih memeriksa keluar dari sana. Pengacara itu menyapa dengan senyum hangat. Aku balas mengangguk, tidak niat bicara, hanya mengharap muzijat untuk lelaki tua baik hati yang berbaring di sana. Sang pengacara masuk lebih dulu untuk melihat kondisi Pak Yudi sementara aku menunggu di luar. Lalu saat disuruh masuk ke dalam, kecemasanku mendadak lenyap saat melihat atasanku masih sadar, masih bisa bicara, walau di tubuhnya terpasang beberapa selang untuk menunjang hidup. Tanpa izin, diam-diam air mataku menggenang di pelupuk mata. Tak kuasa menahan haru dan sedih di saat bersamaan. "Berikan padanya," ucap Pak Yudi tenang, ku tahu beliau kesakitan saat bicara walau tidak diperlihatkan. Pengacara di sampingku memberikan berkas dalam map kuning yang setelah k****a adalah surat asuh dan ahli waris. Begitu aku mengangkat wajah dari berkas yang masih terbuka di atas tangan, mataku langsung melihat Pak Yudi dengan bingung. Kenapa ada namaku tertera di atas sana? "Kau anak yang baik, Frey." Tangan Pak Yudi terangkat, seolah memintaku mendekat. Aku menegarkan hati agar tidak langsung menangis ketika mendekat ke samping beliau. "Harusnya ini kulakukan sejak dulu. Aku menyesal setelah hidupku kesepian dan menderita," Mendengar suara beliau yang bergetar, putus-putus akibat rasa sakit di setiap tarikan nafasnya membuat dadaku sesak. "Pak, tolong bertahanlah!" pintaku saat Pak Yudi hampir menutup mata. "Dia," pandangan beliau menunjuk pengacaranya yang sekilas kulihat juga, "Akan menjawab semua pertanyaanmu. Maafkan aku, Nak." Semua berputar di sekelilingku saat Pak Yudi benar-benar menutup mata. Kesadaran itu baru kembali padaku saat disuruh menunggu di luar oleh dokter yang dipanggil masuk untuk memeriksa keadaan Pak Yudi. Dan semua terjadi begitu saja. Pengacara itu keluar dari sana, menghampiriku duduk. "Berapa lama beliau merencanakan ini?" tanyaku bergetar. "Lima tahun yang lalu saat putranya pergi." "Apakah beliau baik padaku hanya karena rencana ini?" "Pak Yudi orang yang baik." Pengacara itu tidak menjawab pertanyaanku seperti yang kuinginkan. Selanjutnya, dia hanya menjelaskan apa yang harus kulakukan atas dokumen yang ada di tanganku. Tangisku pecah begitu sampai di rumah, tidak percaya atas kepergian Pak Yudi untuk selamanya. Semua orang di kantor pun begitu, selama seminggu turut berduka atas kepergian almarhum yang mendadak. Mungkin akan selamanya membekas rasa sedih untuk Pak Yudi selama kami masih bekerja di kantor ini. Selama masih berlalu lalang di lantai atas, dekat dengan ruangan almarhum. Aku sendiri tidak memiliki gambaran yang jelas tentang hari-hari ke depannya. Tidak sampai pengacara itu datang ke rumah memintaku untuk menerima tanggung jawab. Tapi aku tidak bisa, tidak bisa menerima beban mengelola perusahaan sebesar itu. "Jika demikian, Anda bisa memilih opsi ke dua, nona Freya." Pengacara itu memberikan dokumen untuk k****a. "Selama Anda bisa membawa putra almarhum kembali untuk mengurus perusahaan, Anda bisa lepas dari tanggung jawab." "Lalu selama aku pergi, siapa yang akan mengurusnya?" Didorong penasaran, aku hanya ingin tahu apa ada orang lain yang berbakat, bisa dipercaya, dan mau membantuku? Aku memang sedih dengan wasiat ini, tapi lebih sedih lagi jika melihat para pekerja kehilangan pekerjaan mereka karena bangkrutnya perusahaan dan itu disebabkan olehku. "Ada perwakilan yang ditunjuk direksi untuk melakukannya sementara." "Kenapa tidak selamanya?" tanyaku protes. "Karena Anda sudah berjanji dan menandatangi perjanjian yang pertama di rumah sakit." Aku menyesal. Bagaimana aku bisa membawa kembali orang yang bahkan tidak kukenal dan tidak mengenalku?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD