Bab 2 - Bagai Membuka Lembaran Lama

1435 Words
Aku rasa tak ada usaha melupakan yang benar-benar sempurna. Mulut bisa bilang lupa tapi bagaimana dengan hati, kenangan seakan masih asyik mempermainkan perasaan. Percayalah, masa lalu sanggup mengobrak-abrik hati bahkan hanya dengan satu detik pertemuan. *** Bunyi mobil berdecit menandakan kalau kami sudah sampai di tempat tujuan yaitu sekolahan baru Elsa. Aku membuka sabuk pengamanku lalu tak lupa sabuk pengaman putriku juga. Aku tersenyum ke arahnya untuk menyemangati, aku tahu ia sedikit gugup karena di sini tak ada satu pun yang dikenalnya. “Dulu, di sekolahan yang lama, apa Elsa langsung tiba-tiba kenal teman-teman Elsa?” tanyaku. Elsa pun menggeleng. “Di sini juga sama, Sayang. Elsa mulai dari awal seperti dulu. Percaya deh, Elsa bakal punya banyak teman di sini.” Akhirnya Elsa membalas senyumanku, aku percaya putri kecilku ini beberapa langkah di depan anak seusianya. Ia gadis kecil yang cerdas. “Yuk, Bunda antar ke dalam,” ajakku. Kemudian kami turun dari mobil. Begitu turun, mataku langsung menatap papan besar bertuliskan TK KARTINI. Aku kemudian menggandeng Elsa masuk untuk menemui guru sekaligus mendaftarkan putriku. Kurang lebih lima belas menit aku berbicara dengan seorang guru. Namanya Bu Wati. “Ini kelengkapannya, Bu.” Aku memberikan map berisi dataku sebagai orangtuanya juga data Elsa. Kemudian Bu Wati menerimanya. “Formulir yang kemarin saya berikan juga ada di sini, Bu Dara?” “Iya, Bu. Saya sudah mengisinya, terlampir juga data-data lain yang dibutuhkan.” “Baik, saya lihat formulirnya dulu ya, Bu Dara.” “Silakan,” jawabku, lalu Bu Wati membuka map dan memeriksa formulir yang sudah aku isi sebelumnya. Aku sengaja menaruhnya di paling atas agar memudahkan Bu Wati untuk membaca tanpa harus mencari. “Hm, maaf ya sebelumnya, apa Ayah Elsa sudah wafat?” tanya bu Wati ramah tanpa menyinggung perasaanku, tentu saja aku mengerti bagaimana perasaan Elsa yang duduk di sampingku. Sejak dulu, topik pembahasan tentang ayah adalah hal paling sensitif untuknya. Aku langsung menyentuh jemarinya, menggenggam lembut untuk menenangkannya. “Iya, Bu,” jawabku. “Baik, berkas sudah lengkap. Elsa sudah mulai belajar hari ini, tapi saya ingin memastikan nanti Elsa pulang dijemput siapa? Maksudnya, pihak sekolah hanya ingin memastikan siswa selalu aman.” “Elsa akan saya antar jemput setiap hari, Bu.” Guru itu mengangguk-angguk tanda mengerti. “Pulang sekolah normalnya jam sepuluh pagi, siswa yang belum dijemput akan tetap aman. Satpam di sini akan menjaganya sampai siswa benar-benar dijemput.” “Syukurlah, saya jadi lebih tenang,” jawabku. “Oh ya, rencananya saya mau Elsa sekalian daycare, Bu. Kita sempat membicarakan itu sebelumnya, kan?” “Ah, benar. Jadi setelah sepulang sekolah … Elsa bisa bermain bersama kami dulu. Banyak anak-anak yang lain juga, kok. Terutama yang orangtuanya harus bekerja,” jelas Bu Wati. Sekolah ini memang merangkap TK dan daycare. Itulah salah satu alasan aku memilih Elsa agar sekolah di sini. Aku hanya ingin Elsa tetap aman dan berada dalam pengawasan orang terpercaya saat aku sedang bekerja. Setelah semua beres dari administrasi, pendaftaran hingga pembayaran, aku bergegas mengantar Elsa ke kelasnya. Tentunya Bu Wati ikut mendampingi. “Sebenarnya Bunda pengen bilang Elsa jangan nakal, tapi Bunda udah sadar sesadar-sadarnya kalau putri bunda nggak pernah nakal. Iya, kan?” ucapku saat sudah tepat di depan pintu kelas Elsa. “Iya, Bunda. Bunda semangat ya kerjanya,” balasnya. Ya Tuhan, gadisku ini sangat manis dan lucu. Pipinya yang chubby seakan membuat semua orang menginginkan untuk sekadar mencubitnya. “Bunda tentu semangat dong, Elsa juga harus semangat. Elsa, kan, semangatnya Bunda,” ucapku kemudian sedikit membungkukkan badan untuk mencium pipi Elsa. Elsa tersenyum lagi, “Bun, wafat itu apa, ya?” Aku tidak menyangka Elsa akan bertanya hal ini. Gadisku itu selalu tahu kalau ayahnya sudah tak ada, aku tak pernah mengatakan kata wafat sebelumnya sehingga Elsa mungkin tak mengerti dan merasa asing dengan kata itu. “Wafat itu udah nggak ada, Sayang,” jawabku, entah kenapa aku mengatakannya seperti mengiris hatiku sendiri. “Ya udah Elsa masuk, ya.” “Elsa inget pesan bunda baik-baik. Jangan pulang sama orang yang nggak dikenal. Elsa harus tunggu bunda jemput. Selesai sekolah Elsa bisa bermain. Bunda jemputnya sekitar jam tiga, oke?" Saat masih di Bandung, aku memilih sekolah yang juga satu paket dengan tempat penitipan anak. Sekarang pun tidak jauh berbeda, intinya Elsa di sekolah sampai aku selesai bekerja. Bedanya, kalau di Bandung aku sering bergantian mengantar jemput dengan ibuku. “Iya, Bunda,” jawab Elsa kemudian meraih tangan kananku dan menciumnya. Aku pun mengelus rambutnya pelan. Beberapa saat kemudian, kulihat Elsa mulai masuk ke kelasnya. Ia langsung disambut oleh guru yang ada di dalam. Aku yakin Elsa bisa beradaptasi dengan baik. Setelah puas menatap Elsa yang sedang memperkenalkan diri di depan kelas, aku pamit pada Bu Wati lalu bergegas menuju mobil. Selain karena ada daycare-nya, aku sengaja memilih TK Kartini ini karena jaraknya dekat dengan kantor. Maksudku tak terlalu dekat, hanya saja ini sekolah paling dekat dengan kantorku di bandingkan sekolah-sekolah lainnya. Tujuanku kali ini adalah kantor. Aku tahu, kembali bekerja di kantor itu sama saja dengan menggali kenangan. Orang pikun sekalipun tak akan mudah melupakan hal pahit dan rasa trauma yang pernah dialami. Apalagi aku yang tidak pikun. Bisa dipastikan kembali ke sana setara dengan membuka lembaran lama. Jika boleh berharap, aku inginnya Rian sudah resign. Selama ini aku tak pernah mendengar kabarnya. Lagi pula aku juga tak mau tahu. Jadi, aku pikir lebih baik dia mati saja. Mati dari pikiranku. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk sampai ke kantor. Berbagai kemungkinan dan dugaan mulai bermain dalam benakku saat sudah menginjakkan kaki di lobi. Beberapa wajah lama rupanya masih ada di sini dan menyapaku. Aku tak menyangka mereka masih mengingat seorang Dara. Ya Tuhan, aku benar-benar berharap Rian sudah tidak bekerja lagi di sini. Aku kemudian masuk ke lift, ada beberapa yang menyapaku lagi, mengatakan selamat datang kembali. Ya ampun aku sangat senang ternyata mereka tak melupakanku. Ting! Pintu lift terbuka tanda aku sudah sampai di lantai empat, aku keluar bersama dua orang wanita yang rupanya bertujuan sama denganku. Aku tak mengenal mereka, mungkin mereka bekerja di sini setelah aku dipindah tugas ke Bandung enam tahun silam. “Staf bagian umum, ya?” tanyaku pada mereka berdua sambil berjalan. “Iya, ini pasti Mbak Dara?” jawab salah satu dari dua wanita itu. “Iya, kok tahu?” tanyaku bingung. Aku pikir, aku tidak se-penting itu yang kepindahannya diketahui banyak orang. Belum sempat mereka menjawab, aku melihat sesuatu yang tak pernah kuduga. Ada papan bertuliskan ‘Welcome Back Dara’ tepat di depan ruangan. Tanpa sadar aku malah menghentikan langkah sehingga dua wanita tadi sudah terlebih dahulu masuk. Aku kemudian kembali berjalan dan masuk mengikuti dua wanita tadi, teriakan dan sorakan gembira memenuhi seluruh ruangan. Jujur aku terharu, sangat terharu. “Selamat datang kembali, Andara Larasati. Jangan pernah pergi lagi, ya.” “Iya, kami senang kamu kembali.” “Dara apa kabar?” “Kami nggak akan membiarkan kamu pindah lagi.” “Hampir enam tahun, tapi kamu masih cantik aja, sih.” “Kamu inget kami, kan?” “Tetap jadi tim yang kompak seperti dulu, ya.” Berbagai ucapan dan pertanyaan benar-benar membombardirku, tapi yang pasti aku sangat senang. Sampai pada akhirnya ada pertanyaan yang membuatku merasa ingin menangis. Aku sadar mereka tak pernah tahu kehidupanku. Bukan salah mereka jika menanyakan hal pribadi yang selama ini aku pendam. “Udah nikah belum? Sekarang suami di mana dan anak udah berapa?” Sungguh, ini adalah pertanyaan yang membuatku merasa sedih. Aku hanya menjawabnya dengan senyuman. Rian? Aku mustahil menanyakannya pada mereka, apakah pria itu sudah resign atau belum. Ah, tentu saja tidak akan kutanyakan! Dulu, aku memiliki sahabat di kantor ini. Namanya Hera. Hanya saja ia sudah tidak bekerja sejak tiga tahun lalu. Hera memutuskan untuk ikut suaminya ke Jepang. Sekarang aku tak mempunyai teman dekat di sini lagi, jadi tak ada yang bisa aku percayai jika harus menanyakan tentang Rian. Aku memutuskan lebih baik aku mencari tahu sendiri. *** Aku melirik jam tangan rupanya sudah jam tiga kurang lima menit, aku prediksi sampai di TK Kartini pukul tiga lewat lima. Semoga Elsa mau bersabar menungguku lima menit saja. Meskipun jam tutup daycare adalah pukul lima sore, tapi aku sudah telanjur berkata pada Elsa bahwa akan menjemputnya sekitar pukul tiga sore. Di sekolah lama, Elsa biasanya akan menunggu di depan bersama satpam. Selesai memakai sabuk pengaman, aku yang hampir menjalankan mesin otomatis mengurungkan niatku saat seorang pria tiba-tiba berdiri tepat di depan mobil seolah sengaja menghalangi jalanku. Jantungku berdegup cepat saat menyadari pria yang berdiri di sana adalah Rian. Si pengkhianat yang bisa jadi sudah bahagia dengan sang penggoda. “Ri-Rian….”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD