BAB 14 - What Do You Want, Jhonas?

1495 Words
Saat baru saja berniat memejamkan mata untuk mencoba tidur, suara derit pintu yang terbuka memaksa Jelita untuk kembali mendusin. Seperti biasa, Linda datang sambil membawa nampan yang berisi makanan untuknya. Wanita itu menatap Jelita dengan sedikit terkejut, terlihat dari langkahnya yang tiba-tiba terhenti.   Kemudian ia tersenyum, lalu berjalan ke arah Jelita dan meletakan nampan tadi di atas nakhas.   “Syukurlah kalau Nona Jelita sudah bangun, sebelah mana lagi yang masih terasa sakit, Nona?” tanya Linda sambil duduk di tepi tempat tidur dekat dengan telapak tangan Jelita yang dibalut perban.   Wanita itu menatap sekilas luka di telapak tangan Jelita, kemudian mengalihkan pandangannya kepada gadis itu.   “Bisakah aku bertemu Jhonas sekarang, Bi?” tanya Jelita tanpa menjawab pertanyaan dari Linda sebelumnya.   “Belum ada perintah lagi. Bila memang waktunya sudah tiba, Tuan Jhonas pasti akan menemui anda.”  “Tapi ... berapa lama lagi aku harus menunggu?”  “Tidak lama. Percayalah pada saya,” jawab Linda dengan tatapan penuh keyakinan yang membuat gadis itu terdiam dan tak bertanya lagi.   Linda mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru ruangan, lalu perhatiannya tertuju pada lemari kayu yang rusak parah akibat pukulan dahsyat dari tangan Jelita.     Menyadari Linda sedang mengamati lemari tersebut, Jelitapun berkata,   “Pasti harganya mahal karena lemari itu terbuat dari kayu jati, benar begitu, Bi?”  “Ah ... ya, kayu jati kualitas terbaik yang rusak begitu saja karena pukulan seorang gadis,” jawab Linda sambil menahan tawanya.   “Tidak ada yang tidak berkualitas disini. Tapi ... semenjak ada Nona, Tuan Jhonas sering menghela napas masygul, ketika dalam sekejap semua barang yang berkualitas disini bisa mendadak rusak dengan sangat parah,” sambung Linda lagi yang membuat Jelita tersenyum tipis.  “Oh, termasuk Danu dan anak buahnya,” timpal Jelita yang membuat kedua wanita itu sama-sama terkekeh.  “Sebaiknya ... Nona Jelita makan lebih dahulu. Saya harus pergi karena Tuan Jhonas telah menunggu.”  “Tolong sampaikan bahwa aku ingin bicara dengannya, Bi. Dengan kepala dingin. Kau tahu, Ibu dan adikku baik-baik saja, malah keadaannya jauh lebih baik sekarang. Tapi ... itu artinya mereka sudah berada di tangan Jhonas. Jika aku tak menuruti maunya, aku akan menjadi orang yang paling menyesal di dunia ini.”  Untuk beberapa saat Linda diam sambil menatap Jelita. Ia membelai lembut puncak kepala gadis itu sambil tersenyum. Tatapannya kini kembali berubah sendu. Bagaimanapun juga, Jelita sudah ia anggap seperti anaknya sendiri.   Anak gadis ini merupakan seorang yang istimewa. Menjadi b***k tahanan, tapi paling berbeda diantara gadis-gadis yang lain. Dia gadis yang tidak sombong, penuh hormat, dan sangat menghargai kepada orang yang lebih tua. Sekalipun orang tersebut hanyalah merupakan  pelayan.   Firasat Linda mengatakan kalau Jelita adalah lentera dalam gelapnya tempat ini. Dan perasaannya juga telah mengisyaratkan jika gadis itu nantinya akan menjelma menjadi sekuntum bunga nan cantik namun mematikan bagi siapa saja yang berani mengusik.   “Jangan lupa habiskan makanan anda, ya. Saya pamit.”   Linda bangkit dari duduk, lalu kembali meninggalkan Jelita sendirian di ruangan itu. Hati Jelita sudah jadi merasa lebih baik, mengingat sang Mama dan adik laki-lakinya dalam keadaan tak kurang suatu apapun meski ada di bawah pengawasan Jhonas.   Kini, semua keputusan berada di tangan Jelita. Jika ia mengiyakan tawaran Jhonas untuk menjadi budaknya; itu bukan karena ia mau dengan sukarela, akan tetapi Jelita lakukan demi Diana dan Altara—dua orang yang sangat dicintainya.  Dan apapun yang akan terjadi dalam negosiasi yang mereka lakukan, ia akan mengajukan beberapa syarat yang tak akan dapat ditolak oleh Jhonas. Jelita tahu, laki-laki j*****m itu menginginkan agar ia bergabung karena telah melihat satu kelebihan dalam dirinya. Dan kelebihan yang dilihat Jhonas, ternyata sudah tak dimilikinya lagi sekarang. Namun, ia akan bersikap percaya diri saat berhadapan dengannya nanti. Laki-laki itu takkan pernah tahu jika kekuatan yang dulu ia pamerkan, ternyata bukan sebuah keahlian permanen.   Yang penting, nanti akan ditutupnya transaksi dengan Jhonas dalam keadaan pura-pura masih memiliki kekuatan itu. Kembali atau tidaknya mukjizat yang pernah ‘mampir’ dalam dirinya, semua sudah tak penting lagi. Yang jauh lebih berarti, Ia telah bertekad untuk menukar nyawanya sendiri demi keselamatan dan kebahagiaan Ibu dan adiknya. Masalah hilangnya keahlian dan kekuatan, itu akan ia pikir nanti.         Sementara di balik ruang kerja Jhonas yang penuh kemegahan ...   Laki-laki paruh baya itu sedang berdiri memandang keluar dari balik jendela ruang kerjanya yang tertutup kain tile berwana putih bersih sambil menikmati segelas Wine Chateau Lafite 1869—salah satu wine termahal yang ia punya hasil dari lelang saat Jhonas berada di Hongkong. Bayangkan, Ia adalah pelelang dengan tawaran tertinggi untuk wine tersebut yaitu USD 230 ribu atau setara Rp. 3,3 M untuk satu botol itu saja.   “Adakah yang gadis itu katakan padamu, Linda?” tanya Jhonas tanpa menoleh ke arah Linda yang sudah masuk ke dalam ruangannya.   “Nona Jelita ... ingin bertemu dengan Anda, Tuan.”   “Great! Karena memang itulah yang aku inginkan.”   Senyum merekah dari wajah blaster itu hingga nampak kerutan di sudut mata. Jhonas kembali meneguk wine-nya, lalu membalikkan badan dan berjalan menuju meja kerja. Ia meletakan gelas kristal tersebut di dekat botol wine, kemudian kembali mendekat menuju ke arah Linda yang tengah menunduk.    “Bagaimana kondisinya?” tanya Jhonas lagi sambil melipat kedua tangan di d**a.   “Baik, hanya saja ... mungkin ada baiknya Tuan berhati-hati.”   “Hahaha, apa kamu bilang? Kau meremehkanku, Linda?!” suara Jhonas mulai meninggi dan hal itu membuat Linda takut.   Ia semakin menunduk dan kedua tangannya mengepal was-was. Ia merutuki dirinya sendiri mengapa berbicara lancang seperti itu.   “Ma ... Maaf, tidak Tuan. Sa ... Saya tidak bermaksud seperti itu,” jawab Linda dengan suaranya yang mulai bergetar.   “Lalu, mengapa kau bicara begitu ha?! Memangnya apa yang telah dia lakukan? Menghajarmu? Membuat otakmu malfungsi?!”   “Ti ... tidak, Tuan. Hanya saja, ada luka di tangan kanannya dan ... lemari kayu jati yang ada di ruangan tersebut rusak parah, hancur dengan lubang seukuran kepalan tangan. Bukankah ... tidak ada alat berat sama sekali di ruangan itu?”   Jhonas terdiam mendengar penjelasan dari Linda, kemudian laki-laki itu tertawa mengejek. Ia kembali mendekat ke arah Linda dan berkata tepat di telinga wanita itu, Sangat dekat hingga Linda bisa merasakan napas Jhonas menyentuh pipi dan aroma wine menguar seketika tercium oleh hidungnya. “Bukankah itu bagus, hmm? Karena sebentar lagi dia akan menjadi bagian dari Deadly Hemlock. Itu berarti ... aset istimewaku bertambah, Bukan begitu? Oh dan satu lagi ... Tidak  ada yang lebih kuat dan tangguh dari Jhonas Miller, Linda. So, keep your mouth!” Linda masih terus menunduk, ia sama sekali tidak berani mengangkat kepala karena merasa  sangat takut. Tubuhnya bergetar dan jantung wanita itu berdetak tak karuan. Jhonas menyingkir darinya kemudian tertawa lepas. “Setelah ini, aku akan beritahu Amara kalau ia memiliki aset baru, haha. Perfect! Hey, kau boleh pergi sekarang,” titah Jhonas kepada Linda yang dibalas anggukan oleh wanita itu. Bergegas Linda keluar dengan langkah sedikit tergesa seolah seperti kehabisan napas. Ya, ruang kerja Jhonas dan sikap Boss-nya itu membuat okigen yang ada disekelilingnya mendadak hilang. Seolah membuatnya tercekat dan sulit bernapas. *** Saat menatap pintu kayu yang ukirannya saling terhubung satu sama lain; pikiran Jelita terlempar pada ingatan kala itu, saat dengan kasar. Danu dan pengawal menyeretnya masuk. Dan ... di balik pintu tersebut, terdapat seorang laki-laki paruh baya yang mengerikan seperti singa kepalaran, siap menerkam apa saja yang ia mau. Telah tiba waktunya bagi Jelita untuk kembali bertemu dengan Jhonas setelah laki-laki itu memerintahkan pengawal untuk membawanya kemari. Kali ini menjadi sedikit berbeda karena ada Linda yang mendampinginya. Tak ada genggaman kasar dan erat pada kedua lengan, hanya ada dua pasang mata yang senantiasa mengawasi di belakang dua wanita itu. Linda mengangguk, memberikan isyarat kepada Jelita untuk masuk. “Bibi, enggak ikut?” tanya Jelita sedikit bingung karena mengira Linda akan menemaninya masuk. Dengan lembut, wanita itu mengusap punggung Jelita lalu menepuk-nepuknya pelan seolah merupakan isyarat bahwa Jelita harus masuk tanpanya. “Oh, baiklah, Bi.” Dua pengawal itu sudah maju lebih dahulu untuk membuka pintu, kemudian memberikan isyarat kepada Jelita untuk segera masuk diikuti dua laki-laki bertubuh besar tersebut. Jelita sempat menoleh ke belakang sebelum pintu tertutup, ia melihat perempuan paruh baya itu tersenyum sambil mengangguk, memberikan sugesti optimis yang membuat Jelita juga turut tersenyum. Jhonas tak ada dikursi kerjanya. Namun tak lama kemudian, suara ketukan sepatu pantofel terdengar diruangan itu, pertanda jika sang penguasa tengah berjalan mendekat. “Welcome, Nona Jelita,” sapa Jhonas yang muncul dari arah belakang Jelita dan dua orang pengawal tersebut. Laki-laki itu berjalan dengan elegan ke arah meja kerja, kemudian duduk di kursi mewahnya. Jelita diminta duduk, namun tetap dengan pengasawan dua orang pengawal yang semakin protektif menjaganya. “Oh, tanganmu terluka ya. Sakit? Hmm ... sepertinya tidak untuk Nona Jelita Revanala ... ha ha ...” Jelita diam saja tak menanggapi basa-basi Jhonas yang sama sekali tidak membuatnya tertarik, bahkan malah membuatnya muak. “Well ... harus aku akui sekarang, bahwa kau memang b***k yang berbeda.” Jelita masih tak menanggapi ocehan lainnya dari si lelaki j*****m, yang baginya terdengar semakin membosankan karena selalu menggunggulkan dirinya sendiri beserta Tim begundal yang berada disitu. “Seharusnya ... ini menjadi kehormatan bagimu jika seorang Jhonas Miller telah tergerak memintamu untuk bekerja bersamaku.” “Lebih tepatnya memerintah dengan paksaan.” Jelita menyela karena ia merasa sudah tidak tahan dengan sikap sombong si j*****m. Ia memutar bola mata dengan sebal sambil mendengus. Akan tetapi, sedetik kemudian Jelita ingat tentang tujuannya untuk bertemu saat ini. “Wow ... good girl. Kamu benar, Jhonas Miller tidak pernah meminta, tapi memerintah.” “Katakan apa yang harus aku lakukan.” *** Bersambung ...    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD