Patah Hati

1245 Words
Patah Hati terbesar bagi Kay, ketika pedoman hidupnya menghilang. Bagi Kay, Aksa lebih dari sekedar pasangan. Pria itu separuh napasnya, Satu-satunya tempat ia berpulang. Namun, kini Kay bagaikan orang yang tersesat tanpa tahu harus ke mana. Semenjak kematian orangtuanya, Kay tak banyak berinteraksi dengan orang. Hanya Aksa yang mampu menerobos dinding pertahanannya, membawa sebuah harapan untuk Kay tetap bertahan hidup. Nyatanya, semua harapan itu semua belaka. Lalu apa lagi yang Kay harapkan? Tak ada! Haruskah Kay mati? Sepertinya begitu, hidup pun akan terasa sia-sia baginya. Lihat saja, tubuh ringkih dengan mata yang mulai meredup. Raga Kay seperti tak bernyawa lagi. Sudah seminggu ia hanya mengurung diri di apartemennya yang gelap. Meninggalkan semua aktifitas, termasuk pekerjaannya. Kay hanya berdiam diri, merenungi nasib yang membuatnya sehancur ini. Dia bahkan lupa kapan terakhir ia makan, kapan terakhir ia mandi. Tubuhnya sudah menguarkan bau tak sedap. Rambutnya seperti gembel, wajahnya kumal. Nyaris tak tertolong. "Kay!" Bagaikan orang tuli, Kay selalu mengabaikan orang-orang yang datang ke apartemennya. Seakan patah hati benar-benar menghancurkan hidupnya. "Kay, are you okay?" Kay tahu itu pasti Laras, teman kantornya. "Gue khawatir sama lo, apa lo udah makan?" Laras mengembuskan napas kasar, menatap nanar pintu yang tertutup rapat. Hampir tiap hari ia datang, hanya untuk memastikan Kay makan dan masih bernapas. Tapi sepertinya wanita itu makan saat ingin saja. Terbukti dari makanan yang sering ia bawa, terkadang sama sekali tak tersentuh. "Gue bawain lo makan? Seenggaknya lo makan. Cukup seminggu ini lo ngurung diri Kay. Jangan siksa diri lo seperti ini, bahkan orang yang lo harapin datang gak mungkin bakal datang. Waras Kay!" teriak Laras, nyaris putus asa. Tak mendapati tanggapan dari dalam, akhirnya Laras menyerah. Ia meletakkan kantong keresek yang dibawanya, lalu membuang makanan kemarin yang sama sekali tak disentuh Kay. "Gue pulang, makananya gue taruh di depan. Jangan pernah berpikiran macem-macem. Masih ada gue yang peduli sama lo. NGERTI!!" Kay termenung, dia mendengar semua ucapan Laras. Benar, harusnya dia tidak seperti ini. Bahkan Aksa sama sekali tidak peduli dengan keadaanya. Mungkin bagi Aksa, ia mati atau hidup tak akan berpengaruh. "Gue benci lo, Nadira!" Kay mencengkram selimut di sampingnya. Bayangan Nadira bersama Aksa terus berputar-putar di otaknya. "Gue bakal bales lo semua!" Tekad Kay sudah bulat, dia beranjak dari kasur. Berjalan menuju pintu, hal pertama yang harus ia lakukan mengisi perutnya yang sudah dua hari tak diisi. Setelah itu mulai menata ulang kehidupannya, meski kali ini bukan Aksa melainkan dendam yang jadi motivasi ia bertahan  hidup. ———— Bandara udara Hang Nadim, Batam. Kay menggeret kopernya menuju ruang kedatangan. Di sana sudah ada tim dari Bawah reserve yang menunggu kedatangannya. Ya, Kay memutuskan mengasingkan diri ke pulau terpencil yang terletak di kepulauan Riau. Berbekal tabungan pernikahan, dia akan melepas penat serta beban hidupnya. Menikmati keindahan pulau Bawah yang terkenal. Kay bersiap untuk menaiki privat seaplane / pesawat amfibi menuju pulau Bawah. Kay sudah tidak sabar, seharusnya ini jadi destinasi honeymoon bukan malah jadi tempat pelarian. Dari atas sini Kay bisa menikmati pemandangan menakjubkan dari pulau kecil yang bertebaran di laut Natuna. Penerbangan yang memakan waktu hampir delapan puluh menit, akhirnya Kay tiba di pulau Bawah. Pesawat yang ditumpanginya mendarat di atas permukaan laut. Kay diantar oleh pemandu wisata mengendarai Buggy menuju Bungalow, tempanya beristirahat. Resort di sini sangat bagus, mengusung konsep eco-resort. Memiliki 35 bungalow. Setiap bungalow dirangcang dengan jarak yang tidak terlalu berdeketan, demi meningkatkan kenyamanan dan privacy para tamu. Tempat yang cocok bagi orang seperti Kay untuk menenangkan pikirannya yang kalud. Sepertinya Kay akan sangat betah di sini, ketimbang berada di apartemennya yang gelap gulita. Kay memilih bungalow beach front suite. Bungalow yang memberikan akses langsung ke pasir putih dan pantai yang amat jernih. Kay ingin merasakan sensasi berjemur di atas pasir. Untuk hari ini mungkin Kay akan mengistirahatkan tubuhnya, perjalanan ke sini sangat menguras energi. ————— Selama berhari-hari di pulau Bawah, banyak hal yang sudah Kay lakukan. Seperti snorkeling, menyelam, berenang, maupun mendayung  perahu canoe. Setidaknya ia bisa melupakan sejenak permasalahan hidupnya yang tragis. Seperti malam ini, Kay tengah menikmati makan malam di restoran Treetops. Dari sini Kay bisa menatap laut, menikmati keindahan malam yang bertabur bintang. Ia tersenyum tipis, namun senyum itu sirna saat melihat sepasang manusia yang berjalan memasuki restoran. Pelarian Kay terasa percuma ketika melihat Aksa dan Nadira berjalan menuju ke arahnya. Apa dunia sesempit ini? Atau Tuhan sengaja memberinya cobaan seberat ini? "Kay!" Sial! Ngapain juga Aksa harus menegurnya. Rasanya Kay ingin menenggelamkan diri ke dasar laut. Kay mengangkat wajahnya, menatap dua orang yang berada di hadapannya. Kay memasang muka datar, sama sekali tak menunjukkan keterkejutannya. "Kamu di sini? Sama siapa?" tanya Aksa. Sementara Nadira bersembunyi dibalik lengan Aksa. "Gue pikir batal menikah dengan gue, lo bakal ganti destinasi honeymoon. Tapi ternyata tidak, apa sesusah itu melepas gue." Kay tersenyum miring, tatapannya mengejek Nadira. Terlihat jelas wajah Nadira yang memerah menahan emosi. "Selera makan gue tiba-tiba hilang." Kay menyeka bibirnya dengan tisu, dia beranjak pergi meninggalkan  Aksa dan Nadira. "Jadi, karena Kay kamu mengajak aku honeymoon ke sini? Kay tersenyum tipis, saat mendengar Nadira menuntut penjelasan pada Aksa. Dia tidak berniat membuat pasangan itu bertengkar, tapi sepertinya itu bagus. Sedikit menghibur. Kini Kay berjalan menuju tepi pantai di depan bungalow-nya. Membawa sebotol bir ditangan. Ini pertama kalinya dia menenggak minuman laknat itu. Kay begitu menikmati sensasi melayang yang ia rasakan, beban pikirannya sedikit terhempas dari otak. "Gue, juga bisa bahagia tanpa lo!" Kay terus meracau, langkahnya yang sempoyongan membuat Kay sering terjatuh. "Gue benci lo, kenapa lo harus muncul!" Kay terjatuh di tepi pantai, menatap ombak yang menyapu kakinya. Angin malam yang begitu dingin, menusuk kulit Kay yang hanya mengenakan gaun tidur yang tipis. "Gue lelah, gue bosan seperti ini!" Kay kembali menenggak minumannya. Ia bangkit berdiri, tatapannya mengabur. Meski sempoyongan, Kay melangkah dengan pasti menerobos ombak menuju ke lautan. "Hey!" Sayup-sayup terdengar teriakan seseorang. Namun Kay tetap melangkah, hingga tiba-tiba ia terseret kembali ke daratan. "Lepas!" Kay berontak, menghempas tangan yang mencekal lengannya. "Lo gila! Bisa mati lo kalo terus ke sana!" "Emang gue mau mati, gak ada gunanya hidup." Kay terduduk di atas pasir. Menangkup wajah, air matanya tak lagi bisa terbendung. Kay menangis, sambil terus meracau. "Gue benci sama takdir, gue benci sama hidup gue sendiri." "Terus kalo lo mati emang masalah lo selesai." Kay mendongak, menatap wajah lekaki di sebelahnya. Meski samar, Kay bisa melihat ketampanan pria itu. "Tapi setidaknya, gue bisa lupain semuanya." Kay memalingkan wajahnya, menatap ke laut. "Calon suami gue nikah sama temen kantor gue. Bahkan mereka sudah mau punya anak. Dan sekarang gue justru melihat mereka di sini." Kay tersenyum kecut. "Betapa konyolnya gue, lari sejauh apa pun tetap saja mereka akan muncul di depan wajah gue. Memamerkan kemesraan mereka, membuat gue sangat muak!" Pria itu terdiam, dia membiarkan Kay terus bicara. Bahkan Kay tanpa ragu menceritakan apa yang hampir saja terjadi dengan Aksa waktu itu. "Seperti apa rasanya malam pertama?" Kay menatap lekat wajah pria itu. "Gue penasaran, apakah rasanya akan sama saat melakukannya dengan orang lain." "Lo mau nyoba?" Tanpa ragu Kay mengangguk. "Gue bakal bikin lo gak pernah lupain malam pertama lo," bisik pria itu. "Sungguh?" Mata Kay berbinar, sepertinya alkohol sudah membuatnya hilang kesadaran. Bahkan saat pria itu mencium Kay, ia justru menikmatinya. Sama sekali tak mengelak, jika ciuman pria itu lebih hebat dari sentuhan bibir Aksa. Pria itu mengangkat tubuh Kay, sementara Kay mengalungkan tangannya di leher pria asing itu tanpa melepas pagutan. Akankah Kay kali ini menyesal? Entahlah, yang Kay tahu saat ini dia hanya ingin menikmati sentuhan pria itu. Melupakan sentuhan  Aksa, menggantikannya dengan sentuhan orang lain. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD