3. Busur Dan Anak Panah

1395 Words
Saat Aezar keluar dari walk in closet dengan setelan jas lengkap dan bersiap pergi ke kantor, ia menemukan cewek aneh itu sedang duduk bersila di tengah-tengah ranjang milik Aezar sambil memejamkan mata. Kedua tangannya terbuka, masing-masing berada di atas lutut, seperti orang yang sedang bersemedi, atau... yoga? Apapun itu, berani-beraninya, dia duduk ranjang Asoka dengan kaki dan bajunya yang kotor itu! "Lo ngapain di ranjang gue, hah? Keluar sekarang juga atau gue panggilin bodyguard gue buat nyeret lo pergi dari sini!" Aezar langsung menarik selimut yang diduduki Raras agar terjatuh. Sayangnya, cewek itu bergeming dan semakin membuat Aezar emosi. "Cewek gila ini benar-benar! Kenapa gue bisa bawa dia kemari?" Aezar berdecak dan mengambil ponselnya di nakas untuk menghubungi Robert. Sambil menunggu panggilan tersambung, Aezar keluar kamarnya dan membanting pintu. Ia berencana ke dapur untuk membuat roti bakar dan secangkir kopi panas, kemudian terkejut saat melihat banyak jejak kaki kotor di lantai rumahnya, berasal dari ruangan tempat Aezar menyimpan koleksi lukisannya yang berharga. Cepat, Aezar memasuki pintu yang terbuka itu dan mengecek keadaan di dalam sana. Kalau Raras sampai merusak satu saja lukisannya yang berharga, Aezar bersumpah akan membunuh cewek itu dengan tangannya sendiri! Jejak kaki itu semakin dekat semakin pekat. Aezar mengembuskan napas lega saat melihat sekeliling. Lukisan-lukisan miliknya tidak ada yang bergeser sama sekali. Hanya saja, Aezar kemudian menemukan sebuah keganjalan di sini. Kenapa, jejak kaki berlumpur itu berhenti di depan sebuah lukisan seorang putri bangsawan yang beberapa hari lalu Aezar beli dalam sebuah lelang? Seolah-olah, jejak kaki itu keluar dari dalam lukisan? Aezar pasti sudah gila karena memikirkan kemungkinan tidak masuk akal itu. Bukankah Aezar hanya perlu mengecek pintu masuk penthouse-nya dan menemukan jejak kaki yang sama? Pikiran rasional Aezar membuatnya buru-buru keluar untuk mengecek kebenaran. Hanya saja, selain sepatu, celana dan kemeja miliknya yang tergeletak tak berdaya di lantai, tidak ada jejak kaki apapun. Mana mungkin, cewek itu meloncat dari pintu depan menuju ruang tamu? Suara di ponselnya kemudian membuat Aezar tersadar. Panggilan dari Robert. Aezar menggeser ikon hijau dan mengangkat panggilannya. "Segera cek rekaman cctv dari basemen hingga lift di sekitar penthouse-ku jam dua pagi tadi. Dan lihat apakah aku membawa seorang gadis masuk ke dalam atau tidak." Tanpa menunggu jawaban, Aezar langsung mematikan sambungan. Ia melonggarkan dasinya yang terasa mencekik. "Xeros, aktifkan mesin pembersih otomatis." "Baik, Pak. Mesin pembersih otomatis diaktifkan." Aezar berkata pada Xeros, robot android asisten rumah tangga miliknya. Robot itu berbentuk oval, dengan tinggi sekitar sepuluh sentimeter, berwarna perak dan mengilat. Xeros bertugas merespon sensor suara Aezar dan meneruskan perintah pada berbagai perangkat elektronik yang tersembunyi di penthouse-nya. Di masa ini, tugas seorang asisten rumah tangga bisa digantikan oleh seperangkat Xeros seharga dua puluh juta. Perusahaan Patibrata sendiri yang memproduksinya dua tahun lalu di bawah kepemimpinan Ayudia. Tak lama, sebuah robot berbentuk persegi datang, memindai sensor dan membersihkan jejak kaki Raras dengan cepat. Aezar ke dapur untuk mengambil minuman pereda mabuk yang selalu tersedia di kulkas dan meneguknya perlahan. Ketika itulah, ponsel Aezar berdenting. Robert mengirimkan sebuah rekaman cctv yang memperlihatkan Aezar memasuki penthouse-nya seorang diri dengan langkah sempoyongan karena mabuk. Tanggal yang tertera adalah hari ini. 28 Oktober. Jari-jari Aezar seketika bergetar. Nyaris saja ia menjatuhkan ponselnya karena terkejut. Sejak kapan, cewek aneh itu berada di dalam penthouse-nya? Dan bagaimana cara ia masuk? Keamanan penthouse miliknya sangat ketat. Bahkan tak sembarang orang memiliki akses untuk menaiki lift ke hingga ke lantai teratas. Apa dia memakai mantel tembus pandang atau sejenisnya? Teknologi semacam itu masih mustahil untuk dibuat sekarang. Dan Raras tak terlihat seperti orang kaya. Aezar sepertinya akan segera mendapat jawaban saat melihat cewek sialan itu melangkah mendekati Aezar dengan senyum tipis yang terasa membius. Aezar mengerjabkan mata. Kenapa, wanita itu tampak cantik ketika rambutnya digerai? Apa dia sudah melepaskan sihirnya untuk memikat Aezar? "Kamu masih belum memperkenalkan namamu," Raras meletakkan tangan kanannya di atas perut layaknya sikap seorang bangsawan yang penuh tata krama dan sopan santun. "Apa aku perlu memulai lagi dari awal? Namaku Gusti Dyah Kaniraras Kusumawardhani. Putri tertua dari pemimpin daerah Kembang Jenar, wilayah kekuasaan Majapahit. Kamu bisa memanggilku Gusti Raras." Aezar tersadar dari lamunannya dan berdeham. Majapahit, katanya? Dia terlalu mendalami peran dalam drama kolosal atau bagaimana? Ditatapnya mata gadis itu yang bebinar penuh rasa penasaran. Jika Raras masih tetap dengan pendiriannya untuk bermain-main, bukankah Aezar juga bisa melakukan hal yang sama? Sudut-sudut bibir Aezar terangkat. "Namaku Yang Mulia Eiji Aezar Patibrata, putra mahkota kerajaan Patibrata. Kamu bisa memanggilku Paduka Aezar." Melihat wajah Raras yang tampak puas dan seolah paham, membuat Aezar mendesah frustrasi. Ternyata Aezar salah langkah karena mananggapi kegilaan cewek itu. Apa dia benar-benar serius percaya pada ucapan Aezar? Lihatlah sekarang, Raras sedang setengah membungkuk hormat sambil menekuk satu kakinya. "Jadi, Anda adalah pemilik daerah ini? Salam hormat, Paduka Aezar." Astaga. Astaga. Dasar gila. Sinting. Tidak waras. Aezar berdecak dan meraih ponselnya untuk menghubungi Robert. Ketika panggilan tersambung, Aezar berujar dengan nada cepat dan keras. "Segera naik ke penthouse-ku sekarang juga. Ada cewek gila yang harus kamu bawa pergi ke kantor polisi." Aezar melemparkan ponselnya ke atas meja makan dan menatap Raras dengan tatapan membunuh. Kedua tangannya bersedekap. Kenapa Aezar repot-repot meladeni wanita gila ini jika ia bisa melemparnya pergi? "Aku ingin meminta bantuan Paduka," kata Raras tiba-tiba. Mata bulat dan beningnya menyorot serius. "Aku baru sampai di tempat ini semalam. Bisakah Paduka meminjamkan baju dari abad ini? Aku juga perlu guru yang bisa mengajariku untuk beradaptasi di sini." Raras mengarahkan jari telunjuknya ke arah belakang. Tatapan matanya tampak aneh. "Aku tadi melihat sebuah benda yang bisa membersihkan kotoran dan bergerak sendiri. Sihir semacam apa yang Paduka Aezar gunakan di zaman ini?" Aezar mengacak rambutnya frustrasi. Matanya tajam menatap Raras yang memasang raut wajah polos. Semakin lama, ucapan Raras semakin melantur saja. Dia hidup di zaman purba atau bagaimana, sih? Pada akhirnya, Aezar mengabaikan Raras untuk kebaikan jiwanya. Ia memilih duduk dan mengecek email perkerjaan di ponselnya sambil menunggu Robert datang dan menyeret wanita gila ini pergi. Hanya saja, kehadiran wanita itu tetap membuat Aezar terganggu. Ia kemudian mengambil beberapa helai roti, menaruhnya di atas piring dan menggeser benda itu ke hadapan Raras. Ia juga meletakkan botol berisi sirup maple. "Makanlah," kata Aezar datar. Setidaknya, wanita itu perlu makan sebelum mendekam di penjara. Iya kan? "Paduka Aezar belum menjawab pertanyaanku," balas Raras keras kepala. "Aku perlu belajar tentang zaman ini untuk beradaptasi, karena aku sudah memutuskan untuk tinggal di sini selama beberapa hari sambil memikirkan cara untuk kembali." "Makan dulu, sialan." Aezar mengeraskan suara dan menggebrak meja. "Gue bukan orang yang cukup sabar buat ngeladenin kegilaan lo." Raras terdiam sejenak, beberapa detik, sampai akhirnya menuruti apa yang Aezar perintahkan. **** Robert datang tepat saat Raras menghabiskan roti terakhirnya. Pria itu membungkukkan punggungnya pada Aezar untuk memberi salam, yang dibalas Aezar dengan lambaian tangan mengusir. Robert yang langsung paham dengan kode dari tuannya, mengangguk dan segera menarik pergelangan tangan Raras dan membawanya pergi. Hanya saja, hal di luar dugaan kemudian terjadi. Raras yang merasa terancam langsung membanting tubuh besar Robert ke lantai. Ia bahkan mengeluarkan busur dan anak panah, mengarahkannya tepat ke arah Robert yang meringis kesakitan di lantai. Mata Aezar melebar terkejut saat melihat Raras. Sejak kapan cewek itu menyimpan panah di belakang punggungnya? Dasar sinting. "Apa yang coba lo lakuin, hah?" Aezar refleks berdiri dan memandang Raras marah. Ujung panah itu terlihat berkilat tajam seolah siap merobek badan Robert, bukan seperti sebuah properti dalam pementasan drama. "Letakkan panah itu sekarang juga!" "Dia sedang berusaha mengusirku pergi dari tempat ini." Raras menatap Aezar tidak terima, dengan anak panah yang masih menujuk Robert. "Dia bahkan menatapku tidak sopan dan mengira aku tidak waras!" Aezar mengerjabkan mata. Bukankah sedari tadi Aezar berulang kali berkata bahwa Raras adalah wanita gila? Aezar bahkan melemparkan uang ke muka Raras dengan sikap sombong. Kenapa cewek itu baru marah sekarang? Pada Robert dan bukannya Aezar? Dan kenapa Raras tahu Robert menganggapnya gila padahal Robert bahkan tak mengucapkan apa-apa? "Turunkan panah itu sekarang. Ini perintah!" kata Aezar kemudian, mencoba bersikap tenang. "Kita bisa berdiskusi baik-baik." "Baiklah," Raras menurunkan anak panahnya dan menatap Aezar dengan sorot tajam. "Kita harus bicara, Paduka." Sekarang, bagaimana cara Aezar mengusir cewek gila ini pergi dengan sukarela? Astaga. Lama-lama Aezar bisa ikut-ikutan gila. Dan lagi. Bisa-bisanya cewek itu membanting tubuh besar Robert dengan tangan kosong! Sebenarnya, Raras itu makhluk macam apa? ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD