Bayangan

1464 Words
Hati yang bercahaya bersanding jiwa yang berduka. Terbelai angin pada dua hati dalam bentuk tanpa dosa. Menggoda tanpa ampun untuk mencinta. Tanpa perduli waktu memusuhi keduanya agar terpisah. Di saat angin pergi tanpa menoleh, aliran kehampaan mulai menyiksa hati Meninggalkan kesedihan pada yang ia tinggalkan. ______ Kore menatap sayu pada pesta yang diadakan di atas langit oleh Zeus yang agung. Membayangkan sebuah aula luas di atas awan, nan dihias dengan sihir sebagai mahakarya sang pemimpin dewa--- menambah kelesuannya. Bahkan hanya sekedar melihat ruang berkilaun yang sinarnya bahkan menembus awan oleh taburan serbuk emas dari para Nimfa--- tidak sanggup ia lakukan. Merenungi diri sendiri adalah nasib yang yang harus ia terima. Pria adalah pemburu licik yang akan menjeratmu tanpa kenal lelah. Terutama kecantikan yang kau miliki tak kalah dari Aphrodithe. Mengingat alasan konyol ibunya yang melarang dirinya berbaur dengan para dewa di olimpus membangkitkan kekecewaan yang mendalam di hati Kore. Sungguh tidak adil menghukum dirinya atas patah hati yang diderita Dementer. Alasan melindunginya dari kekejaman pria, ia jadikan tameng dari segala penolakan Kore yang memiliki geliat pemberontakan atas ketidak adilan yang ia rasakan. Hembusan nafas Kore melebur bersama angin yang bertiup. Keinginan sederhana menyaksikan pergelaran pesta di olimpus membuatnya memejamkan mata. Mengingat pecahan ingatan masa kecil yang mungkin bisa ia jadikan gambaran pesta itu. Hal yang pernah ia lihat sewaktu masih kecil adalah pilar kokoh dari batu pualam berkualitas tinggi yang memiliki alur permata untuk berpadu menjadi sebuah lukisan cantik. Disinari lampu dari kristal raksaksa yang bergantung pada langit - langit berwarna keemasan, menjadikan pilar - pilar aula bersinar layaknya kristal. Gorden tinggi berbordil disulam oleh para nimfa membentang sebagai pelengkap dari dinding yang memiliki gambar timbul. Bersama para peri yang menari, pesta yang pernah ia lihat menjadi luar biasa. ''Pasti pesta kali ini juga seindah dulu," guman Kore. Kore menggigit bibir untuk menelan keinginan di hati yang mulai menunjukkan riak - riak tak nyaman. Jika pesta kali ini serupa dengan yang pernah ia lihat, tentunya akan ada Appolo maupun dewa yang lain di sana. "Haaah..." desahnya. Ingin sekali dia hadir di pesta itu, sayangnya dia justru terkurung dalam hutan di bumi karena rasa posesif ibunya yang diluar nalar. Bisakah ia protes dengan berhenti menumbuhkan sesuatu agar ibunya berhenti bersikap posesif? Sayangnya dia tidak mungkin melakukannya. Dia terlalu mencintai tanaman, sesuatu yang ia tumbuhkan berkat kemampuannya sebagai dewi musim semi. Sehingga di sinilah ia berada, di hutan beralas ilalang keemasan. Kore menatap langit dengan penuh rasa iri. Bertanya- tanya kapankah akan bisa menginjakkan kaki aula di tempat para dewa impus berkumpul dan diakui layaknya dewi yang lain. Menyerah dengan impian semu, dia mulai berjalan ke padang rumput luas di bumi, satu gerakan tangan kore yang lentik--- mengganti warna keemasan rumput dengan warna hijau segar. Jari - jari tangannya bergerak berayun layaknya daun tertiup angin. Menebarkan kilaun indah yang muncul dari tangannya nan mengalir indah ke tanah bagaikan sungai kecil. Menumbuhkan ratusan tanaman kecil di tanah yang bahkan tidak berasal dari biji. Semakin lama semakin besar dan mekar. Hingga angin menerpa kelopak mereka, menari- nari di sekeliling Persephone / Kore yang tersenyum melihat hasil karyanya. Meski baginya karya hari ini tidak sempurna karena menumbuhkan bunga yang berwarna- warni akibat pikirannya yang tidak fokus, namun hal tersebut mampu memikat seorang pria berjubah gelap. Di kereta yang ditarik Celberus tangannya menggengam tali kemudi. Tepat pada saat kore menoleh, mereka bertatapan. Di saat itulah eksistensi Kore tidak bisa hilang dari benak Hades. Nafas keduanya tertahan sejenak karena terpikat oleh masing - masing. Hingga satu kata yang terucap di bibir pemilik Helm of the dark itu terlontar, menarik jiwa pemilik yang melewati aliran waktu kembali ke raganya. Persephone.... Nama itu terucap melewati aliran waktu mencari sang pemilik. Indra yang menangkapnya sebagai kesadaran tanpa memperdulikan sesuatu itu nyata dan terwujud. Sebab tubuhnya mengingat dengan jelas, tiap nada suara yang berdesir merambah melalui udara untuk mencapainya. Yang akhirnya membawa kesadaran dari gadis yang tertidur pulas dari mimpi- mimpi yang ia nikmati, tanpa tahu jika gambaran dalam tidurnya adalah mengingat kehidupannya di masa lalu yang berontak--- menolak untuk dilupakan. "Hah!" Ivy tersentak dari mimpi yang bahkan ia sendiri tak bisa mengatakan jika hal yang ia lihat ketika terlelap adalah sebuah mimpi belaka. Mata Ivy yang berbaring terlentang di tempat tidur, mengikuti langit - langit yang memiliki cetakan berbentuk daun dan buah. Pikirannya berpacu mencoba menebak apakah gerangan yang menimpanya karena mimpi itu semakin intens menyapanya di malam hari. Bibir seindah buah cerry mengerucut, dilanjutkan dengan gerutuan yang emosinya diwakili oleh mata memburam akibat terbangun dengan cara yang tidak menyenangkan. "Ahh... aku bisa gila jika suara itu terus menerus terdengar di mimpiku, " gerutu Ivy. Suara seksi, dalam dan lezat selalu muncul tiap kali ia akan bangun di pagi hari ini. Suara yang mendesah sekaligus terdengar jantan menggetarkan seluruh bulu - bulu di badannya. Ivy semakin tidak yakin jika dia masih berada di lingkungan yang norma setelah beberapa kejadian misterius. Sebab setelah suara - suara yang memangginya Persephone itu menghilang, maka semuanya digantikan dengan bayangan yang mengikutinya tanpa henti. Ivy kebingungan mana yang lebih buruk, suara yang terus membayanginya ataukan bayangan bermata merah yang sering tanpa sengaja ia lihat. Mengabaikan hati yang bergetar ketakutan, Ivy keluar dari kamarnya menuju kamar mandi. Dan lagi, ia mulai terpikat dengan cermin, seolah menariknya ke dalam daya tarik yang sulit dijelaskan. Dirinya yang memiliku surai kemerahan tersenyum menatap cermin itu. Matanya yang sewarna klorofil bersinar lembut. Ivy seolah bergerak mengagumi dirinya sendiri di cermin. Sret. Piyama tidur bergambar beruang terjatuh di lantai kamar mandi. Berpisah dari tubuhnya yang kini polos tanpa kain yang menutupinya. Sungguh aneh terobsesi dengan dirinya sendiri tapi apa daya. Ivy tidak mampu mengendalikan dirinya sendiri. Semua tindakannya seolah dikendalikan orang lain. Tangan Ivy kini menjulur ke arah cermin besar depan wastafel. Dia membelai gambaran dirinya di cermin. Persephone... Deg. Ketika pantulan bayangannya di cermin berubah menjadi bayangan gelap. Jiwa Ivy tertarik kembali dan sadar. "Eh...?" Ternyata ingatan keanehan yang menimpa dirinya tidak terhapus. Ivy bahkan meraba - raba seluruh tubuhnya untuk memastikan jika dia tidak lagi dikendalikan. "Apa sebenarnya yang terjadi padaku?" Gerutu Ivy. Diantara semua yang aneh, tubuhnya yang bergerak sendiri mengagumi kecantikannya sendiri menjadi hal teraneh yang ia lakukan. "Sudahlah." Ivy memutuskan untuk mencuci bersih pengalaman aneh tadi dari ingatannya. Dia lebih suka menganggap tadi hanya delusi semata. Itu jauh lebih baik dari pada memikirkan hal tidak bisa ia jawab dengan logika sehingga membuatnya terlambat masuk kampus. Jalanan di depan apartemennya mulai ramai oleh mahasiswa yang berjalan. Berterima kasihlah pada ibunya yang memiliki apartemen dekat kampus. Pemandangan ini melegakan, setidaknya ia yakin jika tidak akan merasakan pengalaman mistis di jalan, dengan banyak orang pula. Merasa konyol karena memiliki perasaan lega keluar dari apartemen yang seharusnya menjadi tempat teraman. "Bagaimana apartemen mu, kau tidur nyenyak?" Sapa Angel yang bertemu dan berjalan ke kampus yang sama. Apartemenya hanya satu blok dari apartemen Ivy. Padahal ia sudah memohon - mohon pada Lilac agar Ivy tinggal di apartemen yang sama dengannya, tapi Lilac bukan orang yang mudah digoyahkan. "Aku seperti terbebas dan bisa bernafas." "Jadi, kita siap berpesta di club?" "Akan kupikirkan. Ibu pasti membunuhku jika tahu aku melanggar semua perintahnya." "Itu artinya----" Angel melirik pada Ivy. "Yes!" Pekik keduanya. Melawan perintah orang tua adalah hal paling menyenangkan dan menantang di usia mereka. Apalagi Ivy baru terbebas dari Lilac. Semua orang tahu betapa posesifnya Lilac pada Ivy. Jadi tidak berlebihan jika Ivy mengatakan dirinya tidak bisa bernafas saat tinggal dengan Lilac. Dia tidak tahu jika sebenarnya Lilac menyembunyikan dirinya dari sang makhluk penguasa bawah tanah. Pria gelap, memikat yang tertunduk pada cinta Ivy. Persephone.... Ivy memalingkan wajahnya ke arah pohon willow tinggi tak jauh dari sisi jalan. Kembali ia merasa diikuti dengan bayangan yang membuat hatinya bertalu - talu juga kebingungan. Ivy bahkan tidak tahu apakah dia takut dengan bayangan yang nampak tak memiliki eksistensi itu atau tidak. Atau justru mulai penasaran. Rupanya ia sudah tidak tahan dengan acara kucing - kucingan ini. Ivy diam - diam memutuskan untuk berhadapan langsung dengan bayangan itu. Tapi bagaimana caranya? Ivy bahkan tidak tahu apakah bayangan itu makhluk nyata atau tidak. "Ada apa Ivy?" Keanehan dari sahabatnya menarik tanda tanya dari Angel. Dia tidak bisa diam melihat sahabatnya melihat pohon Willow tanpa henti. Bukan hanya melihat, mata hijau temannya terlihat tertarik. Angel pun mengikut arah pandang Ivy, tapi tidak menemukan sesuatu yang menarik kecuali daun - daun Willow berjatuhan dan melayang tertiup angin. Senyum ramah Ivy goyah disaat menutupi sesuatu di benaknya. "Ayolah. Aku hanya melihat pohon. Tidak ada yang istimewa. Ayo kita segera ke kelas sebelum ketepatan waktu kita dipertanyakan. " "Kau benar." Ivy dan Angel pun melangkah bersama para mahasiswa lainnya menuju kampus. Ivy memulai hidup normal layaknya mahasiswa yang lain. Hades tidak melepaskan tatapannya pada sosok yang begitu murni. Sudah lama minatnya tidak terjerat pada makhluk awam yang jiwanya berada dalam kekuasaannya. "Aku menemukanmu... Pesephone." Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD